Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Becak, Dua Orde

26 Desember 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seno Gumira Ajidarma
Budayawan

KETIKA Gus Dur menyatakan tukang becak itu seperti kuda, sebetulnya ia mengulangi sebuah pernyataan 35 tahun sebelumnya.

"Lantas? Memangnya lu mengira lu ini apa? Tukang becak itu kuda, tidak lebih dari kuda, tahu?"

Apa boleh buat, pernyataan ini memang terdapat dalam kisah Si Sapar (1964) yang ditulis Utuy Tatang Sontani, pengarang yang tak jelas nasibnya semasa pembantaian orang-orang komunis 1965-1966. Buku yang diterbitkan Yayasan Kebudayaan Sadar itu mempunyai subjudul: Sebuah novelette tentang kehidupan penarik-penarik betjak di djakarta (sic!)—dengan segenap referensi kita tentang dialektika materialisme yang dipahami para pengarang Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), kalimat itu merujuk pada suatu kesadaran kelas. Tentu, seperti biasanya dengan aliran realisme-sosialis, tokoh majikan pemilik becak itu secara karikatural adalah seorang haji.

Namun, bukan ide tentang pertentangan kelas yang tipikal itu yang menarik di sini, melainkan bahwa dalam satu-satunya cerita tentang becak di masa Orde Lama, maupun satu-satunya di masa Orde Baru, Balada Becak (Y.B. Mangunwijaya, 1985), pergumulan tukang becak dengan kemiskinan hanya bisa selesai dalam ide, bukan dalam materi. Maka—sementara Karl Marx dalam dialektika materialismenya bersemangat membalik dialektika Hegel: yang kepala dijadikan kaki, yang ide dijadikan materi—para pengarang Indonesia dari dua Orde, dalam perkara becak ini, seolah-olah membalikkan kembali dialektika Marx kepada Hegel.

Tukang becak Utuy yang bernama Sapar mencintai penumpang langganan tetapnya yang ternyata seorang pelacur. Namun, bagi Onih, sang pelacur yang selalu berkain dan berkebaya, Sapar hanyalah sebuah fungsi untuk mencari mangsa di jalan raya, dan buruannya adalah orang-orang di dalam mobil sedan. Rupanya begitulah Jakarta waktu itu. Sapar, yang tidak mampu membahasakan cinta, juga berniat membeli perempuan itu, dan ditolak, atas nama perbedaan kelas. Dalam bahasa Onih, "Mereka membayar, sedangkan kau dibayar." Sehingga, demikianlah cerita bermain, Sapar memaksakan kehendaknya, tapi toh gagal. Akibatnya, dengan mata gelap, ia membunuh Onih. Setelah itu, ia membawa becaknya ke tengah rel kereta api, dan mereka berdua pun terlindas. Cerita tak berakhir di sini—dan inilah yang penting.

Dua belas jam setelah peristiwa itu, muncullah si Sapar dengan becaknya sebagai hantu, lengkap dengan seorang perempuan cantik di dalamnya. Seperti bunyi kalimat pertama Manifesto Komunis yang ditulis Marx dan Engels, "Ada hantu berkeliaran di Eropa, hantu komunisme," hantu becak itu pun gentayangan di Jakarta. Hantu ini begitu menggemparkan, meskipun seorang wartawan tak berdaya menjadikannya berita. Hantu ini hanya menghilang setelah seorang pejabat yang tanpa modal satu sen pun telah diangkat pemerintah untuk mengurus sebuah perusahaan dagang (halaman 22) menjadi gila setelah melihat hantu itu. Berita inilah yang bisa ditulis oleh sang wartawan.

Masalah diselesaikan dengan ide. Hantu kemiskinan, hantu proletarian berbentuk becak, berhasil mengguncang tatanan yang korup, tapi hanya sebagai hantu, sebagai ide—bukan materi. Kemiskinan tidak terhapus bersama menghilangnya hantu becak tersebut. Begitu pada masa Orde Lama, begitu pula dengan becak Orde Baru. Namun, sementara Utuy menuliskan kemiskinan dengan penuh kepahitan, dalam versi Romo Mangun, kemiskinan ini tampil dengan amat sangat romantisnya.

Seorang presiden juga berpidato tentang becak, itulah Presiden Kariosentono, bahwa Indonesia ... telah berhasil menandatangani perjanjian bersama untuk mendirikan industri besar modernisasi becak. (Tepuk tangan hadirin-hadirat dengan dentuman meriam). Dengan teknologi mutakhir, lengkap dengan AC segala. Bahkan becak tidak lama lagi akan bisa terbang (tepuk tangan hebat. Anak berjogetan. Meriam berdentum) (halaman 54).

Pidato ini hanyalah khayalan Yusuf, tukang becak yang setiap pagi harus mengantar-jemput Bu Dullah membawa segunung gori, dengan Riri membonceng di sadel belakang. Jadi, dengan Bu Dullah plus gori di depan dan Riri di belakang, beban Yusuf sebetulnya berat sekali. Namun, semua ini tidak ada artinya dalam kisah cinta Yusuf-Riri itu. Kemiskinan dalam novel ini dihayati dengan sangat optimistis, penuh dengan lagu gembira, nyaris sebuah opera. Apakah ini berarti kemiskinan bisa diterima? Penutup cerita itu sangat mirip dengan mimpi, tapi tidak dimaksud sebagai khayalan. Pelan-pelan becak mulai melayang, naik, naik ke angkasa dan berputar-putar gembira di antara awan-awan (halaman 63). Tentu ini adalah ide, dan pasti bukan materi. Kemiskinan disulap jadi kebahagiaan.

Apabila Gus Dur mengatakan kerja tukang becak itu seperti kuda, itu berarti pekerjaan tersebut tidak manusiawi. Sudah lama sebetulnya becak tergusur dari pusat kota Jakarta, tapi demi alasan keindahan, tentu ini lebih tidak manusiawi lagi. Becak hanya bisa dihapus jika kemiskinan sudah terhapus. Mungkinkah menghapus kemiskinan, tak cuma sebagai ide?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum