JAUH sebelum munculnya karya besar Hugo De Groot tentang hukum
internasional, Islam sudah melaksanakan hubungan internasional
berdasarkan azas-azas hukum. Dunia dipecah dalam dua bagian.
Yang pertama adalah bagian Dar al-Islam, atau Pax Islamica.
Bagian yang lain adalah Dar al-Harb, atau Wilayah Perang.
Asumsi dasar di dalam teori hukum internasional klasik dunia
Islam adalah bahwa hanya masyarakat Muslimlah yang merupakan
subyek hukum, sedangkan masyarakat-masyarakat non-Muslim hanya
merupakan obyek dari sistem hukum yang ditegakkan oleh Orde
Islam. Masyarakat-masyarakat non-lslam di dalam Pax Islamica
dilindungi menurut undang-undang perlindungan dan harus membayar
pajak untuk perlindungan itu. Mereka bebas melaksanakan
ajaran-ajaran agamanya. Tujuan terakhir daripada Orde Islam
adalah menyelenggarakan perdamaian universal di dalam Pax
Islamica dan berekspansi wilayah sehingga seluruh dunia masuk ke
dalam Dar al-Islam.
Dar al-Harb bukan wilayah tak bertuan di mana semua pihak boleh
main hantam kromo semaunya. Hak wilayah tersebut untuk mempunyai
hubungan bermusuhan dengan Islam diakui di dalam
peraturan-peraturan hukum Islam yang berlaku bagi keadaan perang
antara masyarakat Muslim dan masyarakat-masyarakat non-Muslim.
Ada juga semacam pengakuan terhadap penguasa-penguasa non-Islam
di Dar al- Harb yang tidak sama dengan pengakuan kedaulatan.
Pengakuan tersebut sekedar bersumber pada kesadaran bahwa setiap
masyarakat, betapa primitifnya pun, butuh akan semacam otoritas
di kalangannya.
Pengakuan adanya hukum dan adanya kekuasaan di wilayah perang
tersebut terlepas sama sekali dari kewajiban Islam untuk
menundukkan Dar al-Harb dan memasukkan wilayah tersebut ke dalam
Pax Islamica melalui Jihad, perang suci. Pada zaman klasik Jihad
bukan suatu hal yang unik pada Islam. Juga umat Kristen punya
Perang Salib.
"Konkordat" Tidak Tertulis
Paling sedikit ada dua teori yang menjelaskan pemisahan agama
dari negara di dunia Islam. Yang pertama dikemukakan oleh
seorang orientalis yang bermusuhan dengan Islam, Snouck
Hurgronje. Kata Hurgronje etos teokrasi di dunia Islam tidak
cocok dengan kenyataan setelah masa 4 Khalifa pertama. Sejak itu
Negara Islam tidak ada. Yang ada adalah semacam gencatan senjata
antara para Ulama dan Panglima-panglima pasukan Islam setelah
terjadi bentrokan-bentrokan dahsyat antara mereka. Menarik
analogi antara dunia Islam dan dunia Kristen, Hurgronje menyebut
gencatan senjata tersebut suatu "Konkordat" (di Eropa Konkordat
Worms pada tahun 1122 mengatur pembagian kekuasaan antara Gereja
dan Raja). Para ulama dibiarkan mengurusi masalah-masalah
kerohanian, para Amirul Mukminin dibiarkan mengatur soal-soal
kenegaraan.
Majid Khadduri, Direktur Pusat Studi Timur Tengah, Universitas
Johns Hopkins, punya suatu teori yang sama tapi dengan
pendekatan yang berbeda. Menurutnya di dalam sistem hubungan
internasional Islam telah timbul teori campuran antara doktrin
klasik dan pengalaman negarawan-negarawan Islam di sepanjang
ekspansi Islam dari tahap negara kota sampai tahap universal.
Walaupun Islam dalam teori tidak mengakui kedaulatan lain
daripada kedaulatan dalam Pax Islamica, namun Islam dalam
praktek telah menerima pembatasan-pembatasan tertentu. Suasana
perang dingin (istilah Don Manuel dari Spanyol pada abad ke-13)
antara Islam dan Kristen selama berabad-abad diliputi oleh
serangkaian kompromi dan toleransi.
Pemisahan agama dari negara dalam hubungan internasional
disebabkan juga oleh perpecahan di dunia Islam yang tidak hanya
menyangkut doktrin melainkan juga wilayah pada abad ke-16.
Sebelum perpecahan teritorial terjadi yang ada adalah konsep
negara yang berpotensi mengayomi seluruh dunia. Di negara
tersebut batas-batas teritorial tidak relevan, dan hukum
bersumber pada doktrin. Simbol persatuan dan kesatuan adalah
Agama, bukan wilayah. Setelah wilayah megah itu pecah, maka mau
tidak mau konsep kedaulatan universal tergeser oleh konsep
kedaulatan teritorial. Dan hukum pun terpaksa berubah dari hukum
yang berkonsep personal ke sistem hukum berdasarkan konsep
teritorial.
Suasana tersebut memungkinkan koeksistensi damai tidak hanya
antara wilayah-wilayah Islam, tapi juga antara dunia Islam dan
negara-negara Kristen. Pada tahun 1535 Sultan Sulaiman Agung dan
Raja Prancis membuat suatu perjanjian perdamaian dan saling
menghormati untuk jangka waktu lebih lama daripada jangka 10
tahun yang diizinkan oleh Syari'ah. Para Ulama tidak berdaya
apa-apa menyaksikan "pencairan" doktrin yang demikian lanjutnya.
Kekuasaan negara terlalu besar untuk dilawan. Yang dapat
dilakukan oleh Ulama adalah terus meningkatkan pengaruhnya di
kalangan massa dan melampiaskan amarah di dalam khotbah-khotbah
dan mengajak ummat kembali ke doktrin yang murni.
Sementara itu gelombang nasionalisme melanda seluruh dunia, dan
tuntutan kesejahteraan yang meluas memaksakan modernisasi.
Doktrin tambah meluntur, panggilan-panggilan dari mimbar-mimbar
untuk kembali ke ajaran murni tambah keras. Yang datang memenuhi
panggilan bertambah banyak karena modernisasi tidak meluas dan
kesejahteraan tidak merata.
Fenomena Iran
Barangkali sejak masa Sayidina Ali baru sekarang suatu wilayah
Islam dikuasai sepenuhnya oleh segolongan Ulama. Di Iran dewasa
ini, entah untuk berapa lamatelah muncul teokrasi murni, suatu
Negara Islam di mana wewenang doktrin dan wewenang pemerintahan
menyatu dalam Ayatullah Ruhollah Khomeini.
Selama 14 abad golongannya mengkonsentrasikan diri pada doktrin,
pertahanan teori dan pemurniannya. Segenap mutiara kekayaan
pengalaman Islam di bidang eksekutif di dalam maupun di luar
negeri telah melewati mereka tanpa mampir. Segar dari
tempat-tempat pemukiman para santri, dari musolla-musolla, dari
masjid-masjid dan tempat-tempat suci lainnya para Ulama Iran
keluar untuk menagih apa yang lebih dari 1.000 tahun telah
diimpi- impikan: Kekuasaan Jasmaniah di samping Kekuasaan
Rohaniah.
Dalam beberapa minggu saja mereka telah diorbitkan secara
transtemporal kecuwilan terakhir dari abad ke-20. Di Qom
"Konkordat" Islam yang dipaksakan pada pada ulama Islam satu
millennium yang lalu diproklamasikan tidak berlaku lagi. Mereka
waspada sekali terhadap segala sesuatu yang berbau
kenegarawanan. Baargan jatuh, Yazdi jatuh, dan terakhir
Bani-Sadr yang sudah mulai menunjukkan kecenderungan menjadi
negarawan dipecat.
Perang suci sudah berkobar dan sayup-sayup terdengar semhoyan
pertempuran dari Kitab Jihad karangan seorang Imam Syi'ah,
Najimuddin al Muhaqqiq al Hilli: Demi kemenangan semua cara
boleh ditempuh. Sungguh tidak mengherankan bahwa hampir semua
pemimpin negara-negara Islam termasuk Muammar Khaddafi,
menghimbau Khomeini agar memberi batas-batas pada "surat kuasa"
revolusi untuk berbuat sekehendak hatinya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini