Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
APA pun keputusan akhir pemerintah atas PT Freeport Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945 haruslah menjadi dasar pertimbangan utama. Konstitusi kita jelas mengamanatkan agar bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pemerintah wajib menempatkan prinsip ini di atas segalanya ketika bernegosiasi dengan perusahaan Amerika Serikat itu sebelum kontraknya berakhir pada 2021.
Sesuai dengan peraturan pemerintah terbaru, pembicaraan mengenai perpanjangan kontrak pertambangan harus dilaksanakan dua tahun sebelum perjanjian berakhir. Tapi kita bisa memahami bila Freeport menginginkan keputusan yang lebih cepat, mengingat perusahaan itu hendak menambah investasi hingga US$ 18 miliar atau lebih dari Rp 240 triliun dalam beberapa tahun mendatang. Sebagai pembanding, di sektor minyak dan gas yang penuh risiko, investor bahkan diberi kesempatan mengajukan proposal perpanjangan kontrak lebih awal, yakni sepuluh tahun sebelum konsesi habis.
Renegosiasi atas perjanjian juga merupakan hal yang wajar manakala salah satu atau kedua pihak menemukan ketidakadilan dalam kesepakatan terdahulu. Penawaran ulang juga lazim dilakukan bila terdapat hal baru yang perlu disepakati demi kelangsungan kerja sama. Pada 1991, pemerintah Orde Baru juga pernah meminta perbaikan Kontrak Karya I yang diteken pada 1967—jauh sebelum perjanjian yang berlaku 30 tahun itu berakhir.
Persoalannya sekarang ialah apakah Freeport merupakan pilihan terbaik dan paling menguntungkan bagi Indonesia. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral selayaknya menghitungnya dengan saksama sebelum memberikan saran kepada Presiden Joko Widodo. Formula perjanjian yang baru harus memberikan peluang kepada rakyat dan pemerintah daerah agar bisa mengambil manfaat dari operasi penambangan emas, tembaga, perak, dan mineral lain di tanah mereka.
Pemerintah tak boleh lekas lunak di hadapan pemodal besar. Kondisi ekonomi yang sedang lemah jangan sampai menurunkan tingkat kehati-hatian para negosiator. Kita memang perlu membuka pintu lebar-lebar bagi investor—selain mempertahankan mereka yang sudah menanam modal di Indonesia agar tak hengkang. Tapi semua investasi asing itu hanya layak diterima atau dilanjutkan dengan satu syarat: membawa keuntungan dan manfaat bagi rakyat negeri ini.
Percepatan negosiasi ulang harus digunakan pemerintah sebagai kesempatan memastikan kontribusi yang lebih besar dari operasi Freeport di Papua. Royalti 1 persen yang berlaku sejak 1967 jelas kelewat kecil dibanding keuntungan yang sudah dikeruk Freeport dari bumi Papua. Banyak negara lain mematok royalti di atas 5 persen bagi tambang emas serupa.
Itu sebabnya, Presiden atau Menteri Energi perlu menjelaskan kenapa cuma meminta angka rata-rata royalti 3,5 persen dalam renegosiasi kali ini. Mengapa pula pemerintah buru-buru setuju hanya mengurangi luas area konsesi Freeport dari 213 ribu hektare menjadi 90 ribu hektare. Padahal Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara membatasi lahan produksi penambangan maksimal 25 ribu hektare. Dalam perjanjian baru nanti, tidak boleh lagi ada keistimewaan dan pengecualian.
Setiap poin penawaran harus dibahas dengan argumen yang kuat dan masuk akal. Kewajiban divestasi 30 persen saham pada 2019 perlu dikawal agar terlaksana tanpa manipulasi dan kongkalikong. Keharusan membangun smelter untuk mengolah hasil tambang, serta porsi lebih besar bagi penggunaan barang dan jasa dalam negeri, selayaknya tidak ditawar.
Posisi tawar Indonesia hari ini jauh lebih baik ketimbang saat pemerintah Soeharto memperbarui kontrak karya pada 1992. Jokowi punya amunisi dan perangkat lebih banyak untuk menekan Freeport agar menerima poin-poin kesepakatan yang disodorkan. Pemerintah hendaknya percaya diri: bagi Freeport, 2,27 miliar ton cadangan bijih tambang di wilayah konsesi itu adalah sumur duit tanpa dasar. Pemerintah jangan mudah digertak: Freeport akan mati-matian mempertahankan konsesi itu agar tak lepas dari genggaman.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo