Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MEMBAWA pulang Umar Patek tanpa perlu mencarter pesawat khusus merupakan upaya yang patut dihargai. Pemulangan tersangka teroris bernama asli Hisyam Ali Zein Bawazier ini adalah hasil diplomasi pihak Indonesia sejak Umar tertangkap unit intelijen Pakistan di kawasan Abbottabad, tak jauh dari Islamabad, Januari lalu. Setelah ikut mengidentifikasi dan menginterogasi Umar Patek bersama aparatur Pakistan, tim yang meliputi anggota Detasemen Khusus Antiteror, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Kementerian Luar Negeri, dan Badan Intelijen Negara mampu meyakinkan pemerintah Pakistan agar penyelidikan terhadap Umar dilanjutkan di Indonesia.
Umar dikabarkan kabur ke Filipina Selatan, kawasan yang terkenal sebagai tempat pelatihan militer "gerombolan jihad", sejak 2003. Umar—dan istrinya yang berkebangsaan Filipina—tercatat masuk Pakistan pada 30 Agustus 2010 dengan nama Anis Alawi Jaafar dan Fatima Zahra. Sejak itu ia berusaha menghubungi Usamah bin Ladin untuk meminta dukungan sekaligus perlindungan. Ada rumor yang membisikkan: Umar sempat bertemu dengan Usamah. Kabar itu ditepis intelijen Pakistan dan Amerika Serikat. Tertangkapnya Umar di kawasan yang sama dengan tempat terbunuhnya Usamah oleh pasukan khusus Amerika, 2 Mei lalu, hanyalah kebetulan.
Mengaitkan Umar dengan Usamah tak pula tanpa dasar. Umar pernah ikut pelatihan militer di Afganistan pada awal 1990-an, yang merupakan perekrutan pertama Al-Qaidah dari kawasan Asia Tenggara. Pada saat itu pula jaringan Usamah di Al-Qaidah mulai terhubung dengan kekuatan Islam militan Asia Tenggara. Bisa dikatakan, Umar satu-satunya "petinggi" teroris dari Asia Tenggara yang masih tersisa. Hambali, dalang bom Bali 2002 dan serangkaian teror lainnya, masih menghuni penjara khusus Amerika di Guantanamo, sejak ditangkap di Thailand pada 2003. "Rekan seangkatan" lainnya, Dr. Azahari bin Husin, Noor Din M. Top, dan Dulmatin, tewas dalam sergapan polisi antiteror.
Bisa dibayangkan betapa banyak keterangan yang bisa digali dari Umar. Sebab, sejak terbunuhnya Azahari, jaringan Jamaah Islamiyah amburadul. Umar dianggap berperan menghubungkan kembali jalinan teroris Asia Tenggara dengan Taliban Pakistan dan Taliban Afganistan. Aparatur yang bertugas menggali informasi seyogianyalah sangat piawai, terutama mengisi titik-titik kosong selama masa pelarian Umar Patek sejak 2003. Para penyidik juga harus menyusun strategi yang kuat, karena Umar Patek juga diinginkan Amerika Serikat, Australia, Inggris, dan Filipina. Kita, di bawah kesepakatan kontra-terorisme dengan Amerika Serikat dan Australia, serta negara anggota ASEAN, berhak meminta informasi tentang terorisme yang relevan ke pihak lain. Sebaliknya, kita juga harus tetap kooperatif dengan pemerintah negara-negara yang menginginkan Umar Patek, tanpa harus menyerahkan si tersangka kepada mereka.
Kita tidak boleh naif dalam urusan "perang melawan terorisme" yang dicanangkan Amerika Serikat sejak serangan 11 September 2001. Keinginan Amerika menjadikan Asia Tenggara sebagai "second front" perang terhadap terorisme wajib diwaspadai. Jangan sampai terjadi intervensi dalam hal penanganan tersangka teroris. Bagaimanapun, Indonesia berkewajiban menuntaskan kasus-kasus terorisme di dalam teritorinya sendiri.
Fokus saja ke "eksistensi" Umar Patek sebagai sumber penting terorisme, termasuk jaringannya yang mungkin menjangkau hingga Filipina, Pakistan, dan Afganistan. Dia bukan pesohor, apalagi pengemban misi suci. Pemberitaan tentang dia pun jangan sampai malah membuat si penjahat berubah menjadi "pahlawan"—seperti yang hampir terjadi pada Imam Samudra.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo