Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Perbudakan Atau Perbedaan ? Skandal Buruh Di AS

Skandal buruh Indonesia di AS. Orang Indonesia yang menjadi pembantu rumah tangga di AS menimbulkan heboh, mereka diberitakan budak kontrakan yang diperjualkan dan diperlakukan sewenang-wenang. (nas)

13 Februari 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

CERITANYA diawali berita kantor berita Associaed Press yang mengutip keterangan pejabat FBI (Badan Penyelidik Federal AS): telah ditemukan lebih dari 30 orang Indonesia yang diperkirakan telah "dijual" sebagai pembantu rumah tangga akhir Januari lalu. Mereka merupakan sebagian dari tenaga kerja asing yang "diselundupkan masuk AS oleh suatu komplotan". Orang-orang Indonesia itu menyatakan, mereka telah "dijual" dengan harga antara US$ 1.500 sampai US$ 3.000 (antara Rp 1 juta sampai Rp 2 juta) dan dipaksa tinggal bersama para "pemilik" mereka selama dua tahun. Mereka yang umumnya dipekerjakan sebagai pembantu rumah tangga, tukang kebun dan babu itu semuanya tidak terpelajar, berusia antara 20-30 tahun, dan tidak memiliki surat keterangan yang diperlukan. Dalam suatu konperensi pers, Kepala Biro FBI Los Angeles Edward Best mengungkapkan, setelah menyelidiki selama 11 bulan, lebih 100 anggota FBI dan pejabat Dinas Imigrasi dan Naturalisasi menggeledah rumah-rumah dan pcrusahaan. Banyak di antaranya ditemukan di Beverly Hills, yang dikenal sebagai daerah tempat tinggal orang-orang kaya dan bintang film. "Saya sangat heran bahwa dalam masa sekarang --- pada abad seperti ini -- orang masih dapat menjebloskan orang lain ke dalam situasi perbudakan," ujar Best. Dengan segera istilah "perbudakan" itu lekat dan "diresmikan" oleh media massa. Termasuk di Indonesia. Akibatnya menggemparkan. Ketua DPR Daryatmo menyebut kasus "budak kontrakan" ini "sangat memalukan pemerintah Amerika Serikat, sebab dalam zaman seperti 1982 ini masih terdapat perbudakan manusia di negara yang selama ini digembar-gemborkan sebagai negara demokrasi." Menteri Kehakiman Ali Said kepada pers pekan lalu menjanjikan departemennya akan menyelidiki mengapa hal ini bisa terjadi. Menlu Mochtar Kusumaatmadja menyesalkan orang yang menjadi calo perbudakan itu. Hanya ia menambahkan, dengan kepala lebih dingin: ia menghimbau agar menghargai upaya penertiban oleh pemerinuh AS, karena itu memang wewenangnya. Sementara itu di Amerika Serikat sendiri kasus "perbudakan" itu juga menimbulkan heboh. Koran dan televisi setempat secara berturut-turut melaporkan kasus perbudakan di abad ke-20 ini. Memaksa seseorang menjadi pelayari (involutary servitude), menurut Undang-undang AS merupakan kejahatan. Jumlah warganegara Indonesia yang ditemukan FBI ternyata 25 orang. Tatkala dihadapkan sebagai saksi dalam persidangan Grand Jury--semacam lembaga prapengadilan--dua pekan lalu, mereka tidak boleh ditemui wartawan atau teman-teman mereka. "Mereka umumnya tidak mengerti apa yang sebenarnya sedang terjadi," kata Lily Tan, seorang penerjemah bahasa Indonesia yang dipekerjakan oleh pemerintah AS. Orang-orang kaya di AS itu--beberapa di antaranya keturunan Indo Belanda yang pernah tinggal di Indonesia memperoleh tenaga kerja Indonesia itu lewat suatu biro perjalanan yang mendatangkan mereka dari Indonesia. Mereka mudah dikontrol karena majikan mereka menahan paspor dan surat keterangan mereka. Selain menahan paspor, menurut keterangan FBI, ada di antara majikan itu yang melakukan ancaman fisik. Seorang di antara "budak" itu, Nyoman Ngakan yang berasal dari Bali. Kabarnya pernah mencoba melarikan diri Tapi tukang pukul majikannya menemukannya. Dia dipukuli sampai cedera, begitu pengakuan Nyoman. Sekalipun pihak FBI telah hampir setahun menyelidiki masalah ini, pihak Konsulat Jenderal RI di Los Angeles tidak pernah merasa ada yang tidak beres dengan warganegara RI di sana. "Kami tidak pernah mendapat mengaduan," kata seorang pejabat yang menolak disebut namanya pada Salim Said dari TEMPO. Pejabat itu menyebutkan, sebetulnya soal perbudakan yang diributkan itu adalah masalah istilah saja. "Para pembantu rumah tangga kita di Indonesia juga tidak pernah mengenal sistem kontrak," ujarnya. Dari sebuah sumber lain di Kedutaan Besar RI di Washington, TEMPO memperoleh keterangan, kasus yang lagi-diramaikan ini sebetulnya bukan hal baru. Menurut catatan KBRI, pada 1980 sebuah kasus yang menyangkut ditelantarkannya seorang pembantu rumah tangga asal Indonesia bernama Kartini pernah terjadi di California. Yang mendatangkan Kartini waktu itu menurut KBRI adalah David Mussry, pemilik biro perjalanan PT Amanda Bali Internasional yang juga memiliki hotel Bali International di Jakarta Pusat. "Apakah David Mussry terlibat lagi dalam kasus di Los Angeles ini kami belum mendapat laporan," ujar pejabat tersebut dua pekan lalu. NAMA David Mussry memang kemudian banyak disebut-se but. Ia bahkan dituding sebagai "dalang" kasus budak kontrakan ini. Dalam penjelasannya pada pers pekan lalu, Kepala Dinas Peneragan Polri Brigjen (Pol Darawan Sudarsono membenarkan Mabak telah memeriksa "DM", seorang pemilik hotel dan biro perjalanan di Jakarta Pusat yang diduga punya kaitan dengan penginman tenaga kerja ke AS. Dalam pemeriksaan, "DM" antara lain mengakui pernah mengirim 12 orang Indonesia ke AS beberapa waktu yang lalu. Sekalipun tak diungkapkan tampaknya memang singkatan "DM" David Mussry. Menurut laporan kantor berita UPI dari Los Angeles, dalam operasinya "DM" bekerjasama dengan seorang wanita dalam hal "pemalsuan visa, pembelian tiket pesawat terbang dan pemberian uang" pada orang-orang Indonesia yang diberangkatkan ke Los Angeles. Setibanya di Los Angeles, mereka dijemput oleh wanita tersebut di lapangan terbang. Mereka ditempatkan pada keluarga yang sudah memesan dengan bayaran US$ 3.000 seorang. Seorang wanita Indonesia berusia 28 tahun yang diwawancarai Los Angeles Times mengatakan, dia dan dua temannya dibawa oleh "DM" pada Juli 1980 dengan janji akan memperoleh pekerjaan yang "enak" di AS. Setiba di Los Angeles dia dibawa ke suatu rumah dan bekerja di sana selama 6 bulan--tanpa mendapat upah. Namun tiga bulan terakhir ia memperoleh gaji US$ 150 per bulan. Tapi karena perlakuan buruk, wanita itu kemudian bergabung dengan seorang temannya yang bekerja di Beverly Hills. Bekas majikannya dikabarkan kemudian menuntut ganti rugi US$ 3.000 pada majikan baru. Setelah tawar menawar, majikan lamanya bersedia menerima US$ 1.000. Nama David Mussry juga disebut oleh Pardjiono, 30 tahun, tukang kayu jebolan STM jurusan sangunan Bojonegoroy ang pada Mei 1980 tlba di Los Angeles. 'Ini bermula dari tawaran seorang bernama David Mesri," tulis Pardjiono dalam pernyataannya awal Januari lalu. Karena waktu itu ia bekerja sebagai buruh tidak tetap, Pardjiono dan istrinya menerima tawaran tersebut. Bersama dua orang Indonesia lain, dengan bekal US$ 300 dari David Mussry, mereka dikirim ke Los Angeles. Pardjiono dan istri kemudian bekerja pada keluarga Edward Abraham, seorang keturunan Yahudi yang tinggal di Beverlv Hills. Abraham bisa berbahasa Indonesia, karena pernah tinggal di Surabaya. Istri Pardjiono bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Pardjiono sendiri bertukang, membangun rumah baru. Karena selama 3 bulan tak memperoleh upah, Par terpaksa menanyakannya, Ia kemudian diberi US$ 100 dan pala akhir bulan keempat Abraham menarnbahkan US$ 300. Karena waktu di Jakarta dijanjikan menerima lebih dari ju, Par kemudian menuntut janji itu. Namun Abraham mementak, "Kamu ini sudah saya kontak k dua tahun dengan uang US$ 5.000." Pardjiono kemudian mereka-reka jangan jangan teman-temannya mengalami nasib serupa. "Saya perkirakan David Mesri (maksudnya mungkin Mussry -Red.) lah yang menerimanya karena saya sendiri tidak pernah mendapatkan uang sebanyak itu," tulis Pardjiono yang mengaku beragama Islam dan semula tinggal di Cilincing, Jakarta Utara. Mungkin karena melawan, Par kemudian akan dikirim balik ke Indonesia. Karena takut, ia lari dan melaporkan diri ke Konsulat Jenderal RI. Konjen kemudian memanggil keluarga Abraham. Abraham konon berjanji akan membayar Pardjiono US$ 24 per hari. Namun janji itu ternyata tak ditepati. Malah kemudian Par dioperkan pada keluarga Herman, warganegara AS yang berasal dari Belanda. Tapi ia dilarang menelepon istrinya yang masih bekerja pada keluarga Abraham. Seminggu kemudian Par diberitahu bahwa istrinya pergi dan ia diajak mencari. Melalui perjalanan yang kurang jelas dan membingungkan, tahu-tahu Par melewati perbatasan Meksiko. Karena tak mempunyai paspor, pada 3 Desember 1980 Par ditahan. Herman bisa kembali ke Los Angeles dengan janji akan mengirim kan paspor Pardjiono. Setelah menunggu dua hari dalam tahanan Imigrasi, Par menelepon Herman yang berjanji akan menghubungi Konjen RI. Akhir Desember itu Par bersama 23 orang lain diangkut ke Mexico City dan ditahan di sel penjara Dinas Imigrasi Meksiko. Baru pada 2 Januari 1981 dua pejabat KBRI menjemputnya dan ia dibebaskan. Ia memperoleh izin tinggal di Meksiko selama 15 hari. Di hadapan pejabat KBRI itulah Pardjiono kemudian menuliskan kesaksiannya yang 9 halaman panjangnya. Kisah Pardjiono merupakan contoh kasus "budak kontrakan" yang dihebohkan ini. Tapi dalam pernyataan tertulisnya Senin lalu David Mussry membantah ia pernah mengirim tenaga kerja Indonesia ke luar negeri. (lihat David, Membantah, Lalu Diam). Mana pihak yang benar, tentulah masih harus menunggu hasil pemeriksaan. Komplotan "penjual orang-orang asing" untuk dijadikan pelayan pada keluarga-keluarga kaya AS, menurut laporan Los Angeles Times ternyata juga beroperasi di New York dan Miami--pantai timur AS. Tidak semua tenaga kerja Indonesia dikirim oleh calo. Ada juga yang dibawa oleh keluarga Indonesia sendiri. Mereka memang dipekerjakan sebagai pembantu rumah tangga yang buat Indonesia dianggap sesuatu yang biasa. Namun di AS kebiasaan ini bisa dianggap melanggar undang-undang. Pokok pangkalnya adalah perbedaan hukum yang berlaku. Di AS ada batasan jam kerja bagi buruh di samping berlakunya peraturan upah minimum US$ 3, 5 per jam. Jika seseorang bekerja lebih dari 8 jam sehari, ia berhak menerima upah lembur. Dalam kasus tenaga kerja Indonesia yang dikirim ke AS ini, mereka yang dipekerjakan sebagai pembantu rumah tangga praktis bekerja tanpa batasan jam, hingga melanggar hukum. Lebih-lebih mereka seakan dipaksa bekerja dengan upah yang jauh di bawah minimum dengan paspor yang ditahan majikan mereka. Yang lebih memberatkan soal, mereka dianggap sebagai pekerja gelap karena masuk dengan visa turis yang berlaku selama 3 bulan dan tidak mendapat izin kerja. Namun patutkah hal ini disebut scbagai "perbudakan"? Menurut Gregory Churchil, Dosen Pengantar Hukum Amerika di FH UI, selain perbudakan di AS juga dilarang adanya indeture servant. Termasuk perbudakan adalah mempekerjakan orang tanpa dibayar dan tidak memberi mereka kebebasan. Sedang indenture servant adalah semacam "semi perbudakan". Tenaga kerja itu bisa saja dibawa dari negara lain dengan persetujuannya, tapi dipekerjakan tanpa bayaran dan tidak memenuhi syara kerja seperti diatur undang-undang. Churchil mengkategorikan orangorang Indonesia yang disebut terlibat "perbudakan" itu termasuk indenture servant--semacam kuli kontrak di Indonesia. Masalah ini jadi rumit karena undang-undang perburuhan di AS memfokuskan pada perlindungan buruh pabrik. "Sebab dalam abad ini jarang ada pembantu rumah tangga di sana kecuali pada keluarga yang kaya sekali," ujarnya. Banyak pihak di Indonesia yang kurang setuju dengan istilah "perbudakan". Misalnya Dirjen Protokol dan Konsuler Deplu Joop Ave. "Saya tidak setuu karena istilah budak sudah tidak diterima dunia," katanya pekan lalu. Pengertian itu dianggapnya memberi kan pengaruh negatif bagi bangsa yan pernah dialami dalam zaman penjajahan Budak diartikannya mereka yang dipaksa dan dijual. Sedang kasus tenaga kerja Indonesia di AS itu menurut Joop, adalah hal yang biasa. "Mereka cuma ditipu atau tertipu, " katanya. Artina yang harus dicari adalah penipunya. "Saya sang si apakah mereka itu sampai di sana karena dipaksa, " ujarnya. Menurut Sinar Harapan, terbongkar nya kasus "budak kontrakan" ini karen laporan suami istri Putu dan Luh Arvawan pada pihak Imigrasi Los Angeles !,elcitar 10 bulan lalu. Suami istri itu terdorong mengadu karena merasa tidak aman dengan statusnya yang gelap. Di samping mendengar perlakuan yang tidak wajar yang dialami rekan-rekannya. Kasus ini juga memperoleh perhatian luas dari masyarakat Indonesia yang tinggal di sekitar Los Angeles. Dalam upaya membebaskan warganegara Indonesia yang ditahan sebagai saksi itu mereka membentuk sebuah panitia kecil. Yang berperan penting adalah Dewi Dja, seorang penari Indonesia dari zaman sebelum perang yang telah menjadi warganegara AS. Mereka mengusahakan pengacara untuk membela para saksi tersebut. Dewi Dja dan kelompoknya berhasil memperoleh izin dari Jaksa Federal untuk menjamin tujuh orang yang ditahan Rabu sore 3 Februari lalu ke-26 warga negara Indonesia itu akhirnya dibebaskan. Mereka dilepas dari kantor Marshall AS setelah melalui administrasi penglepasan. Wakil Konsul Ny. Ramadhan merangkul mereka satu per satu dengan terharu. Malamnya 15 dari mereka meng hadap Konsul RI di kantornya. Setelah itu bersama Dewi Dja dan Ny. Ramadhan, mereka makan bersama di suatu restoran Cina. Beberapa di antara para buruh ini memilih kembali pada majikan lama mereka. Memang tidak semua mereka diperlakukan secara keras oleh sang majikan. Namun kasus mereka belum selesai, karena peristiwa ini masih akan terus diusut. Sebagai saksi yang bebas mereka mungkin akan didengar keterangannya dalam sidang pengadilan yang bisa terjadi beberapa bulan lagi. Seperti biasa, selalu ada yang melihat segi positif dari kasus semacam ini. "Kami bisa mengambil hikmah," kata Joop Ave yang pekan lalu dilantik sebagai Dirjen Pariwisata. Peristiwa ini dianggapnya telah membuka mata untuk melihat kemungkinan lapangan kerja baru. "Jika kemungkinan itu ada, kita bisa melaksanakannya dengan mengatur secara baik," katanya. Setelah dibebaskan pengadilan, ?ara warganegara Indonesia itu bebas untuk bekerja di AS atau pulang ke tanah air. "Tapi mereka harus bertanggungjawab," kata Joop Ave. Maksudnya, kalau memang mau bekerja di sana harus mendapat izin kerja, memperpanjang visa dan paspor serta menaati peraturan seempat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus