ADA yang tidak terucapkan, tapi gejalanya dirasakan masyarakat
luas. Yakni berlakunya apa yang disebut oleh Prof. Sukadji
Ranuwihardjo dengan istilah "high cost economy" Keadaan ekonomi
serba mahal.
Ini terutama dirasakan oleh BPEN misalnya. Badan ini berusaha
meningkatkan ekspor Indonesia. Tapi barang Indonesia ternyata
tidak mampu bersaing: harganya lebih mahal dari barang dari
jenis dan kwalitas yang sama buatan negara lain. Selain ongkos
transpor darl biaya pelabuhan yang begitu mencekik, harga dari
produsen pun juga sudah terlalu tinggi. Ini semua karena
tingginya biaya investasi dan ongkos produksi. Perusahaan besar
maupun kecil merasakannya, walaupun upah buruh cukup rendah dan
bahan baku murah.
Di segala sektor produksi dirasakan berbagai tekanan, sejak dari
persiapan didirikannya perusahaan. Lalu ada tingkat bunga yang
tinggi, uang semir, pajak berganda, harga mesin dan peralatan
yang diimpor. Lalu ada prosentase penyusutan, harga energi dan
bahan penolong, ongkos pemeliharaan dan pembelian sparepart,
pungutan tak resmi, biaya transpor dan seterusnya.
Itulah sebabnya harga barang buatan dalam negeri mahal, tak bisa
bersaing dengan barang impor. Maka berteriaklah para pengusaha
minta perlindungan atau proteksi dari saingan barang impor.
"Ketularan"
Jeritan pengusaha kecil sudah amat memekakkan telinga. Walaupun
demikian yang lebih besar juga ikut teriak. Padahal sebenarnya
mereka masih tetap untung. Pertama, mereka masih mampu
mendapatkan fasilitas kredit dan mengembangkan industrinya
walaupun mahal. Kedua, perusahaan-perusahaan besar yang umumnya
modal asing atau joint-venture itu masih tetap bisa menjual
barang mereka. Karena mereka umumnya membuat barang jenis
substitusi impor yang sudah ada pembelinya, yaitu lapisan
masyarakat berpenghasilan tinggi atau sedang tapi yang sudah
kena pengaruh pola hidup mewah.
Sebenarnya, dengan tingkat penghasilan per kapita hanya sekitar
US$ 145 per tahun, masyarakat kita akan sulit membeli barang
mahal. Tapi mereka ini mungkin "ketularan" masyarakat sekitar.
Mereka mengikut sebagian kecil orang, mungkin 10-20o, yang
berpenghasilan tinggi.
Masyarakat konsumen barang mahal ini sebenarnya tumbuh berkat
bantuan luar negeri dan modal asing. Juga berkat "pembangunan"
yang melahirkan penghasilan yang lebih tinggi, melalui
pembelanjaan pemerintah, lewat saluran resmi atau tak resmi.
Jadi, bantuan luar negeri di sini berfungsi memberi pinjaman
kepada kelompok masyarakat tertentu, pada masa di mana bantuan
itu dibelanjakan, untuk menaikkan pendapatan mereka agar bisa
membeli barang yang dihasilkan oleh modal asing. Yang membayar
hutang itu adalah lapisan masyarakat yang lebih luas dan
generasi mendatang. Dalam masyarakat dan pemerintah yang
konsumtif dan boros, maka bantuan luar negeri berfungsi menolong
tumbuhnya perusahaan asing yang menghasilkan barang substitusi
impor, melalui peningkatan daya beli konsumen.
"Off-Shore US $ Loan"
Ekonomi serba mahal seperti yang terjadi di Indonesia ini
menghambat proses industrialisasi yang tumbuh dari bawah. Tapi
sebaliknya menguntungkan perusahaan asing dan multi-nasional,
terutama bank dan lembaga-lembaga keuangan asing yang menjual
kapital dengan harga mahal di Indonesia.
Malah mereka tidak sepenuhnya menjual uang mereka sendiri.
Mereka menjual kembali dana yang diperoleh dari deposito dan
tabungan masyarakat Indonesia sendiri, yang dimobilisasi oleh
bank pemerintah. Perusahaan asing yang mendapat pinjaman dengan
bunga rendah dari bank asing di Jakarta - dananya diambilkan
dari dollar Asia di Singapore off-shore US$ loan) - umumnya
mendepositokan kembali uangnya ke bank pemerintah dengan bunga
deposito yang lebih tinggi, tapi kemudian mendapatkan kembali
pinjaman dari jenis kredit yang tingkat bunoanya lebih
direndahkan dalam rangka fasilitas penanaman modal. Jadi,
perusahaan asing inipun juga mendapatkan keuntungan dari
penggunaan modal lokal serta selisih tingkat bunga dalam dan
luar negeri.
Struktur biaya yang serba tinggi, sebenarnya tidak merugikan
perusahaan besar dan asing. Karena mereka memasukkan semua ini
(termasuk uang sogok) dalam komponen biaya produksi yang
akhirnya dibebankan kepada konsumen. Harga mesin impor yang
tinggi, ditambah dengan perkiraan umur tehnis mesin yang pendek
(memperbesar biaya penyusutan), sangat menguntungkan industri
luar negeri pula. Ini semua dimungkinkan oleh kebijaksanaan
moneter dan ekonomi yang menghasilkan situasi ekonomi serba
mahal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini