Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Bangkitnya anak kolong

Sekilas fkppi (forum komunikasi putra-putri purnawirawan indonesia). organisasi putra-putri anggota abri. kongres knpi ke-5 diwarnai bangkitnya fkppi. wakil-wakil mereka dicalonkan untuk pengurus knpi.

7 November 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KONGRES V KNPI kali ini diwarnai unsur baru: bangkitnya Forum Komunikasi Putra-Putri Purnawirawan Indonesia (FKPPI). Organisasi putra-putri anggota ABRI -- baik aktif maupun purnawirawan -- ini tiba-tiba mendominasi pencalonan ketua umum. Bahkan, hingga Senin malam pekan ini, dua calon FKPPI menjadi kandidat yang diunggulkan untuk merebut kursi ketua umum KNPI. Mereka adalah Didit Daryadi dan Haris Ali Moerfi, yang memang diatur FKPPI sebagai calon nomor satu dan dua. Prestasi ini tak terbayangkan ketika forum tersebut didirikan oleh Surya Paloh dkk., 12 September 1978. "Waktu itu idenya hanya untuk mengakrabkan rasa kekeluargaan di antara kami," kata salah seorang pendiri. Pada awalnya, organisasi ini sebenarnya hanya menampung anggota putra-putri purnawirawan ABRI. Namun, belakangan prestasi kelompok ini tampaknya dianggap cukup baik. Terbukti putra-putri warga aktif ABRI pun kini ditampung di dalamnya. "Semenjak ada FKPPI berita kenakalan anak ABRI 'kan berkurang," kata Didit. Politik mulai mewarnai FKPPI pada Musyawarah Nasionalnya yang pertama di Jakarta, 1981. Ketika itu diresmikan anggaran dasar yang tegas-tegas menyatakan "aspirasi politik FKPPI disalurkan melalui Golongan Karya". Dan jumlah anggota yang terdaftar pun semakin membengkak. "Sekarang ada sekitar 200 ribu yang terdaftar resmi dari sekitar 670 ribu anggota potensial," kata Didit, alumnus UI yang menjabat sebagai Ketua I (Organisasi) I KPPI. Postur politik organisasi anak kolong ini semakin mencuat di bawah ketua umumnya yang terpilih pada Munas II, 1984, Djoko Mursito. Putra Almarhum Jenderal Soedjono Hoemardani ini dikenal aktif melakukan lobi ke mana-mana. Akibat berlakunya UU Keormasan no. 5/1985, FKPPI harus hengkang dari ketiak Pepabri (Persatuan Purnawirawan ABRI) dan langsung berada di bawah naungan Keluarga Besar ABRI (KBA). Dalam naungan KBA ini, organisasi yang mengandalkan Panglima ABRI sebagai Pembina Utamanya itu semakin mempersiapkan diri terjun ke kancah politik. Awal tahun lalu, misalnya, para anggota FKPPI yang terdaftar pada Daftar Calon Sementara (DCS) Pemilu mendapat penataran di Lanuma Halim Perdanakusuma bersama peserta dari Dharma Pertiwi. Dalam kursus intensif selama sebulan penuh itu berbagai doktrin Orde Baru, termasuk masalah dwifungsi ABRI, dijelaskan dengan mendalam. Salah satu doktrin yang dibahas adalah masalah keserasian. "Itu sebabnya, jika FKPPI berhasil menduduki kursi ketua umum KNPI, tidak berarti para pengurusnya akan dari kami semua," kata Haris Ali Moerfi, putra sulung Almarhum Letjen Ali Moertopo yang menjabat sebagai bendahara FKPPI. Sebab, oleh pembinanya telah dipesankan "supaya tidak serakah". Bahkan, menurut Haris, "Kami beranggapan unsur non-Golkar dalam susunan pengurus KNPI sekarang terlalu sedikit, kurang berimbang." Berdasarkan pengamatan Haris, saat ini pengurus inti KNPI hanya mempunyai satu pengurus yang berasal dari unsur PPP dan satu orang dari PDI. "Padahal, kami harap keseimbangannya lebih mirip dengan hasil pemilu," kata pemuda lajang berusia 2 tahun ini. "Soalnya, kalau semua berasal dari unsur Golkar, 'kan namanya bukan KNPI tapi AMPI," tambah Haris sambil tertawa. Konon, beberapa anggota FKPPI malah sudah mendekati generasi muda PPP dan PDI untuk diajak berperan serta di kepengurusan KNPI mendatang. Dengan sikap yang akomodatif terhadap keanekaragaman ini, FKPPI agaknya ingin mencoba menjalankan peran sebagai dinamisator sekaligus stabilisator. "Kami memang menginginkan agar pemuda pemuda Indonesia terlepas dari keterkotakannya seperti waktu lalu," kata Haris. Sikap FKPPI yang berwawasan nasional dianggapnya mampu menginduksikan sikap ini. Selain itu, jalur kekeluargaan ABRI dianggap akan menjaga sikap waspada terhadap bahaya PKI "yang mungkin tidak disadari generasi muda, yang tahun 1966 belum jadi apa-apa." Warna lain yang menurut Haris akan ditampilkan organisasinya adalah low profile. Pasalnya, peri laku KNPI sekarang dinilai "sepi ing gawe rame ing TV" (kurang bekerja, tapi banyak bicara di TV). Padahal, sikap FKPPI justru sebaliknya. "Minta izin agar kegiatan kami bisa masuk TV itu bukan main sulitnya, lho," katanya. Semua ini, mungkin, terdengar manis di telinga. Namun, Haris dkk. masih harus membuktikan apakah warna mereka ini bisa diterapkan pada kepengurusan KNPI yang akan datang. Pasalnya, seperti diakui Haris sendiri, "Belum semua tokoh potensial FKPPI dapat kami aktifkan di organisasi." Walhasil, organisasi yang yayasannya diketuai oleh Bambang Trihatmodjo ini memang masih harus banyak berbenah diri. Apalagi menghilangkan citra anak kolong itu bukanlah perkara mudah, bukan?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus