Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mei lalu, saya ke Bali untuk acara sastra yang diikuti sekitar 700 orang. Ini kesekian kalinya saya ke Bali untuk acara serupa. Ada hal khusus setiap kali saya akan ke Bali untuk mengisi acara di depan khalayak. Diam-diam saya berlatih sendiri mengucapkan om swastiastu, agar lancar melafalkannya di depan hadirin.
Tahun 2002, untuk pertama kalinya mengisi acara di depan hadirin di Bali, saya tidak mengucapkan salam itu. Saya hanya mengucapkan assalamualaikum, selamat pagi, dan salam sejahtera untuk kita semua. Mendengar semua pengisi acara ketika itu—terutama tokoh-tokoh yang memberikan sambutan—mengucapkan salam om swastiastu, saya merasa bersalah. Saya merasa kurang menghormati hadirin karena tidak menggunakan salam dalam tradisi setempat. Setelah itulah saya belajar dan berlatih melafalkannya, terutama untuk keperluan mengucapkan salam di depan khalayak di Bali.
Bagi saya ketika itu, jauh lebih mudah melafalkan assalamualaikum warahmatullahi wabarokatuh tinimbang om swastiastu.
Di Jakarta atau di tempat-tempat selain Bali, sebagaimana banyak orang, biasanya saya mengucapkan salam pembuka sebanyak tiga kali, yaitu (1) assalamualaikum, (2) selamat pagi atau siang atau malam, dan (3) salam sejahtera untuk kita semua. Terutama dalam acara seremonial di Indonesia, sering kali tak kurang dari empat orang memberi sambutan, mulai tuan rumah, ketua panitia, pejabat setempat, sampai pejabat pusat. Bayangkan berapa salam pembuka diucapkan. Tapi tak apa, toh substansinya adalah doa, yakni memohon keselamatan dan kesejahteraan. Tentu kita harus banyak berdoa karena, konon, kita bangsa yang religius. Di Bali, saya menambah satu lagi ucapan salam, yaitu om swastiastu tadi. Jadi, sebagaimana hampir semua pengisi acara di sana, saya mengucapkan salam sebanyak empat kali.
Sebagian orang menyampaikan empat salam itu atas dasar latar belakang budayanya. Orang berlatar budaya Islam merasa lebih mudah—mungkin juga merasa lebih afdal—mengucapkan assalamualaikum; orang berlatar budaya Hindu merasa lebih mudah mengucapkan om swastiastu; orang berlatar budaya ”nasionalis” atau ”sekuler” akan mengucapkan selamat pagi, siang, sore, atau malam—dan menganggapnya bercita rasa ”nasional”. Konon pula, orang yang memandang agama sebagai wilayah pribadi yang tak perlu ditonjolkan kepada publik akan menggunakan selamat pagi, siang, sore, dan malam.
Tapi, untuk sebagian yang lain, bahkan mungkin sebagian besar, orang menggunakan empat salam tadi dengan mempertimbangkan khalayak. Demikianlah bahasa, baik lisan maupun tulis, sering kali digunakan dalam hubungannya dengan pendengar atau pembacanya. Apakah orang akan menyebut lawan bicara atau pembacanya dengan kamu, kau, Saudara, Anda, atau Bapak/Ibu sangat bergantung pada apa yang diandaikannya tentang lawan bicara atau pembacanya itu. Bahasa memang tak bisa lepas dari penggunanya, tapi sering kali tak bisa lepas pula dari khalayak-andaian yang disasarnya.
Keempat bentuk salam tadi tentu memiliki khalayak-andaian masing-masing. Di masjid, orang hanya mengucapkan assalamualaikum warahmatullahi wabarokatuh—tanpa selamat pagi, tanpa salam sejahtera untuk kita semua. Sebab, dia membayangkan khalayak-andaiannya seluruhnya umat Islam. Khalayak-andaian keempat salam tadi tampaknya memang berkaitan dengan agama: assalamualaikum untuk umat Islam; salam sejahtera untuk umat Nasrani; om swastiastu untuk umat Hindu; selamat pagi untuk pemeluk agama lain atau kalangan ”sekuler”, ”nasionalis”, atau ”netral”.
Masalahnya, kenapa khalayak-andaian salam mesti dikotak-kotakkan atas dasar agama? Memang benar bahwa assalamualaikum sering digunakan oleh umat Islam dan om swastiastu oleh umat Hindu. Tapi bagaimanapun, keduanya adalah bahasa Indonesia. Keduanya tercantum dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Daring (dalam jaringan) alias online. Maka empat salam tadi sesungguhnya merupakan keragaman salam dalam bahasa Indonesia. Karena itu, kita boleh menggunakan satu; boleh dua; boleh tiga; boleh keempatnya sekaligus. Penggunaan satu, dua, tiga, atau keempatnya sekaligus sejatinya bukan karena khalayak-andaian yang terkotak-kotak atas dasar agama tadi, melainkan atas dasar pertimbangan lain. Misalnya latar belakang pengguna, pertimbangan waktu, atau sebagai apresiasi terhadap keragaman bahasa kita. Sekali salam diucapkan atau ditulis, sasarannya adalah seluruh khalayak atau pembaca, apa pun agamanya.
Bahasa Indonesia adalah pemersatu. Maka sejatinya ia menyatukan masyarakat, bukan mengotak-ngotakkannya.
*) Penyair, Pemimpin Redaksi Majalah Sastra Horison dan Jurnal Sajak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo