TELLY Savalas dan Yul Bryner itu bukan apa-apa kalau di negeri
kita. Kepala gundul di sini bersaf-saf banyaknya. Bukan hanya
saat ini, tapi setiap awal tahun. Kalau dulu, setiap lengah
tahu, pokoknya tergantung kapan tahun ajaran dimulai. Bak
seperti atas komando saja, dan memang di situlah bedanya dengan
pelicinan jemala Yul. Selain itu masih ada beda dalam arti dan
maksud. Belum lagi soal isi kepala.
Di negeri merdeka ini kepala botak ialah kepala budak. Bukan
budak dalam arti anak kecil, sebab anaknya justru besar, dan
sekolahnya pun paling tinggi. Tapi budak dalam arti
hamba-sahaya. Ini masih setingkat di bawah jongos.
Tapi maaf. Saya salah juga. Sosok si anak itu sebetulnya kecil
pula. Tak ada yang tak dikecilkan dalam masa hijau ini. Berapa
juga besarnya dia, di kampus selalu ada proses pengecilan
Terutama dalam jaman kribo dan gondrong rahbol ini pencukuran
sudah jelas nampak sebagai penyunatan tak kepalang tanggung.
Kemudian kepala gundul itu disuruh runduk terus, tentunya bukan
untuk mengamalkan ilmu padi. Lantas badan disuruh bungkuk,
menekuk, menyungkuk, menyuruk-nyuruk, menyungkur, dan
menyelundup sekalian ke dalam got dan balong.
***
Di samping sosok, otak juga dapat giliran dipenyokkam Artinya,
dijadikan dogol, cuma tidak terlalu. Sebab dia masih harus bisa
mengerti perintah-perintah seperti "hei kamu musti omong kosong"
atau "hei sisir kamu punya rambut" yang tentunya disemburkan
kepada kepala Korek Api. Korek Api ini nama resmi dari orangnya.
Masih tergolong amat sopan memang, sebab panggilan para budak
musiman ini biasaa ditimba dari bahasa got.
Selanjutnya kepala korek api ini tidak boleh berpikir lagi.
Jelasnya, mahasiswa melarang mahasiswa berpikir. Apalagi
menyatakan pendapat secara bebas, itu jelas berbahaya sekali,
begitulah pendapat mahasiswa. Gumpalan otak korek api hanya baik
buat mengunyah perintah mandor.
Perlu dicatat bahwa mandor-mandor ini ialah semacam mafia-nya
dewan mahasiswa. Bedanya dengan mafia asli besar sekali.
Kebengisan mafia kampus, misalnya, bolehlah dinilai lebih
unggul. Sebabnya ialah karena mandor-mandor puteri yang halus
dan cantik pun meledak jadi bengis semua. Mereka yang suka
berwejangan tentang "kodrat wanita Timur" hendaknya jangan
melongok puteri-puterinya pada awal tahun yang keparat ini,
sebab itu teori ketimuran nanti bisa berantakan sama sekali.
Kepada saya pernah ada seorang pemuda yang mengaku jatuh talak
dari pacarnya. Setelah melihat Tientje-ku beringasan pada masa
runjang-ajar atau posma atau apalah namanya itu, saya jadi
gemetar, katanya. Hari depan mendadak gelap. Terbayanglah dia
sebagai isteriku, tidak sebagai wanita halus lembut lagi, tapi
sebagai nyonya yang kelewat ganas. Saya tak mau masuk neraka
atas suruhan dia, katanya terisak-isak.
***
Baiklah. Di samping akalnya, hati korek api juga diciutkan. Sang
budak mesti dibikin takut sekali kepada para mandor. Dia
dilarang senyum. Dilarang bicara di luar perintah. Dilarang
segalanya, sampai ada mandor yang menyengat "kowe dilarang
melarang larangan saya". Jadi kalau di ruang kelas sang guru
melihat banyak mahasiswa yang gagap dan gagau dan gagu, ya
maklumlah.
Tentu agak mengagetkan kalau sekarang kita harus mencatat bahwa
yang dikecilkan hatinya itu disuruh supaya tidak kecil hati,
baha yang disuruh takut itu disuruh berani. Misalnya berani
minum air tuba atau semacamnya. Berani melumuri tangan dan badan
dengan tinja. Dan seribu satu keberanian lain yang hanya bisa
direka oleh akal tuna. Paling sedikit dia harus berani masuk
rumah sakit.
Sebagai budak, si pentul korek api itu tentu tak punya hak
apa-apa selain hak untuk dibakar. Tak ada hak berpikir bertanya,
berbeda pendapat, mengadu, bicara waras, pakai sepatu kulit,
pakai celana panjang, pakai minyak rambut dan bedak dan gincu
bibir dan sebagainya. Nampaknya dia dilarang menaati Pancasila
juga, dan diwajibkan menyembah feodalisme dan kediktatoran.
Semua ini atas biaya masyarakat, yang terkadang berarti orang
tua, atau pemerintah, atau perusahaan, atau ketiga-tiganya.
***
Kenapa semua ini begitu, itulah tergolong segala keanehan di
negeri kita ini. Tentu ini warisan, resminya warisan Belanda,
tapi tidak resminya juga warisan adat-kepribadian kita sendiri.
Perpeloncoan ialah feodalisme sehari-kari yang dimampaatkan
dalam satu dua minggu. Karena pemampaatan itulah maka
kesangatannya juga tak kepalang lagi. Kenapa justru mahasiswa
yang suka mengaku "hati nurani rakyat" yang melakukannya, di
situlah lucunya.
Nanti, setelah penuukuran jiwaraga ini untuk sementara usai,
setelah biduk lalu dan kiambang bertaut, maka kembali kita
disuguhi sandiwara sepekan yang. tak seberapa beda semangatnya.
Mula-mula ada pembantu rumah tangga pandir dan linglung. Sambil
kebat-kebut kursi dan meja dia mimpi jadi raja. Coba-coba duduk
di kursi mentul, coba-coba pasan radio dan menjoged cha-cha,
dan sebagainya. Kemudian sang raja masuk, atau isterinya, atau
anaknya, pokoknya penguasa. Maka dialog pertama antara penguasa
dan pak pandir selalu penuh dengan umpataul dan tuduhan dan
perintah ke atas kepala si dogol. Puaslah kita semua sebagai
penonton. Dan kalau nanti kepala RT mengetuk pintu masuk, semua
seperti menyembah dan mengangguk. Dengan rasa bahagia kita
mematikan TV kita.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini