Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Gus Dur, Silakan Jalan Terus

26 Desember 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

M. Sadli
Pengamat ekonomi, mantan menteri

Setelah dua bulan pemerintahan Gus Dur berjalan, banyak kalangan masih "bingung" dengan garis-garis kebijakannya. Masyarakat di Indonesia sudah terlalu lama terbiasa dengan kepemimpinan yang kuat dan tegas. Di lain pihak, Gus Dur suka mengingatkan, peran pemerintah pada zaman demokrasi akan mundur secara relatif. Masyarakat harus rmenyelesaikan banyak permasalahannya secara mandiri.

Misalnya, Gus Dur menyatakan masyarakat di Ambon harus menyelesaikan sendiri konflik sosialnya dan pemerintah hanya dapat memfasilitasinya. Pernyataan ini sudah ditanggapi oleh masyarakat Ambon bahwa itu sudah dilakukan. Tapi, kalau senantiasa ada "provokator" dari luar (mungkin dari Jakarta) yang senantiasa mengobok-obok keadaan di Ambon, apakah bukan kewajiban pemerintah pusat untuk menangkap provokator itu? Sementara itu, teori provokator dari luar ini susah dibuktikan juga. Alhasil, dari pemerintah pusat dan Gus Dur sampai sekarang tidak ada tindakan tegas terhadap suatu pihak dalam kasus Ambon ini.

Konflik di Aceh diharapkan juga bisa diselesaikan secepat mungkin, sebelum out-of-hand, dan diharapkan ada penyelesaian pada bulan Desember. Itu pun tak terjadi, dan siasat politik Gus Dur juga tidak transparan. Ada kesan ia menunggu ada fraksi dari gerakan Aceh yang bersedia berunding. Mungkin, dengan pimpinan GAM dari Malaysia, mungkin dari kalangan ulama, kalangan pemerintah daerah, atau kalangan-kalangan kota (mahasiswa, LSM, inteligensia, dan lainnya). Mungkin keadaan di lapangan masih memerlukan waktu untuk kristalisasi. Sementara itu, puluhan korban jatuh, baik dari pihak polisi maupun rakyat yang tak berdosa. Sweeping Brimob juga tidak bisa mencegah kerusakan benda yang banyak. Semuanya ini akan menambah sulit penyelesaian akhirnya.

Di bidang ekonomi, Indef—Didik Rachbini dan kawan-kawan—menyimpulkan dalam surat kabar Kompas, Selasa, 21 Desember: "Kebijakan ekonomi masih tanpa arah. Setelah dua bulan berkiprah, arahnya masih belum jelas."

Pemulihan ekonomi memang tetap berlanjut, tapi lebih disebabkan oleh kekuatan di masyarakat dan proses pemulihan ekonomi kawasan Asia Timur. Ekonomi Indonesia ikut terangkat oleh pasang ini. Faktor dalam negeri yang penting adalah perjanjian dengan IMF yang menjamin kucuran dana bantuan, dan Undang-Undang Bank Indonesia yang baru, yang tidak memungkinkan lagi BI mencetak uang baru terlalu banyak untuk membiayai defisit anggaran belanja pemerintah. Akibatnya, inflasi tetap rendah walaupun sektor riil ekonomi belum pulih bekerja kembali.

Maka, kebijakan pemerintahan Gus Dur—dengan Kwik Kian Gie sebagai Menko Ekuinnya—yang memilih memelihara hubungan baik dengan IMF, Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia, dan CGI adalah policy yang tepat. Sebagai bagian dari kebijakan ini, rekapitalisasi serta restrukturisasi perbankan dan masalah utang sektor korporasi masih belum bisa diselesaikan secara efektif, sehingga kedua sektor ini belum bisa mendorong kebangkitan kembali ekonomi. Bisakah diharapkan terobosan untuk menghentikan kemacetan ini? Pada waktu ini tidak tampak.

Sementara itu, pemerintah masih dicela kurang punya sense of crisis dan sense of urgency. Gus Dur dan Megawati, misalnya, memberi restu kepada proyek subway Jakarta ketika diajukan kembali oleh Gubernur DKI. Gus Dur suka membuat bermacam dewan ekonomi dan bisnis, yang hanya menambah policy confusion setelah para ketua dewan baru itu terlihat perang pernyataan dengan anggota DPR dan menteri.

Ada risiko yang cukup besar, para menteri tidak akan bisa bekerja secara aman dan tak terganggu oleh berbagai kritik dan saran yang berkelebihan. Di lain pihak, Presiden dan Menko Ekuin mengambil keputusan mengenai PLN dan Paiton I yang tidak sesuai dengan rasa keadilan di dalam negeri, demi mengamankan arus bantuan internasional. Keberanian serta kemampuan mengambil keputusan yang tidak populer ini patut diberi salut.

Tahun 2000 tidak akan mendatangkan ketenteraman politik dan sosial secara mudah. Ini adalah konsekuensi proses pertumbuhan (dini) demokrasi yang masih akan berjalan beberapa tahun. Diharapkan, keadaan ekonomi cukup "aman" atau stabil karena pengaruh ekstern dan sedikit intern.

Presiden Indonesia pertama (Sukarno) adalah "gila perempuan", presiden kedua (Soeharto) "gila kekuasaan", presiden ketiga (Habibie) adalah "gila benaran", dan presiden keempat (Gus Dur) "membuat semua orang gila". Inilah anekdot pertama yang menggambarkan keadaan. Anekdot kedua: "Kalau semua orang di Jakarta unhappy dengan pemerintah dan politik, itu bukti ada demokrasi (di Washington, DC, pun tidak ada yang happy dengan Bill Clinton). Ini semacam pujian. Anekdot ketiga: kalau udara politik di Jakarta penuh suara bising yang datang dari para pakar: komentator, kritikus, pejabat, politikus, LSM, Indonesia mulai mirip dengan Filipina. Ini bukan pujian.

Gus Dur dan Megawati jangan divonis dulu bahwa pemerintahannya gagal. Masih terlalu dini. Lagi pula, tidak ada yang betul-betul mau menghujatnya agar lengser, seperti terjadi pada zaman Habibie. Orang sadar bahwa tidak ada alternatif yang lebih baik ketimbang kepemimpinan Gus Dur. Memang, Gus Dur bukan presiden yang strong man seperti Pak Harto (yang juga tidak kita inginkan). Ia harus memimpin dengan cara-cara lain, walaupun bisa membingungkan dan driving everybody crazy. Asal tidak ingkar terhadap asas-asas demokrasi, ia tetap on the right track.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum