Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Gundul-Gundul Pacul-Cul

Perpeloncoan bagi mahasiswa baru adalah feodalisme sehari-hari, didapatkan dalam 1 atau 2 minggu. Pada kesempatan itu mahasiswa mengaku hati nurani rakyat, menjadi diktator bengis dan kejam.

19 Februari 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TELLY Savalas dan Yul Bryner itu bukan apa-apa kalau di negeri kita. Kepala gundul di sini bersaf-saf banyaknya. Bukan hanya saat ini, tapi setiap awal tahun. Kalau dulu, setiap lengah tahu, pokoknya tergantung kapan tahun ajaran dimulai. Bak seperti atas komando saja, dan memang di situlah bedanya dengan pelicinan jemala Yul. Selain itu masih ada beda dalam arti dan maksud. Belum lagi soal isi kepala. Di negeri merdeka ini kepala botak ialah kepala budak. Bukan budak dalam arti anak kecil, sebab anaknya justru besar, dan sekolahnya pun paling tinggi. Tapi budak dalam arti hamba-sahaya. Ini masih setingkat di bawah jongos. Tapi maaf. Saya salah juga. Sosok si anak itu sebetulnya kecil pula. Tak ada yang tak dikecilkan dalam masa hijau ini. Berapa juga besarnya dia, di kampus selalu ada proses pengecilan Terutama dalam jaman kribo dan gondrong rahbol ini pencukuran sudah jelas nampak sebagai penyunatan tak kepalang tanggung. Kemudian kepala gundul itu disuruh runduk terus, tentunya bukan untuk mengamalkan ilmu padi. Lantas badan disuruh bungkuk, menekuk, menyungkuk, menyuruk-nyuruk, menyungkur, dan menyelundup sekalian ke dalam got dan balong. *** Di samping sosok, otak juga dapat giliran dipenyokkam Artinya, dijadikan dogol, cuma tidak terlalu. Sebab dia masih harus bisa mengerti perintah-perintah seperti "hei kamu musti omong kosong" atau "hei sisir kamu punya rambut" yang tentunya disemburkan kepada kepala Korek Api. Korek Api ini nama resmi dari orangnya. Masih tergolong amat sopan memang, sebab panggilan para budak musiman ini biasaa ditimba dari bahasa got. Selanjutnya kepala korek api ini tidak boleh berpikir lagi. Jelasnya, mahasiswa melarang mahasiswa berpikir. Apalagi menyatakan pendapat secara bebas, itu jelas berbahaya sekali, begitulah pendapat mahasiswa. Gumpalan otak korek api hanya baik buat mengunyah perintah mandor. Perlu dicatat bahwa mandor-mandor ini ialah semacam mafia-nya dewan mahasiswa. Bedanya dengan mafia asli besar sekali. Kebengisan mafia kampus, misalnya, bolehlah dinilai lebih unggul. Sebabnya ialah karena mandor-mandor puteri yang halus dan cantik pun meledak jadi bengis semua. Mereka yang suka berwejangan tentang "kodrat wanita Timur" hendaknya jangan melongok puteri-puterinya pada awal tahun yang keparat ini, sebab itu teori ketimuran nanti bisa berantakan sama sekali. Kepada saya pernah ada seorang pemuda yang mengaku jatuh talak dari pacarnya. Setelah melihat Tientje-ku beringasan pada masa runjang-ajar atau posma atau apalah namanya itu, saya jadi gemetar, katanya. Hari depan mendadak gelap. Terbayanglah dia sebagai isteriku, tidak sebagai wanita halus lembut lagi, tapi sebagai nyonya yang kelewat ganas. Saya tak mau masuk neraka atas suruhan dia, katanya terisak-isak. *** Baiklah. Di samping akalnya, hati korek api juga diciutkan. Sang budak mesti dibikin takut sekali kepada para mandor. Dia dilarang senyum. Dilarang bicara di luar perintah. Dilarang segalanya, sampai ada mandor yang menyengat "kowe dilarang melarang larangan saya". Jadi kalau di ruang kelas sang guru melihat banyak mahasiswa yang gagap dan gagau dan gagu, ya maklumlah. Tentu agak mengagetkan kalau sekarang kita harus mencatat bahwa yang dikecilkan hatinya itu disuruh supaya tidak kecil hati, baha yang disuruh takut itu disuruh berani. Misalnya berani minum air tuba atau semacamnya. Berani melumuri tangan dan badan dengan tinja. Dan seribu satu keberanian lain yang hanya bisa direka oleh akal tuna. Paling sedikit dia harus berani masuk rumah sakit. Sebagai budak, si pentul korek api itu tentu tak punya hak apa-apa selain hak untuk dibakar. Tak ada hak berpikir bertanya, berbeda pendapat, mengadu, bicara waras, pakai sepatu kulit, pakai celana panjang, pakai minyak rambut dan bedak dan gincu bibir dan sebagainya. Nampaknya dia dilarang menaati Pancasila juga, dan diwajibkan menyembah feodalisme dan kediktatoran. Semua ini atas biaya masyarakat, yang terkadang berarti orang tua, atau pemerintah, atau perusahaan, atau ketiga-tiganya. *** Kenapa semua ini begitu, itulah tergolong segala keanehan di negeri kita ini. Tentu ini warisan, resminya warisan Belanda, tapi tidak resminya juga warisan adat-kepribadian kita sendiri. Perpeloncoan ialah feodalisme sehari-kari yang dimampaatkan dalam satu dua minggu. Karena pemampaatan itulah maka kesangatannya juga tak kepalang lagi. Kenapa justru mahasiswa yang suka mengaku "hati nurani rakyat" yang melakukannya, di situlah lucunya. Nanti, setelah penuukuran jiwaraga ini untuk sementara usai, setelah biduk lalu dan kiambang bertaut, maka kembali kita disuguhi sandiwara sepekan yang. tak seberapa beda semangatnya. Mula-mula ada pembantu rumah tangga pandir dan linglung. Sambil kebat-kebut kursi dan meja dia mimpi jadi raja. Coba-coba duduk di kursi mentul, coba-coba pasan radio dan menjoged cha-cha, dan sebagainya. Kemudian sang raja masuk, atau isterinya, atau anaknya, pokoknya penguasa. Maka dialog pertama antara penguasa dan pak pandir selalu penuh dengan umpataul dan tuduhan dan perintah ke atas kepala si dogol. Puaslah kita semua sebagai penonton. Dan kalau nanti kepala RT mengetuk pintu masuk, semua seperti menyembah dan mengangguk. Dengan rasa bahagia kita mematikan TV kita.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus