Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
UI harus menginvestigasi dengan serius proses studi Bahlil hingga mengevaluasi keberadaan SKSG.
UI bisa meniru Universitas Bayreuth di Jerman yang membatalkan gelar doktor Menteri Pertahanan Jerman Karl-Theodor zu Guttenberg pada 2011.
Para guru besar tak boleh tunduk pada politikus atau siapa pun yang ingin mengubur skandal ini.
MESKI kurang cergas, keputusan Universitas Indonesia menangguhkan gelar doktoral Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bahlil Lahadalia dari program Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) merupakan langkah yang tepat. Namun upaya UI memulihkan nama tak boleh berhenti sampai di sini. UI harus menginvestigasi dengan serius proses studi Bahlil hingga mengevaluasi keberadaan SKSG.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bahlil dinyatakan lulus dari SKSG dengan predikat cumlaude setelah kuliah kurang dari dua tahun. Namun disertasinya yang mengangkat topik penghiliran komoditas nikel berlumur kejanggalan. Organisasi Jaringan Advokasi Tambang yang ditulis sebagai informan dalam disertasi tersebut tak pernah diwawancarai oleh Bahlil, melainkan oleh seseorang yang mengaku sebagai peneliti sebuah lembaga di UI. Praktik joki disertasi ini harus diberantas karena melanggar etika akademik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Publikasi ilmiah Bahlil dalam jurnal perlu dipertanyakan. Terlepas dari siapa sebenarnya penulisnya, “karya” Bahlil dipublikasikan di dua penerbit abal-abal atau jurnal predator. Bahlil menerbitkan karya ilmiahnya dalam dua jurnal internasional, yaitu Migration Letters dan Kurdish Studies, yang dari namanya saja tak beririsan dengan topik yang ditulis Bahlil. Kedua jurnal tersebut sebelumnya terdaftar dalam indeks Scopus, tapi saat artikel Bahlil terbit pada Juli 2024 statusnya sudah discontinued.
Anehnya, dengan berbagai kejanggalan tersebut, promotor dan co-promotor Bahlil yang semestinya mengawal agar mahasiswa menghasilkan karya jurnal dan disertasi sesuai dengan standar kualitas akademik seolah-olah menutup mata. Mereka yang seharusnya menjadi penjaga moral dan etika akademik justru menjadi “tim sukses” Bahlil. Karena itu, UI pun harus memeriksa promotor dan co-promotor Bahlil.
Dalam dunia akademik, semestinya jenjang pendidikan dan keilmuan seperti piramida: makin tinggi gelar, makin tajam dan ketat risetnya. Di Indonesia, yang ditunjukkan dalam kasus Bahlil, malah terbalik: makin tinggi gelar makin longgar aturan etika akademi diterapkan.
Salah satu sebabnya adalah menjamurnya unit seperti SKSG dalam program pascasarjana di banyak kampus. Program seperti ini merupakan sarana universitas untuk mencari uang dan akses belaka. Universitas harus membubarkan unit-unit semacam itu untuk menyetop praktik obral gelar dan kerusakan dunia akademik lebih jauh.
UI bisa meniru Universitas Bayreuth di Jerman yang membatalkan gelar doktor Menteri Pertahanan Jerman Karl-Theodor zu Guttenberg pada 2011. Setelah melakukan penyelidikan secara serius, pihak universitas menyatakan Guttenberg terbukti melakukan plagiat pada disertasinya pada 2007. Universitas berkesimpulan Guttenberg melakukan penipuan karena mengambil hasil penelitian orang lain dan menyembunyikan sumbernya. Gara-gara ketidakjujuran akademik ini, Guttenberg akhirnya mundur dari posisinya.
Dewan Guru Besar UI yang menyatakan akan mengusut dugaan pelanggaran etik dalam kasus Bahlil harus sungguh-sungguh bekerja seperti komisi di Universitas Bayreuth yang menyelidiki Guttenberg. Para guru besar tak boleh tunduk pada politikus atau siapa pun yang ingin mengubur skandal ini. Mereka tidak hanya mempertaruhkan nama baik UI, tapi juga dunia pendidikan tinggi Indonesia, yang dikenal memiliki ketidakjujuran akademik yang gawat.