APA yang tidak dapat disembuhkan dengan koyo? Pusing, pegel
linu. mual, keseleo, masuk angin atau sakit apa saja. Tempel
koyo, dijamin beres. Apakah benar begitu, tidak perduli.
Bila Engkong sudah bilang koyo, kacung tidak boleh membantah.
Suka tidak suka, koyo mesti ditempel. Perkara sembuh urusan
belakang.
Membenahi organisasi perangkat pemerintah kadang juga
menggunakan falsafah koyo. Bila resep baku sudah ditetapkan
semua aparat harus menempelkannya. Departemen non Departemen
ataupun pemerintah daerah. Perkara sesuai atau tidak, urusan
belakang. Laksanakan dulu baru dinilai. Maka tidak ada pilihan
lain daripada: siap laksanakan.
Demikianlah, skema demi skema disusun. Kedudukan tugas pokok,
fungsi, organisasi dan tatakerja berbagai ragam perangkat
pemerintah dirumuskan secara terbaku. Apakah itu Departemen
Pekerjaan Umum, Departemen Pertambangan, Departemen Agama atau
Departemen Keuangan, semua susunan organisasinya harus ikut
pembakuan. Maunya Daerah Khusus Ibukota, atau Daerah Tingkat I
Irian Jaya, susunan organisasi pemerintah daerahnya harus ikut
pedoman yang sama.
Padahal corak pekerjaan, sifat tantangan yang dihadapi dan
tingkat perkembangan fungsi-fungsi serta kondisi lingkungan
administrasi jelas berbeda-beda. Bak gajah, burung semut, harus
dibuatkan satu model kandang yang terbaku.
Korban pertama tentulah daya guna dari usaha mewadahi binatang
yang satu sama lain berbeda itu. Kandang besar semutnya lolos.
Kandang kecil gajah tak bisa bernafas.
Keluhan pertama terhadap pembakuan ini, ialah bahwa kesesuaian,
dengan maksud meningkatkan efisiensi pencapaian tujuan, sulit
dipertahankan.
Chartologi
Sejauh ini polarisasi pokok pikiran sekitar pilihan struktur
organisasi perangkat pemerintah bertumpu pada dua kutub.
Di satu fihak dikehendaki adanya pembakuan. Fihak lain ingin
menyusunnya sesuai dengan kebutuhan kemudahan pencapaian tujuan.
Dan pilihan pun jatuh ke pembakuan. Mudah mengaturnya, sederhana
mengkaitkannya dengan pengelolaan sumber-sumber (resources).
Pokoknya begitu baku, distel, urusan penertibannya dikira jadi
gampang beres, asal pola bakunya cukup rasional.
Maka untuk meladeni kehendak menyusun pola baku yang yahud,
semacam disiplin baru diam-diam ditekuni: chartologi. "Ilmu" ini
berurusan dengan susun-menyusun, setel-menyetel, dan
mengotak-atik chart organisasi.
Dalam "ilmu" ini juga muncul angka-angka ajaib dan
sebutan-sebutan keramat. Angka 5 dan 7 adalah angka ajaib.
Misalnya 5 ialah jumlah bagian di bawah biro. Angka 7 ialah
jumlah sub direktorat di bawah direktorat. Tidak boleh- lebih
biarpun bagaimana tantangannya. Sebutan badan, biro, direktorat,
pusat punya konotasi sendiri-sendiri yang aturannya cukup ketat,
sehingga tidak boleh sembarang pakai. Dan lain-lain aturan yang
dikeramatkan.
Tingkah Laku
Sayangnya ulah dan perilaku organisasi itu ternyata terlalu
kompleks untuk diajak membakukan diri. Maklumlah, yang menjadi
kemudi, roda, sekrup dan semua suku mesin organisasi ini terdiri
dari manusia. Dalam pembakuan, mereka dituntut mengikuti pola
hubungan kerja secara benar menurut struktur. Tetapi manusia ini
terlanjur ditakdirkan punya perasaan, harga diri, cita-cita,
potensi kemampuan dan kelemahan manusiawi lainnya. Juga mereka
terlanjur dibesarkan dalam lingkungan yang membentuk kebiasaan,
gaya kerja yang khas.
Organisasi tidak bekerja seperti mesin, mengikuti mekanisme yang
sudah dipastikan. Ia bukan simple deterministrc system.
Prakteknya, kerja organisasi lebih menyerupai jaringan
komunikasi yang amat kompleks dan serba mungkin arah
perkembangannya, ditentukan oleh kondisi lingkungan. Ia lebih
merupakan complex probabilistic system.
Banyak faktor menentukan bentuk akhir dari pola komunikasi dalam
organisasi itu. Danpola komunikasi inilah yang berpengaruh dalam
proses pengambilan keputusan. Pola komunikasi yang nyata
berjalan yang menentukan hasil kerja bukan yang formal.
Demikianlah dijumpai sejumlah kenyataan yang mengecohkan
chartologi. Antara beberapa daerah yang sudah mengikuti pedoman
dalam menyusun struktur organisasi pemerintahannya, dalam
praktek proses pengambilan keputusannya bisa sangat berbeda. Ada
Sekretaris Wilayah Daerah yang sigap bertindak sebagai Staf
umum. Ada yang hanya menjalankan tugas penunjang. Ada Bappeda
yang amat besar peranannya ada yang hanya sekedar tempelan. Ada
Kepala Direktorat yang teramat kokoh peranannya, ada yang
sekedar menyandangnya sebagai mahkota kecil tanpa peran, tanpa
kewenangan nyata. Ini semua ternyata tidak dapat sembuh dengan
resep pembakuan.
Pembakuan Sebagai Kendali
Distorsi dan keganjilan-keganjilan itu berjalan terus, setelah
beberapa tahun pembakuan dijalankan. Malah ada perkembangan yang
patut memperoleh perhatian. Jabatan strukturil yang menempel di
kotak skema, dibagi-bagi sekedar memenuhi formasi.
Pembagian fungsi-fungsi, hanya bisa bertahan sebagai formalitas.
Isinya sudah berobah, lain sekali dari rumusan formal yang ada.
Memang, pertumbuhan, gerak dan ulah organisasi perangkat
pemerintahan perlu dikendalikan. Pertumbuhannya tidak boleh
semau-maunya. Karena konsekwensinya pada pembebanan
sumber-sumber yang terbatas. Juga demi effisiensi. Pemerintah
perlu pedoman, tolok ukur, agar bisa bijaksana dalam
memperlakukan berbagai satuan dan tingkatan organisasi
pemerintahan. Karena itu pengaturan mengenai masalah itu toh
diperlukan, sebagai kendali.
Cuma, aturan atau pembakuan tersebut ternyata tidak bisa terlalu
doktriner, sehingga mengabaikan realitas dan memaksakan
terjadinya keganjilan serta distorsi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini