Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Rencana Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah merevisi keempat Undang-Undang Mahkamah Konstitusi harus dihentikan.
Revisi tersebut terkesan dipaksakan karena tidak masuk Program Legislasi Nasional Prioritas 2023.
Melalui revisi ini, bisa jadi hakim yang akan dipertahankan adalah hakim yang secara politik diterima elite-elite politik.
RENCANA Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah melakukan revisi keempat Undang-Undang Mahkamah Konstitusi harus dihentikan. Selain tak ada urgensinya, revisi tersebut sarat akan kepentingan politik menjelang Pemilihan Umum 2024 karena MK akan bertindak sebagai pemutus akhir perselisihan hasil pemilu.
Revisi tersebut terkesan dipaksakan karena tidak masuk Program Legislasi Nasional Prioritas 2023. Mengabaikan prosedur yang diatur oleh UU Peraturan Perundang-undangan baru yang mensyaratkan partisipasi publik yang bermakna, revisi ini ditargetkan rampung pada Desember 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Komisi Hukum DPR secara resmi mengusulkan revisi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dalam rapat kerja dengan pemerintah pada pertengahan Februari lalu. Setidaknya ada empat poin perubahan yang diusulkan, yakni syarat batas usia minimal hakim konstitusi, evaluasi hakim konstitusi, unsur keanggotaan Majelis Kehormatan MK, serta penghapusan ketentuan peralihan mengenai masa jabatan Ketua dan Wakil Ketua MK.
Revisi Undang-Undang MK ini mencantumkan sejumlah perubahan ketentuan. Misalnya aturan periodisasi hakim konstitusi, yakni hanya menjabat lima tahun dan dapat dipilih kembali jika lolos evaluasi, serta gagasan meningkatkan batas usia minimum dari 55 tahun menjadi 60 tahun. Batasan usia minimal menjadi 60 tahun ini akan membuat Saldi Isra, yang sekarang berusia 55 tahun, terpental sebagai hakim konstitusi. Saldi selama ini dikenal sebagai hakim konstitusi yang kritis terhadap undang-undang bermasalah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dari poin perubahan yang diusulkan, revisi tersebut sarat akan upaya untuk mengatur ulang komposisi hakim konstitusi agar sesuai dengan kepentingan pihak-pihak tertentu. Melalui revisi ini, bisa jadi hakim yang akan dipertahankan adalah hakim yang secara politik diterima elite-elite politik. Sebaliknya, hakim yang tidak dipertahankan adalah hakim yang memang ditolak secara politik.
Fenomena pencopotan hakim yang tak sejalan dengan kepentingan politik, misalnya, terjadi pada Aswanto. Pada akhir September 2022, hakim konstitusi usulan DPR ini diberhentikan dan digantikan oleh Guntur Hamzah karena dianggap kerap menganulir undang-undang kontroversial yang dibuat lembaga legislatif. Salah satu contohnya adalah putusan uji materi Undang-Undang Cipta Kerja yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat.
Dengan sejumlah alasan tersebut, langkah revisi jelas berbahaya bagi MK secara kelembagaan karena tak lagi independen saat menangani sengketa Pemilu 2024. Seperti diketahui, MK menjadi penentu akhir perselisihan hasil pemilu, baik pemilu legislatif maupun pemilu presiden.
Revisi UU MK terakhir dilakukan pada 2020. Saat itu DPR dan pemerintah bersepakat mengubah masa jabatan hakim konstitusi, yang semula diatur berdasarkan periodisasi lima tahunan menjadi pensiun pada usia 70 tahun atau maksimal menjabat selama 15 tahun. Salah satu hakim yang diuntungkan oleh perubahan ini adalah Anwar Usman, ketika itu Ketua MK, yang semestinya pensiun pada 2021 atau beberapa bulan setelah revisi ketiga undang-undang tersebut. Dengan perubahan tersebut, Anwar menjadi hakim konstitusi hingga 2026. Ia kembali terpilih menjadi ketua pada Maret 2023.
Adik ipar Presiden Joko Widodo ini memimpin sidang putusan uji materi Pasal 169 huruf q Undang-Undang Pemilihan Umum. Pasal itu mengatur syarat menjadi calon presiden dan calon wakil presiden minimal berusia 40 tahun. Putusan MK menambahkan klausa “pernah terpilih dalam pemilihan kepala daerah”. Perubahan inilah yang membuat keponakan Anwar, Gibran Rakabuming Raka, yang berusia 36 tahun, memenuhi syarat sebagai calon pendamping Prabowo Subianto. Belakangan, Majelis Kehormatan MK menilai putusan itu melanggar etik dan memiliki konflik kepentingan. Majelis Kehormatan juga memecat Anwar sebagai Ketua MK.
Putusan uji materi yang membuka jalan bagi pencalonan putra sulung Presiden Jokowi tersebut seharusnya sudah cukup menjadi bukti betapa bahayanya intervensi kekuasaan terhadap MK. Bukan hanya lembaganya yang rusak, hakim konstitusi yang tak independen juga akan mengoyak demokrasi.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo