Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RASANYA kita tak perlu keberatan jika Malaysia berencana meniru konsep Pasar Tanah Abang—dalam logat Betawi disebut Tenabang. Pusat grosir terbesar di Asia Tenggara ini diyakini punya daya magis yang dahsyat, memang. Entah kekuatan macam apa yang mampu menyihir para pedagang—terutama garmen—untuk tinggal dan memutar uangnya di kawasan padat ini sejak zaman kolonial di abad ke-18.
Masuk akal kalau para pengusaha di negeri jiran itu hendak menjiplak. Tanah Abang kini dikenal sebagai kiblat perdagangan busana muslim dunia. Duit yang diputar para pedagang garmen yang tumplek di kawasan padat ini sedikitnya Rp 200 miliar sehari. Wajar juga kalau mereka hendak menyontek wajah baru bangunan berlantai 18 yang dirancang dengan arsitektur bercorak khas itu, campuran Betawi dan Timur Tengah.
Jika ada yang perlu kita sarankan agar tak mereka kopi tampaknya sistem pengelolaannya. Belakangan terungkap bahwa kontrak kerja sama yang diteken PD Pasar Jaya, perusahaan milik Provinsi DKI Jaya yang empunya Tenabang, dengan pihak swasta ternyata berat sebelah. Direktur Utama PD Pasar Jaya Djangga Lubis menyadari kontrak yang diteken para pendahulunya ternyata merugikan korporasi sedikitnya Rp 300 miliar sejak 2008 sampai 2010. Aparat hukum seharusnya menyelidiki siapa saja yang bertanggung jawab atas kerugian ini. Kalau ternyata ada unsur kongkalikong, suap, atau korupsi, mereka harus dihukum.
Sudah tepat ketika Djangga akhirnya menghentikan kerja sama dengan perusahaan swasta tadi: PT Priamanaya Djan International. Korporasi ini membangun kembali Blok A Tenabang sehabis terbakar pada 2003, dengan sistem build, operate, and transfer, setelah mengalahkan dua peminat lain. Pasar grosir ini sejak 2007 dikelola PT Priamanaya Kelola, di bawah bendera Priamanaya Group, perusahaan milik Djan Faridz, anggota Dewan Perwakilan Daerah yang baru saja diangkat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Menteri Perumahan Rakyat. Pengoperasian Blok A versi baru ini dilakukan saat Gubernur Jakarta dijabat Sutiyoso.
Djangga Lubis tak boleh mundur walau selangkah atas keputusannya itu. Toh, tindakannya ini didukung hasil temuan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, yang menyatakan kongsi itu punya banyak kelemahan sehingga merugikan Pasar Jaya. Salah satu klausul perjanjian menyebutkan Blok A akan diserahkan ke Pasar Jaya jika penjualan kios telah mencapai 95 persen. Faktanya, Priamanaya mematok harga jual per kios terlampau mahal, sehingga para pedagang cenderung menyewa. Walhasil, target itu mustahil tercapai. Sampai kiamat pun rasanya susah Blok A berpindah tangan ke Pasar Jaya.
Adendum kontrak belakangan kian merugikan Pasar Jaya. Semula bagi hasil akan dilaksanakan berdasarkan pendapatan kotor, tapi dalam perubahan kontrak kelima yang diteken direksi lama, bagi hasil diambil dari pendapatan bersih setelah dipotong pajak. Meski Priamanaya memberikan goodwill Rp 100 juta saban bulan sejak dua tahun lalu, di luar mereka rugi atau untung, model bagi hasil ini tetap saja merugikan Pasar Jaya. Faktanya, sampai kini Priamanaya mengklaim bahwa pengelolaan Blok A masih belum menguntungkan.
Kalau Djangga Lubis berkukuh—dan sikap inilah yang seharusnya dia lakukan—itu berarti Priamanaya harus segera menyerahkan kunci pengelolaan Pasar Tenabang kepada Pasar Jaya. Tak usah takut meski Djan Faridz kini menjadi orang berkuasa. Selain duduk di kabinet, pengusaha yang semula hendak maju dalam pemilihan Gubernur DKI ini tokoh berpengaruh di Partai Persatuan Pembangunan dan mengetuai Nahdlatul Ulama Wilayah Jakarta.
Toh, Priamanaya sudah balik modal, bahkan untung besar. Menurut BPKP, yang mengevaluasi proyek itu tahun lalu, Priamanaya menjual 3.155 unit atau 40,2 persen dari total 7.842 kios pada 2009, sehingga menerima setidaknya Rp 1,45 triliun. Angka ini sudah melampaui biaya pembangunan gedung sebagaimana diplot perusahaan itu, yang memperkirakan nilai proyeknya Rp 917,5 miliar. Kalkulasi yang lebih optimistis menghasilkan angka spektakuler: jika 7.842 kios itu benar-benar dijual dengan harga Rp 1 miliar saja, Priamanaya sudah meraup Rp 7,8 triliun!
Djan memang punya dua opsi. Ia boleh terus bekerja sama, tapi mengikuti skema perbaikan kontrak yang saling menguntungkan, atau menyerahkan sama sekali kunci pengelolaan Blok A. Biarlah kontrak diteruskan perusahaan lain, asalkan memenuhi persyaratan win-win Pasar Jaya. Pilihan kedua jauh lebih penting secara etik. Meski Djan sudah melepaskan posisi resminya di perusahaan itu sejak menjadi politikus, sesungguhnya dialah pengendali bisnis gurih ini. Sebagai menteri, guna mencegah terjadinya konflik kepentingan, sebaiknyalah dia dan perusahaannya mundur dari Tenabang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo