Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Ekonomi Serba Mahal

Di Indonesia sedang berlaku ekonomi yang serba mahal. Ini menghambat proses industrialisasi yang tumbuh dari bawah. Tapi sebaliknya menguntungkan perusahaan asing dan multinasional, terutama bank.

28 Mei 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADA yang tidak terucapkan, tapi gejalanya dirasakan masyarakat luas. Yakni berlakunya apa yang disebut oleh Prof. Sukadji Ranuwihardjo dengan istilah "high cost economy" Keadaan ekonomi serba mahal. Ini terutama dirasakan oleh BPEN misalnya. Badan ini berusaha meningkatkan ekspor Indonesia. Tapi barang Indonesia ternyata tidak mampu bersaing: harganya lebih mahal dari barang dari jenis dan kwalitas yang sama buatan negara lain. Selain ongkos transpor darl biaya pelabuhan yang begitu mencekik, harga dari produsen pun juga sudah terlalu tinggi. Ini semua karena tingginya biaya investasi dan ongkos produksi. Perusahaan besar maupun kecil merasakannya, walaupun upah buruh cukup rendah dan bahan baku murah. Di segala sektor produksi dirasakan berbagai tekanan, sejak dari persiapan didirikannya perusahaan. Lalu ada tingkat bunga yang tinggi, uang semir, pajak berganda, harga mesin dan peralatan yang diimpor. Lalu ada prosentase penyusutan, harga energi dan bahan penolong, ongkos pemeliharaan dan pembelian sparepart, pungutan tak resmi, biaya transpor dan seterusnya. Itulah sebabnya harga barang buatan dalam negeri mahal, tak bisa bersaing dengan barang impor. Maka berteriaklah para pengusaha minta perlindungan atau proteksi dari saingan barang impor. "Ketularan" Jeritan pengusaha kecil sudah amat memekakkan telinga. Walaupun demikian yang lebih besar juga ikut teriak. Padahal sebenarnya mereka masih tetap untung. Pertama, mereka masih mampu mendapatkan fasilitas kredit dan mengembangkan industrinya walaupun mahal. Kedua, perusahaan-perusahaan besar yang umumnya modal asing atau joint-venture itu masih tetap bisa menjual barang mereka. Karena mereka umumnya membuat barang jenis substitusi impor yang sudah ada pembelinya, yaitu lapisan masyarakat berpenghasilan tinggi atau sedang tapi yang sudah kena pengaruh pola hidup mewah. Sebenarnya, dengan tingkat penghasilan per kapita hanya sekitar US$ 145 per tahun, masyarakat kita akan sulit membeli barang mahal. Tapi mereka ini mungkin "ketularan" masyarakat sekitar. Mereka mengikut sebagian kecil orang, mungkin 10-20o, yang berpenghasilan tinggi. Masyarakat konsumen barang mahal ini sebenarnya tumbuh berkat bantuan luar negeri dan modal asing. Juga berkat "pembangunan" yang melahirkan penghasilan yang lebih tinggi, melalui pembelanjaan pemerintah, lewat saluran resmi atau tak resmi. Jadi, bantuan luar negeri di sini berfungsi memberi pinjaman kepada kelompok masyarakat tertentu, pada masa di mana bantuan itu dibelanjakan, untuk menaikkan pendapatan mereka agar bisa membeli barang yang dihasilkan oleh modal asing. Yang membayar hutang itu adalah lapisan masyarakat yang lebih luas dan generasi mendatang. Dalam masyarakat dan pemerintah yang konsumtif dan boros, maka bantuan luar negeri berfungsi menolong tumbuhnya perusahaan asing yang menghasilkan barang substitusi impor, melalui peningkatan daya beli konsumen. "Off-Shore US $ Loan" Ekonomi serba mahal seperti yang terjadi di Indonesia ini menghambat proses industrialisasi yang tumbuh dari bawah. Tapi sebaliknya menguntungkan perusahaan asing dan multi-nasional, terutama bank dan lembaga-lembaga keuangan asing yang menjual kapital dengan harga mahal di Indonesia. Malah mereka tidak sepenuhnya menjual uang mereka sendiri. Mereka menjual kembali dana yang diperoleh dari deposito dan tabungan masyarakat Indonesia sendiri, yang dimobilisasi oleh bank pemerintah. Perusahaan asing yang mendapat pinjaman dengan bunga rendah dari bank asing di Jakarta - dananya diambilkan dari dollar Asia di Singapore off-shore US$ loan) - umumnya mendepositokan kembali uangnya ke bank pemerintah dengan bunga deposito yang lebih tinggi, tapi kemudian mendapatkan kembali pinjaman dari jenis kredit yang tingkat bunoanya lebih direndahkan dalam rangka fasilitas penanaman modal. Jadi, perusahaan asing inipun juga mendapatkan keuntungan dari penggunaan modal lokal serta selisih tingkat bunga dalam dan luar negeri. Struktur biaya yang serba tinggi, sebenarnya tidak merugikan perusahaan besar dan asing. Karena mereka memasukkan semua ini (termasuk uang sogok) dalam komponen biaya produksi yang akhirnya dibebankan kepada konsumen. Harga mesin impor yang tinggi, ditambah dengan perkiraan umur tehnis mesin yang pendek (memperbesar biaya penyusutan), sangat menguntungkan industri luar negeri pula. Ini semua dimungkinkan oleh kebijaksanaan moneter dan ekonomi yang menghasilkan situasi ekonomi serba mahal.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus