Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
INDIKASI keterlibatan Amir Syamsuddin dalam suap Mahkamah Agung menunjukkan Kabinet Indonesia Bersatu pasca-reshuffle belum bebas dari orang bermasalah. Diangkat sebagai Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dua pekan lalu, Amir sebelumnya adalah politikus Partai Demokrat dan pengacara senior.
Ketika menjadi pengacara itulah Amir menjadi penasihat hukum D.L. Sitorus, pengusaha hutan yang terjerat kasus hukum. Pada 2005, Sitorus dituding merampas 80 ribu hektare tanah negara di Padang Lawas, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, dengan cara mengubah hutan menjadi perkebunan kelapa sawit.
Diseret ke pengadilan, ia divonis delapan tahun penjara. Sitorus melawan: ia mempersoalkan keputusan Menteri Kehutanan yang mencabut izin penguasaan lahan ke pengadilan tata usaha negara. Sebelumnya, Menteri Kehutanan M.S. Kaban menyetop izin itu sebagai konsekuensi vonis pidana terhadap Sitorus.
Dalam pertempuran di PTUN itulah aroma suap meruap. Sejumlah dokumen internal perusahaan D.L. Sitorus mencatat lebih dari Rp 140 miliar mengalir ke petinggi Mahkamah Agung untuk mempengaruhi putusan peninjauan kembali. Sebagian di antaranya dipercaya mengalir melalui Amir Syamsuddin.
Sangat disayangkan, Presiden tidak mempertimbangkan kasus ini ketika mengangkat Amir sebagai Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Seorang menteri yang mengurus hukum semestinya bebas dari persoalan hukum. Sulit dipercaya, Yudhoyono tidak mengetahui perkara ini. Dua tahun lalu, skandal ini telah dilaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi dan Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum, lembaga ad hoc yang dibentuk Presiden Yudhoyono.
Komisi Pemberantasan Korupsi mesti mengusut perkara suap ini. Posisi Amir sebagai Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia semestinya tidak membuat KPK gamak. Mengusut Amir sama artinya dengan membantu pemerintah membersihkan kabinet. Jika Amir terbukti bersalah, Presiden tak boleh ragu memberhentikannya sebagai menteri.
Mengusut Amir boleh jadi membuka kotak pandora—menguak praktek busuk kongkalikong hukum yang dilakukan para penasihat hukum, selain polisi, jaksa, dan hakim. Dalam banyak kasus, pengacara hitam menjalankan dua fungsi: secara formal membela klien di pengadilan, tapi di belakang layar menjadi juru suap.
Seraya KPK mengusut kasus Amir, Presiden harus memastikan Menteri Hukum itu memimpin kementerian tanpa konflik kepentingan. Amir, juga menteri lain, harus dipaksa menanggalkan jabatan dalam pelbagai usaha yang berpotensi menimbulkan pergesekan interest.
Soal penyelesaian konflik kepentingan, Yudhoyono sebetulnya punya pengalaman. Ketika memimpin Kabinet Indonesia Bersatu jilid I, ia mencopot Yusril Ihza Mahendra sebagai Menteri-Sekretaris Negara. Yusril ditengarai menggunakan jabatannya untuk mencairkan dana Tommy Soeharto di Bank BNP Paribas di Inggris, yang dibekukan karena disinyalir hasil korupsi. Jika Yusril tak ikut campur, pemerintah sebetulnya berkesempatan mendapatkan kembali duit Pangeran Cendana itu. Pengacara Tommy dalam kasus ini adalah Ihza & Ihza, firma hukum yang dimiliki Yusril.
Cerita sukses itu semestinya bisa diulangi. Jangan ada kata ragu dalam menindak menteri yang bermasalah. Kabinet yang bersih dan kredibel adalah prasyarat bagi pemerintahan yang sehat, efisien, dan efektif.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo