Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Gandhi, sebuah puasa besar

Gandhi, puasa besar. ia tidak merokok, minum teh, minum kopi, tak mau naik mobil, dsb. gandhi terkenal baik hati, tak dapat membahagiakan anak-anaknya. dalam surat, ia menulis menghentikan kehidupan berkeluarga.

16 April 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PADA suatu hari saya bertanya kepada anak saya: "Bagaimana kalau Bapak jadi seperti Gandhi?" Jawab: "Alah, paling cuma tahan dua hari, Pak." Gandhi, memang, sebuah puasa besar. Ia tak merokok. Ia tak minum teh. Ia tak minum kopi. Ia tak makan daging. Ia tak mau susu. Ia juga menolak telur. Dan tak cuma itu. Seperti ditunjukkan dalam film karya Richard Attenbourough tentang tokoh ini dalam satu adegan Gandhi nampak memilih jalan kaki ketimbang naik mobil yang disediakan Ali Jinnah. Dan ketika untuk sebuah perundingan penting ia diundang Wakil Raja Inggris, Lord Mounbatten, untuk pulang dari Bihar, Gandhi juga menolak memakai pesawat terbang. Ia memilih kendaraan yang dipakai rakyat banyak, kereta api, di kelas tiga. Perundingan harus menunggu. Saya pernah punya kesempatan mampir di India di tahun 1966. Seorang pemuda yang mengaku pengikut Gandhi mengajak saya berkeliling Kota Bombay. Ia membawa saya ke suatu tempat yang rupanya jadi kebanggaan di situ: sebuah planetarium baru. Gedung itu memang megah dan modern. Tapi hari itu AC-nya mati, dan penjelasan tentang kehidupan antariksa diberikan dalam bahasa Urdu. Gerah dan tak mengerti apa-apa, saya jadi usil dan bertanya kepada pengantar saya: "Bagaimana seorang pengikut Gandhi bisa membanggakan bangunan yang seperti ini?" Pengantar saya, seraya mendengarkan penjelasan tentang Bimasakti dalam bahasa Urdu, menjawab: "Kami toh harus menyesuaikan diri dengan keadaan." Betapa sukar rupanya bagi orang biasa untuk hidup dalam puasa besar yang tak pernah putus itu. Kita cenderung gampang "menyesuaikan diri dengan keadaan", sementara Gandhi adalah tipe perlawanan terhadap keadaan. Ada sebuah potret orang tua ini. Ia berjalan sedikit bongkok dengan tubuh yang seperti cuma dibungkus taplak meja, memasuki Istana Buckingham di London yang sedang dingin. Ia tak acuh pada temperatur. Ia juga tak acuh pada adatistiadat berpakaian menurut orang Barat. Ia mengadakan resistansi terhadap tuntutan-tuntutan dari sekitar, tanpa banyak kata-kata. Para petugas di sekitarnya, bertopi dan berjas hujan, seakan memandang seluruh adegan dengan aneh, meskipun dengan mulut terkatup orang Inggris. Seperti ketika Ali Jinnah melihat Gandhi berjalan kaki setelah menolak mobilnya. Dalam film Richard Attenbourough, politikus pendiri Pakistan itu berbisik jengkel, "Ya, Tuhan berilah aku kesabaran." Dunia memang terbagi antara alam Gandhi dan alam orang-orang yang tak seperti Gandhi. Ada mungkin yang akan mengatakan, betapa menyedihkannya hal itu. Bukankah Gandhi teladan kebajikan dan kemuliaan? Dan dengan contoh seperti itu, tidakkah kehidupan akan lebih baik bila semua orang mengikuti jejak sang Mahatma ? Kita tak tahu pasti. Kita tidak tahu benarkah menjadi mahatma, sukma yang agung, merupakan keinginan manusia umumnya, dan tidakkah dunia justru lebih sehat dengan takdirnya yang seperti sekarang. "Tentu, alkohol, tembakau dan seterusnya adalah hal-hal yang harus dihindari seorang suci, tapi keadaan sebagai orang suci adalah hal yang harus dihindari oleh manusia." Kata-kata itu ditulis oleh George Orwell, penulis novel 1984 itu, dalam sebuah renungan tentang Gandhi yang terbit di awal 1949. Agak provokatif, memang. Tapi Orwell, seorang sosialis dan seorang demokrat, adalah pembela orang kebanyakan - juga dalam perkara tinggi-rendahnya akhlak. Jika hidup seperti Gandhi tak dijalani banyak orang, bagi Orwell itu bukanlah karena orang kebanyakan adalah "seorang suci yang gagal". Mereka, menurut Orwell, memang tak kepingin menjadi santo. Sebaliknya, orang yang berhasil atau mengidamkan diri jadi orang suci "mungkin saja memang tak banyak tergoda untuk jadi manusia." Ada sebuah kisah termasyhur Leo Tolstoi. Ini cerita tentang Bapa Sergius. Ia seorang bangsawan dan bekas perwira tinggl militer yang banyak dlkagumi, tapi kemudian kecewa dan jadi pertapa. Ia berdiam di hutan. Suatu hari ia dengan cara mengampak jarinya sendiri berhasil menghindari godaan seorang wanita perayu. Sejak itu Bapak Sergius Jadi masyhur. Tapi dari sana pula ia perlahan-lahan terbuai oleh kesuciannya sendiri. Orwell mungkin benar: orang seperti Bapa Sergius barangkali memang tak tertarik menjadi manusia biasa. Seperti dalam riwayat dinasnya, ia seorang pendaki: kesucian bagmya adalah sebuah puncak karir. Tapi samakah Gandhi dengan Bapa Sergius? Gandhi tidak menjadi pertapa, yang menyendiri secara intens. Ia mendirikan ashram, suatu komune dengan orang-orang yang sepaham. Ia tak mengangkat dirinya sendiri, tapi orang lain. Ia bukan burung merak yang mengembangkan ekornya di depan publik. "Saya harus merendahkan diri sampai ke titik nol," tulisnya dalam autobiografinya yang diterjemahkan oleh Gedong Bagus Oka. Ia karena itu tak segan berolok-olok dan bergurau dengan anak-anak. Ashram-nya bukanlah tempat yang merengut. Dan sang Bapu, begitulah la dlsebut, tak tampll bagai superstar yang dikitari orang yang membabi buta. Gandhi bukanlah tokoh dengan kharisma. "Saya tak merasakan rasa gentar di hadapan Gandhi," tulis wartawan Louis Fischer yang mengunjunginya di tahun 1942. "Saya merasa menghadapi seorang yang sangat manis, lembut, tak formal, santai, bahagia, bijaksana dan sangat beradab." Ia tulus dan agaknya rada pemalu. Dengan kata lain, Gandhi tak merasa dirinya suatu tonggak kesempurnaan. "Sebelum Anda pergi," ujarnya kepada Louis Fischer setelah ketawa, "Anda akan menemukan seratus kesalahan saya dan jika Anda tak menemukannya, nanti saya tolong." Mungkin karena itulah ia pada dasarnya seorang pemaaf. Secara langsung, dan secara kukuh, ia dengan demikian mempertautkan diri kembali dengan orang kebanyakan. "Aku bukan Mahatma," katanya. Tapi mungkinkah orang seperti dia tidak menghendaki jalannya diikuti? Dan tidakkah dengan demikian ia harus mengambil jarak dari orang-orang? Benar - dan di situlah rumitnya posisi seorang yang harus memperbarui dunia dengan kesucian. "Ia yang ingin berteman dengan Tuhan harus tetap menyendiri," tulis Gandhi. Pernyataan seperti itu tak dengan sertamerta melahirkan suatu citra tentang Gandhi yang menjauh. Namun memang ada hal-hal yang ia putuskan dalam hidupnya. Selama lebih 35 tahun, tulisnya dalam sebuah surat, "saya telah menghentikan kehidupan berkeluarga." Tak mengherankan bila Bapu yang dikenal baik hati ini di sisi lain adalah seorang yang tak membahagiakan anak-anaknya. Harilal, anaknya yang pertama, menjadi pemabuk. Manilal, anaknya yang lain, setelah terlibat skandal dengan seorang wanita di Afrika Selatan, tak ia izinkan menikah sampai akhirnya ibu si anak mengubahperintah sang bapak. Louis Fischer menulis tentang hubungan Gandhi dan anak-anaknya: "Ia mempunyai sikap dingin yang tak seperti Gandhi terhadap mereka." Jika seperti dikatakan Gandhi sendiri, bahwa seorang besar lebih baik punya murid ketimbang punya anak, jelaslah bahwa memang berat sebuah dunia yang hanya terdiri dari orang besar dan suci. Alam Gandhi pada akhirnya memang bukan satusatunya alam yang harus ada - jika kita bisa menerima orang kebanyakan sebagai tetangga yang tak mulia, tapi sah. Maka, sementara di ashram itu kehidupan berjalan dengan tenang, di luarnya kesibukan telah membuat bekasnya. Ada orangorang yang mendidik anak, dan melatihnya ke masa depan. Ada petani yang mengolah sawah. Ada pedagang. Bahkan ada juga kapitalis seperti G.D. Birla, jutawan pemilik pabrik tekstil yang menyumbangkan banyak hartanya untuk gerakan Gandhi. Sang Mahatma sendiri - dengan humornya yang khas - gemar mengutip kata-kata Sayorini Naidu, teman seperjuangannya: "Banyak skali ongkos untuk menjaga agar Gandhi tetap hidup dalam kemiskinan." Tapi tak mengapa. Kemiskinan dan puasa panjang Gandhi memberikan sesuatu yang lebih berharga ketimbang yang diterimanya dari Birla: ia memperbaiki gambar manusia dalam album kita - bahwa manusia bisa lebih baik dari sekadar keserakahan dan sikap acuh tak acuh. Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus