AKHIRNYA Bisma yang perkasa dan bijaksana itu rebah di medan Kurusetra. Para Pandawa dan Kaurawa bersama meratapi kepergiannya, merasakan hilangnya satu lambang kebaikan dan keperkasaan yang selama ini dengan tegar dan bijaksana menjaga keutuhan Gaja Oya. Para penguasa besar dan kecil datang dan pergi di kerajaan yang agung itu. Namun, hanya Bisma seorang, tanpa pamrih tanpa melik, tetap tinggal menjaga dalam kesepian. Djadoeg Djajakusuma, yang populer dengan panggilan Pak Jaya, adalah seorang Bisma. Rambutnya yang memutih panjang terurai, kumis dan jenggotnya yang rapi terpelihara, membersitkan wibawa. Kehadirannya di mana-mana di kawasan Taman Ismail Marzuki, di peristiwa-peristiwa pertunjukan dan pameran, di sidang-sidang Akademi Jakarta dan Dewan Kesenian Jakarta, di mimbar kuliah Institut Kesenian Jakarta, juga bagaikan Bisma yang nyaris tanpa henti hadir pada semua peristiwa di Kerajaan Gajah Oya. Kehadiran yang tanpa jemu, tanpa jera, menjaga keutuhan dan kelestarian darah Barata, yang menguasai Kerajaan Gajah Oya. Kawasan TIM pastilah bukan kerajaan -- apalagi Kerajaan Gajah Oya. Tidak ada kaum Pandawa dan Kaurawa di tempat itu. Yang ada cuma pasang surutnya segala macam pernyataan kesenian. Dan, di tengah pasang surut itu, pada waktu teman-temannya datang mendampinginya dan kemudian pergi karena meninggal, karena capek, karena bosan, karena tuntutan pekerjaan lain, karena iming-iming pendapatan yang lebih memuaskan, Pak Jaya berdiri tegak membina lenong, wayang orang, wayang kulit, dan segala macam teater rakyat dari daerah. Rasanya, susah membayangkan hadirnya lenong dan teater rakyat lain di TIM tanpa menyebut nama Djajakusuma. Nama itu seakan-akan sudah menyatu dengan teater-teater tersebut. Seakan nama Djajakusuma itu trade mark buat teater "pinggiran" yang boleh main di TIM. Dan, tangannya memang dingin dalam membina terutama teater "pinggiran" yang sudah megap-megap mau mati. Lenong, yang dulu pernah populer, dan kemudian hampir mati (bahkan di daerah pinggiran), dibawanya ke TIM, dielusnya, dibinanya. Kini lenong itu bahkan menjadi jantung-hati remaja gedongan Wayang orang Bharata di kawasan Senen, yang makin sedikit dikunjungi penonton, makin memelas dan compang-camping kondisinya, diperjuangkannya dengan gigih dengan melobi para penguasa DKI Jaya. Dan, pada waktu statusnya mulai mapan dibina, dielusnya, hingga sekarang dengan gagah tampil sebagai satu teater wayang orang yang semarak. Pak Jaya, dari "sono"-nya, bukan orang yang semestinya suka belepot dengan lumpur teater rakyat. Dia berdarah biru, tamat AMS bagian B, belajar film dan teater modern di California, ikut membantu Usmar Ismail mendirikan Perfini dan Akademi Teater Nasional Indonesia -- pendek kata, manusia renaissance yang cukup akrab dengan apa yang disebut budaya Barat. Manusia yang secara stereotip di negeri ini digambarkan sebagai seseorang yang akan jijik dan takut kotor bergaul dengan teater "pinggiran". Dengan segala record itu di belakangnya, Pak Jaya dengan lahap dan penuh selera menggumuli semua teater yang berbau rakyat tersebut, yang oleh sementara kawan-kawannya mungkin hanya lip service saja. Rabu pagi pekan lalu, di tengah pidatonya tentang makna Sumpah Pemuda di depan mahasiswa IKJ, Pak Jaya, 69 tahun, rebah, pingsan hingga embusan napasnya yang penghabisan di Rumah Sakit Cikini. Tidak ada roh Dewi Amba yang menjemputnya seperti dialami oleh Resi Bisma waktu ajalnya. Kehidupan Djajakusuma yang membujang hingga akhir hayatnya ternyata lebih sepi dari kehidupan Bisma, yang meski membujang masih berharap suatu ketika akan dijemput oleh roh kekasihnya. Seperti juga pada ajal Bisma direriung oleh semua kerabat darah Barata, jenazah Pak Jaya dimuliakan oleh anak didiknya, kerabatnya, dan semua temannya yang mencintainya. Memang tidak ada Arjuna yang melepas seratus anak panah yang menjadikan keranda bagi sang Bisma -- kehormatan besar yang paling pantas diberikan kepada seorang kesatria yang gugur. Tapi kehadiran semua orang itu, termasuk hampir semua temannya yang meninggalkannya dan membiarkannya menjaga "Gajah Oya TIM" sendirian, adalah lebih dari seratus anak panah Arjuna....
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini