Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tulisan Arif Havas Oegroseno di Kompas 2 Juni 2018 dengan judul “Ideologi Anti-sawit di Eropa” membeberkan bantahan terhadap klaim negatif Parlemen Eropa terhadap sawit. Alih-alih memberikan solusi, tulisan Duta Besar Republik Indonesia di Jerman ini malah secara tendensius menuduh pengkritik sawit di dalam negeri sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap kemunculan sentimen negatif tersebut.
Sebagai diplomat, memang tugas Arif Havas untuk melawan pihak-pihak asing yang menyerang kepentingan nasional. Namun ulasan Arif dalam tulisan tersebut tak menyajikan fakta-fakta riil di lapangan. Tak hanya itu, data yang disajikan pun perlu diklarifikasi pada tataran yang lebih teknis. Sudah lazim, banyak diplomat kita yang fasih dengan data makro, namun lemah pada aspek-aspek detail dan teknis dari data yang ada.
Saya mencoba merespon artikel Arif dengan mengupas fakta semu ekonomi sawit. Selama ini, ada kecenderungan pemerintah untuk hanya melihat sudut sempit nilai ekonomi sawit, dengan menonjolkan data-data makro dengan deretan indah kontribusinya terhadap perekonomian nasional. Padahal, fakta yang terjadi tidak seindah itu. Saya akan mengulasnya dalam tiga poin penting.
Pertama, benarkah sawit sudah dikelola sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat? Faktanya belum. Perekonomian sawit di Indonesia saat ini seperti dua sisi mata pisau. Pada satu sisi, sawit memang telah memberikan manfaat yang besar bagi investor dan “elit ekonomi dan politik” negeri ini. Sawit malahan menjadi penyumbang ekspor terbesar. Namun di sisi lain, berkah sawit ini tak dinikmati oleh lapisan terpenting masyarakat yang berada di kawasan perkebunan sawit: para petani dan warga desa. Malahan kemiskinan menyeruak di sana.
Kemiskinan di desa-desa sekitar perkebunan sawit disebabkan oleh penguasaan lahan skala luas oleh perusahaan sawit yang mempersempit ruang kelola masyarakat terhadap lahan. Ini relevan dengan studi yang dilakukan Auriga Nusantara pada 2018 yang merupakan hasil pemetaan tata guna lahan dengan menggunakan drone di sepuluh desa dengan perkebunan sawit di Sumatera dan Kalimantan. Hasilnya menunjukkan hanya 12,5 persen dari total lahan desa yang dapat dikelola oleh masyarakat. Sisanya, sudah dikelola oleh perusahaan sawit dan kehutanan.
Fakta di lapangan juga menunjukkan terjadinya perampasan lahan secara semena-mena yang melibatkan perusahaan sawit. Inilah pemicu utama terjadinya konflik antara perusahaan dengan masyarakat. Data Konsorsium Pembaruan Agraria pada 2017 mencatat dari 659 konflik yang terjadi, sebanyak 31 persen terjadi di sektor perkebunan sawit. Sektor lain menyumbangkan angka konflik yang lebih kecil.
Kondisi di Papua adalah contoh paling menyedihkan. Investasi sawit skala luas di sana telah menghilangkan hutan yang menjadi tumpuan penghidupan masyarakat adat. Sawit membuat masyarakat adat Papua hidup dalam nestapa karena komoditas itu telah menghilangkan sumber mata pencaharian dan sumber pangan mereka bersamaan dengan hilangnya hutan-hutan mereka.
Kedua, benarkah sawit telah berkontribusi terhadap perekonomian nasional? Fakta menunjukkan komoditas sawit memang telah jadi penyumbang ekspor terbesar Indonesia. Kontribusinya sampai 15 persen terhadap total ekspor (BPS, 2017). Namun, jangan silau dengan angka itu sebab sumbangan sawit terhadap penerimaan negara tak sehebat nilai ekspornya.
Fakta ini diungkap KPK melalui Kajian Sistem Pengelolaan Komoditas Kelapa Sawit pada 2016. Lewat kajian itu, KPK menemukan rendahnya penerimaan pajak sektor kelapa sawit yaitu Rp 22,2 triliun, padahal potensinya bisa mencapai Rp 40 triliun per tahun. Ini disebabkan ketidakpatuhan pelaku usaha membayar pajak dan melibatkan perusahaan multi-nasional. Akibatnya negara dirugikan.
Selain itu, KPK juga menemukan bagaimana tata kelola perizinan sawit sarat dengan korupsi. Terbukti banyak kepala daerah yang tertangkap menerima suap dalam penerbitan izin perkebunan sawit. Jelas, praktek korupsi merupakan “benalu” bagi perekonomian sawit. Dampaknya sangat merusak pembangunan Indonesia secara keseluruhan.
Tak berhenti sampai di sana. Ketergantungan pada ekspor mengakibatkan kerentanan pada sektor ekonomi sawit. Ketika ada gejolak harga CPO, dampaknya mengganggu stabilitas ekonomi berupa defisit neraca perdagangan, gejolak nilai tukar, dan inflasi. Ini diperparah lagi oleh fakta bahwa hanya ada lima grup usaha besar yang menguasai 75 persen ekspor tersebut. Banyak data menunjukkan mereka mengontrolnya melalui negara suaka pajak (Auriga, 2017). Minimnya transparansi pengelolaan keuangan perusahaan-perusahaan raksasa sawit ini tentu bukan sinyal positif buat perekonomian Indonesia.
Ketiga, sawit telah menjadi beban bagi ekonomi lingkungan. Fakta ini diungkap langsung oleh Direktorat Jenderal Pajak lewat kajiannya yang berjudul “Indonesian Tax Reform on Palm Oil Sector”. Kajian itu menyebutkan bahwa nilai tambah ekonomi dari investasi sawit menghasilkan 40-60 persen biaya lingkungan. Biaya lingkungan ini harus ditanggung oleh negara dan masyarakat berupa kebakaran hutan, deforestasi, banjir, sumber penyakit, perubahan iklim, dan hilangnya mata pencaharian masyarakat. Ini menimbulkan kerugian negara yang luar biasa besar.
Pada akhirnya, artikel ini diniatkan sebagai kritik membangun bagi pemerintah untuk perbaikan tata kelola industri kelapa sawit di negeri ini. Saya tentu tidak bermaksud mengekspansi ideologi anti-sawit seperti yang dituduhkan tulisan Arif Havas Oegroseno. Masalahnya, sebagian besar dari kita lebih memilih “dihancurkan oleh pujian, dari pada diselamatkan oleh kritikan” seperti kata Norman Vincent Peale, seorang penulis terkenal dari Amerika Serikat.
*Penulis adalah peneliti Auriga Nusantara
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini