CERITANYA diawali berita kantor berita Associaed Press yang
mengutip keterangan pejabat FBI (Badan Penyelidik Federal AS):
telah ditemukan lebih dari 30 orang Indonesia yang diperkirakan
telah "dijual" sebagai pembantu rumah tangga akhir Januari lalu.
Mereka merupakan sebagian dari tenaga kerja asing yang
"diselundupkan masuk AS oleh suatu komplotan".
Orang-orang Indonesia itu menyatakan, mereka telah "dijual"
dengan harga antara US$ 1.500 sampai US$ 3.000 (antara Rp 1 juta
sampai Rp 2 juta) dan dipaksa tinggal bersama para "pemilik"
mereka selama dua tahun. Mereka yang umumnya dipekerjakan
sebagai pembantu rumah tangga, tukang kebun dan babu itu
semuanya tidak terpelajar, berusia antara 20-30 tahun, dan tidak
memiliki surat keterangan yang diperlukan.
Dalam suatu konperensi pers, Kepala Biro FBI Los Angeles Edward
Best mengungkapkan, setelah menyelidiki selama 11 bulan, lebih
100 anggota FBI dan pejabat Dinas Imigrasi dan Naturalisasi
menggeledah rumah-rumah dan pcrusahaan. Banyak di antaranya
ditemukan di Beverly Hills, yang dikenal sebagai daerah tempat
tinggal orang-orang kaya dan bintang film. "Saya sangat heran
bahwa dalam masa sekarang --- pada abad seperti ini -- orang
masih dapat menjebloskan orang lain ke dalam situasi
perbudakan," ujar Best.
Dengan segera istilah "perbudakan" itu lekat dan "diresmikan"
oleh media massa. Termasuk di Indonesia. Akibatnya
menggemparkan. Ketua DPR Daryatmo menyebut kasus "budak
kontrakan" ini "sangat memalukan pemerintah Amerika Serikat,
sebab dalam zaman seperti 1982 ini masih terdapat perbudakan
manusia di negara yang selama ini digembar-gemborkan sebagai
negara demokrasi."
Menteri Kehakiman Ali Said kepada pers pekan lalu menjanjikan
departemennya akan menyelidiki mengapa hal ini bisa terjadi.
Menlu Mochtar Kusumaatmadja menyesalkan orang yang menjadi calo
perbudakan itu. Hanya ia menambahkan, dengan kepala lebih
dingin: ia menghimbau agar menghargai upaya penertiban oleh
pemerinuh AS, karena itu memang wewenangnya.
Sementara itu di Amerika Serikat sendiri kasus "perbudakan" itu
juga menimbulkan heboh. Koran dan televisi setempat secara
berturut-turut melaporkan kasus perbudakan di abad ke-20 ini.
Memaksa seseorang menjadi pelayari (involutary servitude),
menurut Undang-undang AS merupakan kejahatan.
Jumlah warganegara Indonesia yang ditemukan FBI ternyata 25
orang. Tatkala dihadapkan sebagai saksi dalam persidangan Grand
Jury--semacam lembaga prapengadilan--dua pekan lalu, mereka
tidak boleh ditemui wartawan atau teman-teman mereka. "Mereka
umumnya tidak mengerti apa yang sebenarnya sedang terjadi," kata
Lily Tan, seorang penerjemah bahasa Indonesia yang dipekerjakan
oleh pemerintah AS.
Orang-orang kaya di AS itu--beberapa di antaranya keturunan Indo
Belanda yang pernah tinggal di Indonesia memperoleh tenaga kerja
Indonesia itu lewat suatu biro perjalanan yang mendatangkan
mereka dari Indonesia. Mereka mudah dikontrol karena majikan
mereka menahan paspor dan surat keterangan mereka. Selain
menahan paspor, menurut keterangan FBI, ada di antara majikan
itu yang melakukan ancaman fisik.
Seorang di antara "budak" itu, Nyoman Ngakan yang berasal
dari Bali. Kabarnya pernah mencoba melarikan diri Tapi tukang
pukul majikannya menemukannya. Dia dipukuli sampai cedera,
begitu pengakuan Nyoman.
Sekalipun pihak FBI telah hampir setahun menyelidiki masalah
ini, pihak Konsulat Jenderal RI di Los Angeles tidak pernah
merasa ada yang tidak beres dengan warganegara RI di sana. "Kami
tidak pernah mendapat mengaduan," kata seorang pejabat yang
menolak disebut namanya pada Salim Said dari TEMPO.
Pejabat itu menyebutkan, sebetulnya soal perbudakan yang
diributkan itu adalah masalah istilah saja. "Para pembantu rumah
tangga kita di Indonesia juga tidak pernah mengenal sistem
kontrak," ujarnya.
Dari sebuah sumber lain di Kedutaan Besar RI di Washington,
TEMPO memperoleh keterangan, kasus yang lagi-diramaikan ini
sebetulnya bukan hal baru. Menurut catatan KBRI, pada 1980
sebuah kasus yang menyangkut ditelantarkannya seorang pembantu
rumah tangga asal Indonesia bernama Kartini pernah terjadi di
California. Yang mendatangkan Kartini waktu itu menurut KBRI
adalah David Mussry, pemilik biro perjalanan PT Amanda Bali
Internasional yang juga memiliki hotel Bali International di
Jakarta Pusat. "Apakah David Mussry terlibat lagi dalam kasus di
Los Angeles ini kami belum mendapat laporan," ujar pejabat
tersebut dua pekan lalu.
NAMA David Mussry memang kemudian banyak disebut-se but. Ia
bahkan dituding sebagai "dalang" kasus budak kontrakan ini.
Dalam penjelasannya pada pers pekan lalu, Kepala Dinas
Peneragan Polri Brigjen (Pol Darawan Sudarsono membenarkan
Mabak telah memeriksa "DM", seorang pemilik hotel dan biro
perjalanan di Jakarta Pusat yang diduga punya kaitan dengan
penginman tenaga kerja ke AS. Dalam pemeriksaan, "DM" antara
lain mengakui pernah mengirim 12 orang Indonesia ke AS beberapa
waktu yang lalu.
Sekalipun tak diungkapkan tampaknya memang singkatan "DM" David
Mussry. Menurut laporan kantor berita UPI dari Los Angeles,
dalam operasinya "DM" bekerjasama dengan seorang wanita dalam
hal "pemalsuan visa, pembelian tiket pesawat terbang dan
pemberian uang" pada orang-orang Indonesia yang diberangkatkan
ke Los Angeles.
Setibanya di Los Angeles, mereka dijemput oleh wanita tersebut
di lapangan terbang. Mereka ditempatkan pada keluarga yang sudah
memesan dengan bayaran US$ 3.000 seorang.
Seorang wanita Indonesia berusia 28 tahun yang diwawancarai Los
Angeles Times mengatakan, dia dan dua temannya dibawa oleh "DM"
pada Juli 1980 dengan janji akan memperoleh pekerjaan yang
"enak" di AS. Setiba di Los Angeles dia dibawa ke suatu rumah
dan bekerja di sana selama 6 bulan--tanpa mendapat upah. Namun
tiga bulan terakhir ia memperoleh gaji US$ 150 per bulan.
Tapi karena perlakuan buruk, wanita itu kemudian bergabung
dengan seorang temannya yang bekerja di Beverly Hills. Bekas
majikannya dikabarkan kemudian menuntut ganti rugi US$ 3.000
pada majikan baru. Setelah tawar menawar, majikan lamanya
bersedia menerima US$ 1.000.
Nama David Mussry juga disebut oleh Pardjiono, 30 tahun, tukang
kayu jebolan STM jurusan sangunan Bojonegoroy ang pada Mei 1980
tlba di Los Angeles. 'Ini bermula dari tawaran seorang bernama
David Mesri," tulis Pardjiono dalam pernyataannya awal Januari
lalu.
Karena waktu itu ia bekerja sebagai buruh tidak tetap, Pardjiono
dan istrinya menerima tawaran tersebut. Bersama dua orang
Indonesia lain, dengan bekal US$ 300 dari David Mussry, mereka
dikirim ke Los Angeles. Pardjiono dan istri kemudian bekerja
pada keluarga Edward Abraham, seorang keturunan Yahudi yang
tinggal di Beverlv Hills. Abraham bisa berbahasa Indonesia,
karena pernah tinggal di Surabaya.
Istri Pardjiono bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Pardjiono
sendiri bertukang, membangun rumah baru. Karena selama 3 bulan
tak memperoleh upah, Par terpaksa menanyakannya, Ia kemudian
diberi US$ 100 dan pala akhir bulan keempat Abraham
menarnbahkan US$ 300. Karena waktu di Jakarta dijanjikan
menerima lebih dari ju, Par kemudian menuntut janji itu.
Namun Abraham mementak, "Kamu ini sudah saya kontak k dua
tahun dengan uang US$ 5.000." Pardjiono kemudian mereka-reka
jangan jangan teman-temannya mengalami nasib serupa. "Saya
perkirakan David Mesri (maksudnya mungkin Mussry -Red.) lah yang
menerimanya karena saya sendiri tidak pernah mendapatkan uang
sebanyak itu," tulis Pardjiono yang mengaku beragama Islam dan
semula tinggal di Cilincing, Jakarta Utara.
Mungkin karena melawan, Par kemudian akan dikirim balik ke
Indonesia. Karena takut, ia lari dan melaporkan diri ke Konsulat
Jenderal RI. Konjen kemudian memanggil keluarga Abraham. Abraham
konon berjanji akan membayar Pardjiono US$ 24 per hari. Namun
janji itu ternyata tak ditepati.
Malah kemudian Par dioperkan pada keluarga Herman, warganegara
AS yang berasal dari Belanda. Tapi ia dilarang menelepon
istrinya yang masih bekerja pada keluarga Abraham. Seminggu
kemudian Par diberitahu bahwa istrinya pergi dan ia diajak
mencari. Melalui perjalanan yang kurang jelas dan membingungkan,
tahu-tahu Par melewati perbatasan Meksiko. Karena tak mempunyai
paspor, pada 3 Desember 1980 Par ditahan. Herman bisa kembali ke
Los Angeles dengan janji akan mengirim kan paspor Pardjiono.
Setelah menunggu dua hari dalam tahanan Imigrasi, Par menelepon
Herman yang berjanji akan menghubungi Konjen RI. Akhir Desember
itu Par bersama 23 orang lain diangkut ke Mexico City dan
ditahan di sel penjara Dinas Imigrasi Meksiko. Baru pada 2
Januari 1981 dua pejabat KBRI menjemputnya dan ia dibebaskan.
Ia memperoleh izin tinggal di Meksiko selama 15 hari. Di hadapan
pejabat KBRI itulah Pardjiono kemudian menuliskan kesaksiannya
yang 9 halaman panjangnya.
Kisah Pardjiono merupakan contoh kasus "budak kontrakan" yang
dihebohkan ini. Tapi dalam pernyataan tertulisnya Senin lalu
David Mussry membantah ia pernah mengirim tenaga kerja
Indonesia ke luar negeri. (lihat David, Membantah, Lalu
Diam). Mana pihak yang benar, tentulah masih harus menunggu
hasil pemeriksaan.
Komplotan "penjual orang-orang asing" untuk dijadikan pelayan
pada keluarga-keluarga kaya AS, menurut laporan Los Angeles
Times ternyata juga beroperasi di New York dan Miami--pantai
timur AS. Tidak semua tenaga kerja Indonesia dikirim oleh calo.
Ada juga yang dibawa oleh keluarga Indonesia sendiri. Mereka
memang dipekerjakan sebagai pembantu rumah tangga yang buat
Indonesia dianggap sesuatu yang biasa. Namun di AS kebiasaan ini
bisa dianggap melanggar undang-undang.
Pokok pangkalnya adalah perbedaan hukum yang berlaku. Di AS ada
batasan jam kerja bagi buruh di samping berlakunya peraturan
upah minimum US$ 3, 5 per jam. Jika seseorang bekerja lebih dari
8 jam sehari, ia berhak menerima upah lembur.
Dalam kasus tenaga kerja Indonesia yang dikirim ke AS ini,
mereka yang dipekerjakan sebagai pembantu rumah tangga praktis
bekerja tanpa batasan jam, hingga melanggar hukum. Lebih-lebih
mereka seakan dipaksa bekerja dengan upah yang jauh di bawah
minimum dengan paspor yang ditahan majikan mereka. Yang lebih
memberatkan soal, mereka dianggap sebagai pekerja gelap karena
masuk dengan visa turis yang berlaku selama 3 bulan dan tidak
mendapat izin kerja.
Namun patutkah hal ini disebut scbagai "perbudakan"? Menurut
Gregory Churchil, Dosen Pengantar Hukum Amerika di FH UI, selain
perbudakan di AS juga dilarang adanya indeture servant.
Termasuk perbudakan adalah mempekerjakan orang tanpa dibayar dan
tidak memberi mereka kebebasan. Sedang indenture servant adalah
semacam "semi perbudakan". Tenaga kerja itu bisa saja dibawa
dari negara lain dengan persetujuannya, tapi dipekerjakan tanpa
bayaran dan tidak memenuhi syara kerja seperti diatur
undang-undang.
Churchil mengkategorikan orangorang Indonesia yang disebut
terlibat "perbudakan" itu termasuk indenture servant--semacam
kuli kontrak di Indonesia. Masalah ini jadi rumit karena
undang-undang perburuhan di AS memfokuskan pada perlindungan
buruh pabrik. "Sebab dalam abad ini jarang ada pembantu rumah
tangga di sana kecuali pada keluarga yang kaya sekali," ujarnya.
Banyak pihak di Indonesia yang kurang setuju dengan istilah
"perbudakan". Misalnya Dirjen Protokol dan Konsuler Deplu Joop
Ave. "Saya tidak setuu karena istilah budak sudah tidak
diterima dunia," katanya pekan lalu.
Pengertian itu dianggapnya memberi kan pengaruh negatif bagi
bangsa yan pernah dialami dalam zaman penjajahan Budak
diartikannya mereka yang dipaksa dan dijual. Sedang kasus tenaga
kerja Indonesia di AS itu menurut Joop, adalah hal yang biasa.
"Mereka cuma ditipu atau tertipu, " katanya. Artina yang harus
dicari adalah penipunya. "Saya sang si apakah mereka itu sampai
di sana karena dipaksa, " ujarnya.
Menurut Sinar Harapan, terbongkar nya kasus "budak kontrakan"
ini karen laporan suami istri Putu dan Luh Arvawan pada pihak
Imigrasi Los Angeles !,elcitar 10 bulan lalu. Suami istri itu
terdorong mengadu karena merasa tidak aman dengan statusnya yang
gelap. Di samping mendengar perlakuan yang tidak wajar yang
dialami rekan-rekannya.
Kasus ini juga memperoleh perhatian luas dari masyarakat
Indonesia yang tinggal di sekitar Los Angeles. Dalam upaya
membebaskan warganegara Indonesia yang ditahan sebagai saksi itu
mereka membentuk sebuah panitia kecil. Yang berperan penting
adalah Dewi Dja, seorang penari Indonesia dari zaman sebelum
perang yang telah menjadi warganegara AS. Mereka mengusahakan
pengacara untuk membela para saksi tersebut.
Dewi Dja dan kelompoknya berhasil memperoleh izin dari Jaksa
Federal untuk menjamin tujuh orang yang ditahan Rabu sore 3
Februari lalu ke-26 warga negara Indonesia itu akhirnya
dibebaskan. Mereka dilepas dari kantor Marshall AS setelah
melalui administrasi penglepasan. Wakil Konsul Ny. Ramadhan
merangkul mereka satu per satu dengan terharu. Malamnya 15 dari
mereka meng hadap Konsul RI di kantornya. Setelah itu bersama
Dewi Dja dan Ny. Ramadhan, mereka makan bersama di suatu
restoran Cina.
Beberapa di antara para buruh ini memilih kembali pada majikan
lama mereka. Memang tidak semua mereka diperlakukan secara keras
oleh sang majikan. Namun kasus mereka belum selesai, karena
peristiwa ini masih akan terus diusut. Sebagai saksi yang bebas
mereka mungkin akan didengar keterangannya dalam sidang
pengadilan yang bisa terjadi beberapa bulan lagi.
Seperti biasa, selalu ada yang melihat segi positif dari kasus
semacam ini. "Kami bisa mengambil hikmah," kata Joop Ave yang
pekan lalu dilantik sebagai Dirjen Pariwisata. Peristiwa ini
dianggapnya telah membuka mata untuk melihat kemungkinan
lapangan kerja baru. "Jika kemungkinan itu ada, kita bisa
melaksanakannya dengan mengatur secara baik," katanya.
Setelah dibebaskan pengadilan, ?ara warganegara Indonesia itu
bebas untuk bekerja di AS atau pulang ke tanah air. "Tapi mereka
harus bertanggungjawab," kata Joop Ave. Maksudnya, kalau memang
mau bekerja di sana harus mendapat izin kerja, memperpanjang
visa dan paspor serta menaati peraturan seempat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini