Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

Hilangnya Akal Sehat

Betapa tidak efisiennya pemerintahan Prabowo yang tak sanggup menggerakkan segenap aparat untuk melayani masyarakat.

17 November 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MEMANG ada benarnya jika dikatakan para pejabat kita mulai kehilangan akal sehat, meski tak semua pejabat seperti itu. Akal sehat hilang karena mereka selalu membela dan membenarkan apa yang dikatakan junjungannya. Apalagi mereka dalam posisi membalas budi. Bahkan jika junjungannya itu memang salah, misalnya keceplosan ngomong, tetap saja dibela dan dipuji. Alasan bisa dicari.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Banyak sekali contohnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita ini. Dalam hal ketatanegaraan, misalnya. Sekarang tengah dipersoalkan adanya dukungan Presiden Prabowo Subianto kepada calon Gubernur Jawa Tengah, Ahmad Luthfi. Secara etika, banyak yang menyebutkan hal ini kurang elok. Meski Prabowo juga Ketua Umum Partai Gerindra, yang mengusung Luthfi, dalam dirinya saat ini melekat jabatan presiden yang seharusnya netral. Presiden adalah milik bangsa. Sepanjang ada pro-kontra ihwal presiden cawe-cawe dalam pemilihan kepala daerah berkaitan dengan etika jabatan, sepertinya masih bisa kita terima sebagai “perbedaan pendapat” yang normal.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tapi ada argumen lain yang seperti orang kehilangan akal. Wakil Kepala Staf Kepresidenan Mohammad Qodari punya alasan kenapa Prabowo tidak salah dalam mendukung Luthfi. Alasannya, dukungan Prabowo itu diberikan pada Ahad, hari libur, bukan hari kerja. Artinya, kalau bukan hari kerja, Prabowo bukan lagi presiden. Lucu jadinya jika kita punya presiden yang hanya bekerja pada Senin sampai Jumat. Hari Sabtu di banyak daerah juga dinyatakan sebagai hari libur. Jadi, kalau ada masalah genting di negeri ini yang perlu keputusan presiden, tak bisa dilakukan pada hari libur.

Kita cari contoh lain. Ada program Lapor Mas Wapres. Pintu gerbang Istana Wakil Presiden hari-hari ini penuh antrean orang yang melapor. Bukankah loket pengaduan seperti ini sudah ada di berbagai instansi, baik instansi pemerintah maupun swasta? Bahkan kini lebih canggih dengan memanfaatkan dunia digital. Kalau kita berkunjung ke rumah sakit, misalnya, setelah mendapat pelayanan dari dokter, akan segera muncul pesan WhatsApp, apakah kita puas atau apakah ada keluhan soal pelayanan?

Secara nasional bahkan ada platform yang bisa diakses di situs web Lapor.go.id. Situs web pengaduan ini terintegrasi dengan berbagai kementerian dan lembaga. Dulu beberapa pejabat pernah membuka layanan pengaduan dengan menyesuaikan kondisi saat itu. Misalnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membuka kotak pengaduan lewat pesan pendek (short message service/SMS) dan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama menerima langsung warga Jakarta untuk mengadu. Hasilnya tidak membuat masyarakat puas karena toh, jika ada tindak lanjutnya, akan kembali dilempar ke instansi terkait.

Untuk apa Gibran Rakabuming Raka membuka pengaduan Lapor Mas Wapres? Kenapa tidak memanfaatkan platform yang sudah ada seraya mengimbau masyarakat jangan takut membuat aduan dan memerintahkan semua instansi peka terhadap keluhan rakyat. Kalau Gibran masih ingin mendengarkan aduan langsung, ya, sesekali terjun temui rakyat. Lakukan dialog, bukan cuma membagi-bagikan susu.

Yang jadi pertanyaan, apakah para staf khusus wakil presiden tak mengingatkan Gibran akan “kegagalan” sistem pengaduan langsung ke pusat ini? Bahkan beberapa menteri memberi komentar bahwa ini sebuah terobosan yang bagus. Inilah akal sehat yang hilang. Betapa tidak efisiennya pemerintahan Prabowo yang tak sanggup menggerakkan segenap aparat untuk melayani masyarakat. Semuanya terpusat ke atas.

Contoh bagaimana hilangnya akal sehat itu bisa banyak sekali. Apalagi di bidang penegakan hukum. Komisi Pemberantasan Korupsi sibuk mencari Gubernur Kalimantan Selatan yang sudah dijadikan tersangka. Tiba-tiba sang gubernur nongol memimpin apel pagi. Kenapa tak langsung ditangkap? Bukankah apel itu tak bisa sekejap? Kejaksaan Agung menahan Tom Lembong, mantan Menteri Perdagangan, dalam kasus impor gula. Tidak ada dua alat bukti yang cukup dan tak ada kerugian negara. Padahal semua mantan Menteri Perdagangan yang mengimpor gula, bahkan dalam jumlah lebih besar, tak ada yang diperiksa. Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya setahun lebih menjadikan Firli Bahuri, Ketua KPK, sebagai tersangka. Tapi dia belum juga diproses, apalagi ditahan. Semua lembaga penegak hukum itu seperti kehilangan akal sehat. Apa sebenarnya yang terjadi?

Presiden Prabowo harus mengembalikan akal sehat itu. Pidato dia dalam segala hal memberikan harapan bagus untuk negeri ini. Sayangnya, baru tingkat omon-omon.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus