Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mahkamah Agung seharusnya tidak menolak rekomendasi Komisi Yudisial yang memberi sanksi kepada hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Sarpin Rizaldi. Hakim yang memenangkan gugatan praperadilan Komisaris Jenderal Budi Gunawan itu terbukti melanggar kode etik dan pedoman perilaku hakim. Hukuman Komisi atas Sarpin, enam bulan tak boleh menangani perkara, tergolong ringan.
Komisi sudah menjalankan kewenangannya seperti diatur dalam Pasal 13 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011. Komisi menegakkan kode etik dan sama sekali tak mencampuri substansi putusan yang sebenarnya juga bermasalah. Pada sidang praperadilan itu, misalnya, Sarpin dianggap melampaui kewenangan karena memutus sesuatu yang seharusnya ditetapkan sidang peradilan.
Penilaian terhadap materi putusan janggal itu jelas menjadi kewenangan Mahkamah Agung. Putusan Sarpin membatalkan penetapan tersangka Budi Gunawan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi harus diakui telah menimbulkan kekacauan hukum. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana telah ditabrak karena penetapan tersangka waktu itu bukanlah subyek praperadilan. Akibatnya, koruptor ramai-ramai mengajukan gugatan praperadilan.
Dalam batas pemeriksaan etika itulah Komisi Yudisial menemukan pelanggaran Sarpin saat memimpin sidang praperadilan dan ketika merespons kritik pasca-putusan. Komisi menyebutkan Sarpin tak profesional dalam menyusun pertimbangan putusan praperadilan. Ia salah mengutip kesaksian guru besar Universitas Parahyangan, Arief Sidharta, dalam amar putusan. Ia juga keliru mencantumkan identitas dengan menyebut Arief sebagai ahli hukum pidana, padahal semestinya ahli filsafat hukum.
Setelah putusan diketuk, Sarpin juga dituding melanggar etika lantaran memberikan respons berlebihan di depan publik. Ia melaporkan beberapa pengkritik putusannya ke polisi. Komisi menilai hakim semestinya tak boleh merasa senang atau marah jika ada yang mengomentari putusannya. Ada pula soal pelanggaran gratifikasi. Sarpin diduga menerima jasa kuasa hukum secara cuma-cuma dari sebuah kantor pengacara.
Sangat beralasan Komisi menghukum "nonpalu" selama enam bulan. Pemeriksaan atas sepuluh saksi sudah lebih dari cukup, meskipun Sarpin menolak menghadiri panggilan sidang etik. Jangankan memanfaatkan kesempatan klarifikasi atas tuduhan terhadapnya, Sarpin justru memilih "panggung" lain: mengadukan dua pemimpin Komisi. Langkah hukum itu sah, tapi tidak patut dilakukannya. Penolakan Sarpin hadir di sidang etik justru memperkuat kesan ia tak punya argumentasi kuat untuk menepis serangkaian tuduhan terhadapnya.
Kini, setelah Komisi melayangkan rekomendasi, bola berada di tangan Mahkamah Agung. Diharapkan lembaga peradilan negara tertinggi itu kali ini tak menolak rekomendasi Komisi seperti pada 2013. Ketika itu, Komisi merekomendasikan Mahkamah memberi sanksi kepada 115 hakim yang terbukti melakukan pelanggaran etik. Patut disayangkan, saat itu hanya tujuh hakim yang dibawa ke sidang Majelis Kehormatan Hakim.
Mahkamah Agung jelas perlu meningkatkan kinerja pembinaan hakim. Jika tak setuju terhadap rekomendasi Komisi, seperti diatur dalam Pasal 22-E Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011, Mahkamah sebenarnya bisa menggelar penyelidikan bersama untuk menentukan hukuman. Mahkamah perlu menyadari, langkah serius dalam penegakan etik itu mutlak perlu untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat atas kredibilitas hakim yang sudah sedemikian merosot.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo