Salahuddin Wahid
Ketua PBNU
KALIMAT pendek di atas, belakangan ini, kerap kita dengar di berbagai kesempatan dan tempat, dari Aceh sampai Irianjaya, dari Kalimantan Barat sampai pulau kecil di selatan Pulau Jawa. Di kalangan birokrasi, akademisi, militer, ataupun profesional, juga kita dengar kalimat semacam itu. Hal itu terjadi sebagai akibat terpilihnya warga utama Nahdlatul Ulama—Gus Dur—menjadi presiden.
Aktivis NU menyaksikan fenomena ini dengan berbagai tanggapan. Ada yang bersikap sinis dan menganggap mereka bersikap mumpung. Bahkan, ada yang selama ini cenderung menutupi ke-NU-annya (istilahnya: taqiyyah, diambil dari sikap warga Syiah yang menutupi kesyiahan mereka pada saat konflik tajam Suni-Syiah) sekarang pelan-pelan memunculkan kembali "jati diri NU" mereka. Ada yang menanggapinya dengan sikap positif dengan ungkapan bahwa ternyata NU memang mempunyai jemaah yang betul-betul banyak jumlahnya. Ada yang menanggapinya dengan sikap biasa-biasa saja, tidak menolak munculnya atau kembalinya "orang-orang NU" yang selama ini tidak menunjukkan minat ataupun jati diri ke-NU-annya.
Sebetulnya, siapa dan bagaimana tipologi dari seseorang yang dapat disebut sebagai "orang NU"? Pertanyaan itu tidak sesederhana yang kita bayangkan. Kita bisa menyebut seseorang itu sebagai "orang NU" kalau secara budaya agama dia mengikuti paham keagamaan yang dianut NU, yaitu Islam ahlusunah waljamaah (yang menganut salah satu dari empat mazhab, yaitu Hanbali, Maliki, Hanafi, dan Syafi'i). Padahal, kita juga tahu bahwa di dalam kalangan NU sendiri belakangan ini sedang terjadi dinamika wacana dalam merumuskan kembali paham ahlusunah waljamaah. Ada yang mengambil tanda (indikasi) ke-NU-an dalam kehidupan beragama sebagai orang yang menjalankan acara tahlilan, haul, manakiban, dan lain-lain. Demikian pula halnya dengan kegiatan ziarah ke makam Wali Songo atau makam ulama lain yang dikeramatkan. Tanda ke-NU-an lainnya ialah bersikap moderat, bisa sangat lentur, sehingga dapat dianggap tidak punya sikap atau oportunis.
Fenomena yang dapat dijadikan tanda ke-NU-an adalah sikap meyakini "suara langit" seperti yang ditunjukkan oleh Gus Dur dan juga banyak tokoh NU lain yang menunjukkan kecenderungan untuk mencoba mencari "wisik" dalam upaya mencari alternatif dalam menentukan sikap untuk mengalah yang sangat penting. Contoh yang paling mencolok adalah sikap para kiai sepuh dan juga sikap Gus Dur sendiri dalam mengambil keputusan ketika menghadapi pemilihan presiden pada Sidang Umum MPR lalu. Fenomena suara langit ini mungkin dapat dianggap sebagai sesuatu yang menunjukkan sifat tidak rasional di kalangan NU. Tapi, dalam hal lain, NU justru menunjukkan sikap rasional, misalnya munculnya generasi muda NU yang menggugat banyak kemapanan, lepas dari setuju atau tidaknya kita terhadap substansi gugatan itu. Contohnya adalah tuntutan untuk membubarkan Departemen Agama yang dilontarkan oleh sekelompok kalangan muda NU dalam kesempatan Muktamar NU. Kalangan muda NU juga cukup banyak yang mempunyai kecenderungan ke arah sekularisme, sesuatu yang dapat menjadi indikasi dari rasionalitas, yang menurut saya merupakan suatu upaya dan proses pencarian jati diri seperti yang pernah saya alami ketika masih muda.
Tengara yang lain dari ke-NU-an adalah garis keturunan. Kita mengetahui banyak warga NU yang putra-putrinya tidak aktif dalam kegiatan organisasi NU karena berbagai sebab atau pertimbangan. Banyak dari mereka yang aktif di HMI dan ormas non-Islam. Sebagian dari mereka telah mulai aktif di kalangan NU setelah NU kembali kekhitahnya (1984). Sebetulnya, keturunan NU yang ingin aktif di lingkungan NU cukup banyak, tapi sayang tidak seluruhnya tertampung. Adalah wajar bila warga NU yang selama ini belum aktif di lingkungan NU kemudian ingin aktif di lingkungan NU setelah Gus Dur terpilih menjadi presiden.
Mudah untuk kita pahami bahwa keturunan dari orang tua yang menganut Islam ahlusunah waljamaah atau yang pernah aktif di kalangan NU ingin juga aktif di lingkungan NU. Mereka tersebar di berbagai daerah dan bekerja serta berkarya di berbagai lapangan kehidupan, dari tingkat bawah sampai tingkat paling atas: birokrat, pengajar, profesional, petani, jurnalis, pengusaha, artis, olahragawan, dan lain-lain. Bahkan, saya pernah mendapat cerita bahwa pribadi yang punya indikasi atau mengaku sebagai "orang NU" itu meliputi juga para jagoan di pasar induk atau "daerah hitam".
Tentunya keinginan mereka untuk aktif di lingkungan NU mengandung berbagai kepentingan, termasuk kepentingan pribadi masing-masing. Hal itu adalah sesuatu yang wajar, sejauh kepentingan pribadi itu tidak terlalu menonjol, apalagi lebih menonjol dibandingkan dengan kepentingan NU-nya sendiri dan juga kepentingan masyarakat yang lebih luas. Perlu juga disadari bahwa "euforia" warga NU itu mempunyai potensi dampak negatif apabila mereka memanfaatkan kesempatan secara "aji mumpung". Warga NU juga harus bisa menahan diri dari tindakan mentang-mentang.
Penempatan warga NU atau "orang yang mengaku NU" pada posisi-posisi strategis di birokrasi ataupun BUMN tetap harus mengacu pada moralitas dan profesionalitas dan jumlahnya tidak boleh terlalu banyak. Prinsip semacam ini—moralitas dan profesionalitas—juga harus tetap kita pegang dalam memilih seseorang untuk posisi strategis dan menentukan, tanpa memandang latar belakang orang itu, baik dari segi agama, etnis, golongan, maupun partai/ormas. Kalau banyak warga NU atau yang "mengaku orang NU" itu melakukan praktek-praktek negatif, tidak bisa dihindari bahwa NU akan menjadi Golkar jilid dua dan nantinya bukan tidak mungkin (walaupun kecil) akan diperlukan "surat keterangan bebas NU". Tentunya kita tidak ingin hal itu terjadi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini