Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Fenomena Khomeini

Di iran, telah muncul teokrasi murni, suatu negara islam dimana wewenang doktrin dan pemerintahan menyatu dalam ayatullah ruhollah khomeini. pemimpin-pemimpin negara arab mengimbau agar khomeini membuat batas.

8 Desember 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JAUH sebelum munculnya karya besar Hugo De Groot tentang hukum internasional, Islam sudah melaksanakan hubungan internasional berdasarkan azas-azas hukum. Dunia dipecah dalam dua bagian. Yang pertama adalah bagian Dar al-Islam, atau Pax Islamica. Bagian yang lain adalah Dar al-Harb, atau Wilayah Perang. Asumsi dasar di dalam teori hukum internasional klasik dunia Islam adalah bahwa hanya masyarakat Muslimlah yang merupakan subyek hukum, sedangkan masyarakat-masyarakat non-Muslim hanya merupakan obyek dari sistem hukum yang ditegakkan oleh Orde Islam. Masyarakat-masyarakat non-lslam di dalam Pax Islamica dilindungi menurut undang-undang perlindungan dan harus membayar pajak untuk perlindungan itu. Mereka bebas melaksanakan ajaran-ajaran agamanya. Tujuan terakhir daripada Orde Islam adalah menyelenggarakan perdamaian universal di dalam Pax Islamica dan berekspansi wilayah sehingga seluruh dunia masuk ke dalam Dar al-Islam. Dar al-Harb bukan wilayah tak bertuan di mana semua pihak boleh main hantam kromo semaunya. Hak wilayah tersebut untuk mempunyai hubungan bermusuhan dengan Islam diakui di dalam peraturan-peraturan hukum Islam yang berlaku bagi keadaan perang antara masyarakat Muslim dan masyarakat-masyarakat non-Muslim. Ada juga semacam pengakuan terhadap penguasa-penguasa non-Islam di Dar al- Harb yang tidak sama dengan pengakuan kedaulatan. Pengakuan tersebut sekedar bersumber pada kesadaran bahwa setiap masyarakat, betapa primitifnya pun, butuh akan semacam otoritas di kalangannya. Pengakuan adanya hukum dan adanya kekuasaan di wilayah perang tersebut terlepas sama sekali dari kewajiban Islam untuk menundukkan Dar al-Harb dan memasukkan wilayah tersebut ke dalam Pax Islamica melalui Jihad, perang suci. Pada zaman klasik Jihad bukan suatu hal yang unik pada Islam. Juga umat Kristen punya Perang Salib. "Konkordat" Tidak Tertulis Paling sedikit ada dua teori yang menjelaskan pemisahan agama dari negara di dunia Islam. Yang pertama dikemukakan oleh seorang orientalis yang bermusuhan dengan Islam, Snouck Hurgronje. Kata Hurgronje etos teokrasi di dunia Islam tidak cocok dengan kenyataan setelah masa 4 Khalifa pertama. Sejak itu Negara Islam tidak ada. Yang ada adalah semacam gencatan senjata antara para Ulama dan Panglima-panglima pasukan Islam setelah terjadi bentrokan-bentrokan dahsyat antara mereka. Menarik analogi antara dunia Islam dan dunia Kristen, Hurgronje menyebut gencatan senjata tersebut suatu "Konkordat" (di Eropa Konkordat Worms pada tahun 1122 mengatur pembagian kekuasaan antara Gereja dan Raja). Para ulama dibiarkan mengurusi masalah-masalah kerohanian, para Amirul Mukminin dibiarkan mengatur soal-soal kenegaraan. Majid Khadduri, Direktur Pusat Studi Timur Tengah, Universitas Johns Hopkins, punya suatu teori yang sama tapi dengan pendekatan yang berbeda. Menurutnya di dalam sistem hubungan internasional Islam telah timbul teori campuran antara doktrin klasik dan pengalaman negarawan-negarawan Islam di sepanjang ekspansi Islam dari tahap negara kota sampai tahap universal. Walaupun Islam dalam teori tidak mengakui kedaulatan lain daripada kedaulatan dalam Pax Islamica, namun Islam dalam praktek telah menerima pembatasan-pembatasan tertentu. Suasana perang dingin (istilah Don Manuel dari Spanyol pada abad ke-13) antara Islam dan Kristen selama berabad-abad diliputi oleh serangkaian kompromi dan toleransi. Pemisahan agama dari negara dalam hubungan internasional disebabkan juga oleh perpecahan di dunia Islam yang tidak hanya menyangkut doktrin melainkan juga wilayah pada abad ke-16. Sebelum perpecahan teritorial terjadi yang ada adalah konsep negara yang berpotensi mengayomi seluruh dunia. Di negara tersebut batas-batas teritorial tidak relevan, dan hukum bersumber pada doktrin. Simbol persatuan dan kesatuan adalah Agama, bukan wilayah. Setelah wilayah megah itu pecah, maka mau tidak mau konsep kedaulatan universal tergeser oleh konsep kedaulatan teritorial. Dan hukum pun terpaksa berubah dari hukum yang berkonsep personal ke sistem hukum berdasarkan konsep teritorial. Suasana tersebut memungkinkan koeksistensi damai tidak hanya antara wilayah-wilayah Islam, tapi juga antara dunia Islam dan negara-negara Kristen. Pada tahun 1535 Sultan Sulaiman Agung dan Raja Prancis membuat suatu perjanjian perdamaian dan saling menghormati untuk jangka waktu lebih lama daripada jangka 10 tahun yang diizinkan oleh Syari'ah. Para Ulama tidak berdaya apa-apa menyaksikan "pencairan" doktrin yang demikian lanjutnya. Kekuasaan negara terlalu besar untuk dilawan. Yang dapat dilakukan oleh Ulama adalah terus meningkatkan pengaruhnya di kalangan massa dan melampiaskan amarah di dalam khotbah-khotbah dan mengajak ummat kembali ke doktrin yang murni. Sementara itu gelombang nasionalisme melanda seluruh dunia, dan tuntutan kesejahteraan yang meluas memaksakan modernisasi. Doktrin tambah meluntur, panggilan-panggilan dari mimbar-mimbar untuk kembali ke ajaran murni tambah keras. Yang datang memenuhi panggilan bertambah banyak karena modernisasi tidak meluas dan kesejahteraan tidak merata. Fenomena Iran Barangkali sejak masa Sayidina Ali baru sekarang suatu wilayah Islam dikuasai sepenuhnya oleh segolongan Ulama. Di Iran dewasa ini, entah untuk berapa lamatelah muncul teokrasi murni, suatu Negara Islam di mana wewenang doktrin dan wewenang pemerintahan menyatu dalam Ayatullah Ruhollah Khomeini. Selama 14 abad golongannya mengkonsentrasikan diri pada doktrin, pertahanan teori dan pemurniannya. Segenap mutiara kekayaan pengalaman Islam di bidang eksekutif di dalam maupun di luar negeri telah melewati mereka tanpa mampir. Segar dari tempat-tempat pemukiman para santri, dari musolla-musolla, dari masjid-masjid dan tempat-tempat suci lainnya para Ulama Iran keluar untuk menagih apa yang lebih dari 1.000 tahun telah diimpi- impikan: Kekuasaan Jasmaniah di samping Kekuasaan Rohaniah. Dalam beberapa minggu saja mereka telah diorbitkan secara transtemporal kecuwilan terakhir dari abad ke-20. Di Qom "Konkordat" Islam yang dipaksakan pada pada ulama Islam satu millennium yang lalu diproklamasikan tidak berlaku lagi. Mereka waspada sekali terhadap segala sesuatu yang berbau kenegarawanan. Baargan jatuh, Yazdi jatuh, dan terakhir Bani-Sadr yang sudah mulai menunjukkan kecenderungan menjadi negarawan dipecat. Perang suci sudah berkobar dan sayup-sayup terdengar semhoyan pertempuran dari Kitab Jihad karangan seorang Imam Syi'ah, Najimuddin al Muhaqqiq al Hilli: Demi kemenangan semua cara boleh ditempuh. Sungguh tidak mengherankan bahwa hampir semua pemimpin negara-negara Islam termasuk Muammar Khaddafi, menghimbau Khomeini agar memberi batas-batas pada "surat kuasa" revolusi untuk berbuat sekehendak hatinya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus