Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Gagasan Untuk Mahasiswa

Ilmu suatu proses yang perlu pemusatan pikiran panca indera dan kemauan. Daud Yusuf dan Nugroho Notosusanto menghendaki para mahasiswa tidak ikut politik praktis di sekolah, hanya terfokus untuk ilmu.

13 Februari 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DORNA, guru yang baik, mengajar para muridnya bagaimana membidik. "Ada seekor burung kutilang di dahan sana," katanya. "Siapkan anak panah dan jemparingmu." Para murid siap. Mereka memandang ke arah yang ditunjukkan sang pendeta. "Apa yang kalian lihat?," tanya Dorna. "Burung di dahan itu," sahut para murid, hampir serempak. Syahdan, hanya Arjuna -- seorang murid yang serius -- yang menjawab lain. Putra Pandu yang tak banyak omong itu menyahut pelan, "Hamba melihat sepotong leher kutilang, guru." Dan ia benar. Ia ternyata bisa memanah sang burung tepat di bawah kepalanya. Leher itu patah, binatang itu terjungkal. Si pemanah telah menjalankan tugasnya dengan sempurna. "Itulah ilmu, anak-anakku," konon kata Dorna. "Suatu proses yang memerlukan pemusatan pikiran, pancaindera dan kemauan." Kisah itu berakhir. Tapi moralnya menjangkau ke tengah kita: bahwa menuntut ilmu memang memerlukan semacam pembersihan diri -- penyingkiran pelbagai macam distraksi, segala hal yang mengakibatkan ikhtiar kita tak punya fokus. Para ibu dan bapak sering mengisahkan pula bagaimana seorang kesatria bertapa untuk menambah kesaktiannya. "Dia akan duduk, diam bagaikan arca. Pandangnya hanya melihat ke ujung hidung." Mungkin dengan dasar cerita seperti itulah Daoed Joesoef dan Nugroho Notosusanto menghendaki para mahasiswa tak usah ikut dalam "politik praktis" di sekolah. Pusatkan dirimu. Tetapkanlah pandargmu. Arahkan minatmu hanya untuk ilmu yang kau pelajari. Jangan berisik. Jaiigan tengok kiri jangan tengok kanan. Konsentrasi, konsentrasi ! Pada suatu saat nanti kau akan lulus dari proses ini. Setelah itu, bukan urusan lembaga perguruan tinggi lagi unk mengaturmu . . . Tapi kenapa tetap ada saja mahasiswa yang menolak gagasan seperti itu? Mungkin soalnya sederhana saja: bukan karena para mahasiswa itu anak titipan kekuatan politik dari luar. Mereka toh bukan lagi seperti mahasiswa di tahun 50 dan 60-an. Mereka tak berada di tengah situasi ketika partai politik berada di pucuk pamornya, dan punya kader di kalangan universitas. Mereka adalah anak-anak masa kini, ketika partai politik rudin dan memikirkan kursi saja sudah susah. Maka jika para mahasiswa itu tak betah untuk hanya berada di laboratoria (yang memang apak), jika mereka enggan terus berkerut di depan para pengajar (yang memang itu-itu juga)--agaknya pertama-tama karena kampus terlalu santai dan mereka teramat muda. Di masyarakat yang tak mengenal universitas, di pedusunan yang jauh, anak-anak seusia mereka langsung terjun "jadi orang". Di masyarakat tempat kampus-kampus berdiri, kemahasiswaan praktis merupakan perpanjangan masa transisi sebelum dewasa. Perpanjangan itu (yang juga berarti penundaan) dalam dirinya mengandung benih keresahan. Terutama dalam masyarakat ini. Di satu pihak masyarakat memandang perguruan tinggi dengan begitu hormat: para pengajar di sana disebut sebagai mahaguru dan murid sebagai mahasiswa. Di lain pihak, masyarakat di luar itu tak dapat segera memberi peran besar kepada orang-orang yang terhormat itu. Tak heran bila kampus terkena oleh pelbagai ilusi. Ilusi yang terbesar ialah ilusi tentang kekuatan. Ilusi itu kadang sehat: ia bisa memberi semangat bahwa universitas bukan alat birokrasi yang tanpa kebebasan dan kreativitas. Tapi sampai tingkat tertentu ilusi itu menyebabkan para mahasiswa tak bisa membedakan politik sebagai gashuku dan politik di pertempuran yang sebenarnya. Dalam kehidupan politik yang sebenarnya, kampus dan atribut-atributnya (termasuk jaket) tidaklah dengan sendirinya sumber legitimasi kekuasaan. Untuk legitimasi itu perlu proses yang lebih panjang. Apalagi untuk kekuasaan itu sendiri. Arjuna berhasil belajar memanah, bukan dengan begitu saja. Toh dia tak berhenti di sana. Dia beberapa kali bertapa. Dia ikut menjalani pembuangan dalam hutan. Apa gerangan yang dilihatnya selama itu, dengan begitu sabar dan tekun? "Hamba melihat sepotong leher musuh itu, guru."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus