Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Cabut, Jangan, Cabut. Yuk Cabut, Jangan, Cabut, Yuk

Lomba gerak jalan dalam rangka pendahuluan tahun pelajaran baru UI dilarang. Landasannya keputusan Menteri P&K no.028/u/74. Komentar mahasiswa, Menteri P dan K, beberapa rektor tentang SK tersebut.

19 Februari 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TINGGAL beberapa jam saja sebelum dimulai, perlombaan gerak jalan dalam rangka Pendahuluan Tahun Pelajaran Baru (Pentab) UI tiba-tiba dilarang. Padahal izin polisi sudah diperoleh. Tapi justru dari instansi itu pula larangan gerak jalan yang akan mengambil rute dari Rawamangun ke Salemba itu datang. "Dengan ini diberitahukan bahwa atas pertimbangan kamtibmas dan permintaan Menteri P & K maka kami mencabut surat keterangan kami nomor ...", tulis R. Soekarno, Letnan Kolonel, dari kepolisian. Sehari sebelum itu, tanda-tanda akan dilarangnya perlombaan memang sudah nampak Surat Kolonel R. Soedjoko, Direktur Kemahasiswaan P & K, kepada Rektor UI misalnya, sudah minta agar kegiatan mahasiswa yang bersifat massal di luar kampus dalam bentuk apapun, dilarang. "Demikian harap maklum dan pelaksanaannya berdasarkan dan sesuai dengan surat keputusan Menteri P&K nomor 028/1/74", tulis Soedjoko. Mahasiswa UI, yang merasa kegiatan perlombaan gerak jalan untuk menutup masa Pentab itu tidak bertentangan dengan SK 028 itu, kontan marah. Segera dikeluarkan sebuah pernyataan: surat keputusan Menteri P&K nonton 028/U/74 ternyata sangat membatasi kebebasan mahasiswa dalam mengembangkan intelektualitas dan kreatifitas mereka, sehingga jelas sangat merugikan mahasiswa, perguruan tinggi dan perjuangan bangsa dan negara dalam menuju masyarakat yang dicita-citakan. Pernyataan itu dengan tegas minta kepada Menteri P&K agar mencabut SK. membatalkan segala akibat yang timbul dari berlakunya SK, dan minta agar tidak dikeluarkan lagi surat keputusan yang sejiwa, senada, dan yang mempunyai makna yang sama dengan SK 028 itu. Surat pernyataan itu hanya dilayani oleh Menteri P&K dengan sebuah catatan: saya sebagai Menteri P&K tidak menerima pernyataan tersebut karena tidak ada sangkut paut dengan segala aktivitas dan kreativitas mahasiswa dalam kampus. "Selama saya menjabat, SK 028 tak mungkin dicabut. Jangankan dicabut, dikutak-kutik sekalipun tak akan dilayani", demikian ucapan Menteri menurut Dipo Alam, Ketua DMII, sewaktu menyerahkan surat pernyataan tersebut. Rangkatan peristiwa di atas memang terjadi setahun yang lalu. Dan kini, SK yang dilahirkan tiga tahun yang lalu itu, ramai dibicarakan lagi. Bahkan sudah sampai pada tahap yang lebih serius. Fraksi Karya di DPR dengan resmi menilai SK itu: meskipun dari isinya bisa dibenarkan, tapi merupakan hambatan psikologis. Kelompok Cipayung (dari organisasi ekstra universiter seperti HMI, PMKRI, (MNI, PMII) juga mengeluarkan pendapat serupa. Lalu Menteri P&K pun, tidak seperti biasanya, segera mengakui kelemahan SK yang dibikinnya. Sekalipun SK itu tidak membatasi kegiatan mahasiswa, demikian Menteri, tapi memang dirasakan sebagai hambatan psikologis. Begitu. "SK ini dianggap sebagai akibat Peristiwa 15 Januari. Sekarang situasinya sudah berubah, dan saya pun menyadari juga hal itu", ucap Menteri. Cocok Untuk Militer Tapi bagaimanakah sebenarnya SK itu dari kacamata berbagai pihak? Sikap mahasiswa UI sudah jelas. "SK itu merupakan kebijaksanaan yang menganggap mahasiswa hanya sebagai obyek belaka", ujar Dipo Alan. Isi SK itu, demikian Dipo, sampai sekarang masih merupakan tandatanya: antara itikad pembinaan secara dewasa dan tertib, dengan itikad sebagai alat vertikal instruktif dalam membentuk mahasiswa. "Ini hanya cocok di akademi militer, bukan di universitas seperti Ul", katanya. Sementara menurut Sudjatmoko, Ketua DM Trisakti, sebenarnya tanpa SK itu mahasiswa sudah terbatas untuk bergerak. "SK 028 merupakan sistim untuk mengendalikan mahasiswa". Masa kehadiran SK tersebut, "merupakan musim kemarau idealisme bagi mahasiswa", sela Zulkarnain Djabar, Pejabat Ketua DM IAIN Syarif Hidayatullah. Bagi IPB Bogor, diakui SK itu tidak mengundang masalah terlalu banyak. "Namun bagaimanapun SK itu mesti dicabut", ujar Ahmad Farid Rasyid, Ketua oewan Mahasiswa. SK itu sering dimanfaatkan oleh pihak luar untuk membatasi spontanitas mahaiswa, atau paling tidak untuk melampiaskan nafsu curiga. "Ironis, bila kami harus menceburkan diri ke dalam masyarakat, tapi untuk menjajagi masyarakat itu kegiatan kani dilarang", tamban Ahmad Farid. Sikap yang agak lain datang dari ir. Pudjono Hardjoprakoso, Rektor Trisakti. "Dengan atau tanpa SK 028 saya tak akan melepaskan mahasiswa bergerak untuk pawai di luar. Coba saja lihat kasus Hariman Siregar", katanya tegas. Tugas mahasiswa adalah belajar yang baik, disiplin dan jujur, tambah Rektor, selesaikan tugas belajar sesingkat mungkin, biar orang tua yang membiayai sekolah menjadi lega. "Kalau ada kasus korupsi dan lainnya, itu bukan urusan mahasiswa. Misalnya ada kemacetan lalulintas, kan sudah ada polisi. Kritis sih boleh tapi jangan ngawur", ucap Pudjono sengit. Katanya lagi, buat apa seperti mahasiswa ITB itu ke DPR, tanya korupsi Pertamina dan macam-macam. Soal itu kan sudah ada instansi yang mengurus. "Itu nggak bener, wakil wakil rakyat itu kan sudah kita pilih, nah biarkan DPR bicara", lanjut Rektor Trisakti. Nostalgia '66 Lain Rektor Trisakti, lain Bambang Sulistomo. Mahasiswa UI yang pernah ditahan karena peristiwa 15 Januari itu melihat SK ini tanpa perhatian yang serius. Diakui SK itu merupakan produk kekenesan penguasa. "Tapi tanpa SK 028 pun mahasiswa tidak bisa bikin apa-apa", katanya. "Kenapa soal ini diributkan, dan kenapa mereka tidak memikirkan pendidikan politik bagi kaum transmigrasi?". Menurut putera Bung Tomo itu, pencabutan SK ini tak akan membawa perubahan apa-apa bagi mahasiswa. Katanya, bahkan mahasiswa hanya akan bertambah genit saja. Pembagian rejeki dari biaya mapram, studitur dan praktek-praktek kotor lainnya, masih akan tetap berlangsung di kalangan mahasiswa itu sendiri. "Saya lebih setuju mahasiswa masuk desa daripada ngomong SK 028. Membicarakan SK itu saya rasa hanya karena nostalgia "66 saja", ucap Bambang. Lagipula suara-suara untuk mencabut SK itu, yang justru datang dari kalangan penguasa, mempunyai tujuan tertentu. Yakni: "untuk mengambil simpati untuk tujuan pemilu. Dalam hal ini nampaknya pemerintah mundur selangkah untuk untuk mendapatkan hasil 10 langkah", tambah Bambang. Lantas bagaimana nasib SK itu nanti, dalam rapat rektor tanggal 23 Pebruari ini? Drs. Hindersyah Wiratmaja, Rektor Unpad, katanya sudah mempersiapkan konsep. Sementara baik Prof. Satari, Rektor IPB, maupun Prof. Mahar Mardjono Rektor UI, barangkali belum lupa sikap mereka sendiri selama ini terhadap itu SK. "Dulu SK ini banyak menolong Rektor karena berguna untuk beking, sehingga Rektor bisa menjalankan tugas dengan baik", ucap Mahar. "Tapi suasana sekarang sudah lain. Sekarang mungkin bisa ditinjau kembali seberapa jauh SK itu masih bisa dipertahankan". Itu ucapan sudah setahun yang lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus