PADA suatu hari saya bertanya kepada anak saya: "Bagaimana kalau
Bapak jadi seperti Gandhi?"
Jawab: "Alah, paling cuma tahan dua hari, Pak."
Gandhi, memang, sebuah puasa besar. Ia tak merokok. Ia tak minum
teh. Ia tak minum kopi. Ia tak makan daging. Ia tak mau susu. Ia
juga menolak telur. Dan tak cuma itu.
Seperti ditunjukkan dalam film karya Richard Attenbourough
tentang tokoh ini dalam satu adegan Gandhi nampak memilih jalan
kaki ketimbang naik mobil yang disediakan Ali Jinnah. Dan ketika
untuk sebuah perundingan penting ia diundang Wakil Raja Inggris,
Lord Mounbatten, untuk pulang dari Bihar, Gandhi juga menolak
memakai pesawat terbang. Ia memilih kendaraan yang dipakai
rakyat banyak, kereta api, di kelas tiga. Perundingan harus
menunggu.
Saya pernah punya kesempatan mampir di India di tahun 1966.
Seorang pemuda yang mengaku pengikut Gandhi mengajak saya
berkeliling Kota Bombay. Ia membawa saya ke suatu tempat yang
rupanya jadi kebanggaan di situ: sebuah planetarium baru.
Gedung itu memang megah dan modern. Tapi hari itu AC-nya mati,
dan penjelasan tentang kehidupan antariksa diberikan dalam
bahasa Urdu. Gerah dan tak mengerti apa-apa, saya jadi usil dan
bertanya kepada pengantar saya: "Bagaimana seorang pengikut
Gandhi bisa membanggakan bangunan yang seperti ini?"
Pengantar saya, seraya mendengarkan penjelasan tentang Bimasakti
dalam bahasa Urdu, menjawab: "Kami toh harus menyesuaikan diri
dengan keadaan."
Betapa sukar rupanya bagi orang biasa untuk hidup dalam puasa
besar yang tak pernah putus itu. Kita cenderung gampang
"menyesuaikan diri dengan keadaan", sementara Gandhi adalah tipe
perlawanan terhadap keadaan.
Ada sebuah potret orang tua ini. Ia berjalan sedikit bongkok
dengan tubuh yang seperti cuma dibungkus taplak meja, memasuki
Istana Buckingham di London yang sedang dingin. Ia tak acuh pada
temperatur. Ia juga tak acuh pada adatistiadat berpakaian
menurut orang Barat. Ia mengadakan resistansi terhadap
tuntutan-tuntutan dari sekitar, tanpa banyak kata-kata.
Para petugas di sekitarnya, bertopi dan berjas hujan, seakan
memandang seluruh adegan dengan aneh, meskipun dengan mulut
terkatup orang Inggris. Seperti ketika Ali Jinnah melihat Gandhi
berjalan kaki setelah menolak mobilnya. Dalam film Richard
Attenbourough, politikus pendiri Pakistan itu berbisik jengkel,
"Ya, Tuhan berilah aku kesabaran."
Dunia memang terbagi antara alam Gandhi dan alam orang-orang
yang tak seperti Gandhi. Ada mungkin yang akan mengatakan,
betapa menyedihkannya hal itu. Bukankah Gandhi teladan kebajikan
dan kemuliaan? Dan dengan contoh seperti itu, tidakkah kehidupan
akan lebih baik bila semua orang mengikuti jejak sang Mahatma ?
Kita tak tahu pasti. Kita tidak tahu benarkah menjadi mahatma,
sukma yang agung, merupakan keinginan manusia umumnya, dan
tidakkah dunia justru lebih sehat dengan takdirnya yang seperti
sekarang.
"Tentu, alkohol, tembakau dan seterusnya adalah hal-hal yang
harus dihindari seorang suci, tapi keadaan sebagai orang suci
adalah hal yang harus dihindari oleh manusia."
Kata-kata itu ditulis oleh George Orwell, penulis novel 1984
itu, dalam sebuah renungan tentang Gandhi yang terbit di awal
1949.
Agak provokatif, memang. Tapi Orwell, seorang sosialis dan
seorang demokrat, adalah pembela orang kebanyakan - juga dalam
perkara tinggi-rendahnya akhlak. Jika hidup seperti Gandhi tak
dijalani banyak orang, bagi Orwell itu bukanlah karena orang
kebanyakan adalah "seorang suci yang gagal". Mereka, menurut
Orwell, memang tak kepingin menjadi santo. Sebaliknya, orang
yang berhasil atau mengidamkan diri jadi orang suci "mungkin
saja memang tak banyak tergoda untuk jadi manusia."
Ada sebuah kisah termasyhur Leo Tolstoi. Ini cerita tentang Bapa
Sergius. Ia seorang bangsawan dan bekas perwira tinggl militer
yang banyak dlkagumi, tapi kemudian kecewa dan jadi pertapa. Ia
berdiam di hutan. Suatu hari ia dengan cara mengampak jarinya
sendiri berhasil menghindari godaan seorang wanita perayu. Sejak
itu Bapak Sergius Jadi masyhur. Tapi dari sana pula ia
perlahan-lahan terbuai oleh kesuciannya sendiri.
Orwell mungkin benar: orang seperti Bapa Sergius barangkali
memang tak tertarik menjadi manusia biasa. Seperti dalam riwayat
dinasnya, ia seorang pendaki: kesucian bagmya adalah sebuah
puncak karir.
Tapi samakah Gandhi dengan Bapa Sergius? Gandhi tidak menjadi
pertapa, yang menyendiri secara intens. Ia mendirikan ashram,
suatu komune dengan orang-orang yang sepaham. Ia tak mengangkat
dirinya sendiri, tapi orang lain. Ia bukan burung merak yang
mengembangkan ekornya di depan publik. "Saya harus merendahkan
diri sampai ke titik nol," tulisnya dalam autobiografinya yang
diterjemahkan oleh Gedong Bagus Oka.
Ia karena itu tak segan berolok-olok dan bergurau dengan
anak-anak. Ashram-nya bukanlah tempat yang merengut. Dan sang
Bapu, begitulah la dlsebut, tak tampll bagai superstar yang
dikitari orang yang membabi buta. Gandhi bukanlah tokoh dengan
kharisma.
"Saya tak merasakan rasa gentar di hadapan Gandhi," tulis
wartawan Louis Fischer yang mengunjunginya di tahun 1942. "Saya
merasa menghadapi seorang yang sangat manis, lembut, tak formal,
santai, bahagia, bijaksana dan sangat beradab." Ia tulus dan
agaknya rada pemalu.
Dengan kata lain, Gandhi tak merasa dirinya suatu tonggak
kesempurnaan. "Sebelum Anda pergi," ujarnya kepada Louis Fischer
setelah ketawa, "Anda akan menemukan seratus kesalahan saya dan
jika Anda tak menemukannya, nanti saya tolong."
Mungkin karena itulah ia pada dasarnya seorang pemaaf. Secara
langsung, dan secara kukuh, ia dengan demikian mempertautkan
diri kembali dengan orang kebanyakan. "Aku bukan Mahatma,"
katanya.
Tapi mungkinkah orang seperti dia tidak menghendaki jalannya
diikuti? Dan tidakkah dengan demikian ia harus mengambil jarak
dari orang-orang? Benar - dan di situlah rumitnya posisi seorang
yang harus memperbarui dunia dengan kesucian. "Ia yang ingin
berteman dengan Tuhan harus tetap menyendiri," tulis Gandhi.
Pernyataan seperti itu tak dengan sertamerta melahirkan suatu
citra tentang Gandhi yang menjauh. Namun memang ada hal-hal yang
ia putuskan dalam hidupnya. Selama lebih 35 tahun, tulisnya
dalam sebuah surat, "saya telah menghentikan kehidupan
berkeluarga."
Tak mengherankan bila Bapu yang dikenal baik hati ini di sisi
lain adalah seorang yang tak membahagiakan anak-anaknya.
Harilal, anaknya yang pertama, menjadi pemabuk. Manilal, anaknya
yang lain, setelah terlibat skandal dengan seorang wanita di
Afrika Selatan, tak ia izinkan menikah sampai akhirnya ibu si
anak mengubahperintah sang bapak. Louis Fischer menulis tentang
hubungan Gandhi dan anak-anaknya: "Ia mempunyai sikap dingin
yang tak seperti Gandhi terhadap mereka."
Jika seperti dikatakan Gandhi sendiri, bahwa seorang besar lebih
baik punya murid ketimbang punya anak, jelaslah bahwa memang
berat sebuah dunia yang hanya terdiri dari orang besar dan suci.
Alam Gandhi pada akhirnya memang bukan satusatunya alam yang
harus ada - jika kita bisa menerima orang kebanyakan sebagai
tetangga yang tak mulia, tapi sah.
Maka, sementara di ashram itu kehidupan berjalan dengan tenang,
di luarnya kesibukan telah membuat bekasnya. Ada orangorang yang
mendidik anak, dan melatihnya ke masa depan. Ada petani yang
mengolah sawah. Ada pedagang. Bahkan ada juga kapitalis seperti
G.D. Birla, jutawan pemilik pabrik tekstil yang menyumbangkan
banyak hartanya untuk gerakan Gandhi.
Sang Mahatma sendiri - dengan humornya yang khas - gemar
mengutip kata-kata Sayorini Naidu, teman seperjuangannya:
"Banyak skali ongkos untuk menjaga agar Gandhi tetap hidup
dalam kemiskinan."
Tapi tak mengapa. Kemiskinan dan puasa panjang Gandhi memberikan
sesuatu yang lebih berharga ketimbang yang diterimanya dari
Birla: ia memperbaiki gambar manusia dalam album kita - bahwa
manusia bisa lebih baik dari sekadar keserakahan dan sikap acuh
tak acuh.
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini