Pada Rubrik Hukum TEMPO, 6 Maret 1993, diberitakan tentang salah seorang ilmuwan Batan yang dikeluarkan dari instansinya karena menyalahi tata tertib peraturan kepegawaian. Itu merupakan suatu gebrakan yang menyengat. Saya salut dengan tindakan Batan itu yang berusaha menegakkan hukum. Sebaliknya, saya prihatin dengan apa yang terjadi pada Dr. Iwan Kurniawan. Saya tak bisa membayangkan bagaimana seorang pegawai negeri golongan III dengan gaji sekitar Rp 200 ribu per bulan, dan berprofesi sebagai ilmuwan yang konotasinya adalah tempat kering, harus membayar utang kepada negara sebanyak 500 juta rupiah. Dengan asumsi dia masih berkerja di lembaga tersebut tanpa makan atau minum, Dr. Iwan Kurniawan membutuhkan waktu sekitar 250 tahun untuk melunasi utangnya. Seperti yang ditulis TEMPO, "Untuk disandera, kemungkinan kecil, karena kita tak mengenal lembaga sandera" (TEMPO, 6 Maret 1993). Dr. Iwan Kurniawan sudah dipecat dari Batan. Supaya Anda tak membawa utang ke alam kubur, mungkin Anda sebaiknya cepat-cepat melongok iklan dari negara-negara maju yang bisa dengan senang hati menerima dan membayar gaji yang tinggi untuk brain drain first class scientists dari negara dunia ketiga. Seperti yang diungkapakan The Wall Street Journal, edisi 2 February, 1990, bahwa salah satu penyebab menurunnya kompetisi di bidang ekonomi di Amerika, yakni tidak cukupnya Amerika mendidik ilmuwannya sendiri. Sebenarnya suatu kekhawatiran yang agak berlebihan, sebab mayoritas pemenang hadiah Nobel Prize masih banyak dari Amerika. Tapi itulah, prestasi semacam itu mashi dianggap kurang. Dan Amerika tentunya sangat mengharapkan ilmuwan pendatang, sebab dapat menghemat banyak biaya untuk mencetak seorang ilmuwan. Pada era global kapitalisme seperti sekarang ini, Dr. Robert Reich, ilmuwan dari Universitas Harvard dan sekarang menteri perburuhan di kabinet Presiden Clinton, lewat bukunya The Work of Nations berpendapat bahwa kekayaan suatu bangsa itu tak lagi diukur dari berapa banyaknya sumber daya alam, teknologi, pabrik, peralatan, modal, perusahaan multinasional yang dipunyai oleh negara itu. Sebab, semuanya itu tidak mengenal ciri kebangsaan dan dapat berpindah tangan dalam sekejap mata lewat global informasi, global telekomunikasi, dan global pasar. Untuk menjawab tantangan global kapitalisme, satu pemecahannya adalah pada tenaga kerja terdidik, terutama problem solver, problem identifier, dan strategic broker yang dipunyai bangsa itu. Soalnya, sifat fisiknya tak mudah pindah tangan. Tantangan ekonomi yang dihadapi setiap negara sekarang ini adalah meningkatkan nilai tambah dari setiap warganya. Itu dilakukan dengan cara memperbaiki dan meningkatkan keahlian dan kemampuan mereka melalui pendidikan serta menghubungkannya dengan kebutuhan global pasar. Lebih jauh saya teringat wejangan salah seorang anggota DPR kita ketika mengunjungi pelajar Indonesia di Amerika tahun lalu. ''Pulanglah kalian setelah selesai sekolah, apa pun yang akan kalian kerjakan di tanah air paling tidak kalian akan menyumbangkan sesuatu untuk kemajuan bangsa, '' katanya. Dan saya percaya bahwa sifat patriotisme bangsa Indonesia di rantau cukup tinggi sehingga pemerintah Amerika melalui program imigrasi AA-1 (yang gratis untuk mendaftarnya) memasukkan Indonesia dalam daftar preferential treatment untuk menjadi warga Amerika selama tiga tahun (1992-1994). Saya berharap konflik kepentingan birokrasi dan profesi antara Batan dan Dr. Iwan Kurniawan dapat diselesikan dengan kemampuan dan keterbatasan masing-masing pihak tanpa merugikan kepentingan jangka panjang ekonomi Indonesia di arena global kapitalisme ini. Untuk Dr. Iwan Kurniawan, bersabarlah dengan segala situasi dan kondisi yang ada. Sebab, adaptasi balik dari belajar di negara teknologi tinggi dan birokrasi yang tak bertele-tele ke negeri tercinta membutuhkan kesabaran dan daya tahan mental dan fisik yang cukup tinggi. Saya tak berharap Anda menjadi salah satu brain drain bangsa Indonesia. Semoga pengorbanan dan karya Anda dapat dinikmati oleh generasi mendatang. SRI W. HANDAYANI 306 Hitt St # 6 C Columbia, MO 65201, USA
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini