Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam prosesnya hingga dikukuhkan sebagai Instruksi Presiden No. 1/1991, Kompilasi Hukum Islam (KHI)?peraturan yang dijadikan rujukan para hakim untuk memutuskan pelbagai kasus peradilan agama?telah menomorduakan suara perempuan.
Itulah sebabnya tim pengarusutamaan gender Departemen Agama telah mengeluarkan counter-legal draft untuk merevisi peraturan itu. Draf ini telah mendapat beragam reaksi, baik yang pro maupun yang menentang (lihat Tempo 11-17 Oktober 2004).
KHI lama kami pandang mencerminkan dominannya fikih yang menempatkan perempuan sebagai "urutan kedua" setelah laki-laki. Misalnya dalam soal poligami dan perjanjian perkawinan.
Padahal pihak yang menikah dan membentuk keluarga itu bukan hanya laki-laki, tapi juga perempuan. Mereka di mata Allah sama-sama bekerja keras dan dengan demikian sama-sama dihargai-Nya.
Di lain pihak fakta menunjukkan begitu banyak kasus kekerasan dalam rumah tangga terjadi di negeri yang mayoritas berpenduduk muslim ini. Laporan Menteri Pemberdayaan Perempuan tahun 2001 menunjukkan sekitar 24 juta (11,4 persen) penduduk perempuan kita, terutama di pedesaan, mengaku pernah menjadi korban kekerasan domestik. Bentuknya berupa penganiayaan, kekerasan seksual, pelecehan, perselingkuhan suami, atau poligami.
Dapat dipastikan data yang tercatat itu jauh lebih sedikit dari yang sebenarnya terjadi. Sebabnya tidak semua perempuan yang mengalami kekerasan bersedia melaporkan.
Kasus kawin kontrak juga makin marak. Ini biasanya terjadi antara perempuan desa dan laki-laki berduit dari luar negeri. Praktek ini menggiurkan para calo yang kebanyakan laki-laki dengan risiko yang ditanggung perempuan. Setelah kontraknya habis, perempuan tidak menikmati hak-hak yang sama dengan perempuan yang menikah secara normal.
Hal yang sama terjadi dengan poligami. Perempuan, baik sebagai anak maupun sebagai istri, dibuat tak berdaya menghadapi superioritas laki-laki yang bisa menentukan seenaknya berapa jumlah perempuan yang akan dikawini. Ini belum termasuk kasus-kasus perkawinan yang tidak tercatat, seperti nikah siri, perkawinan beda agama, juga soal status anak di luar perkawinan.
Kini negara menaruh perhatian besar terhadap kepentingan kaum perempuan. Mulai dari ratifikasi Konvensi Hak Perempuan (CEDAW) hingga pengesahan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) baru-baru ini. Semangat yang mendasari perhatian tersebut adalah bahwa memperjuangkan hak asasi manusia adalah juga berarti memperjuangkan hak perempuan.
Belakangan banyak pula aktivis agama yang aktif memperjuangkan hak perempuan, baik dari kalangan pesantren maupun organisasi agama. Perempuan muslimah kini sudah terpelajar, sadar, dan terlibat aktif dalam gerakan memajukan kepentingan kaum perempuan.
Dengan segenap perkembangan ini, apakah KHI lama harus dibiarkan memfosil dan tak tersentuh perubahan zaman? Lebih jauh lagi, apakah hukum Islam dibiarkan tertinggal jauh sehingga kehilangan relevansinya dalam memenuhi kebutuhan umat dan bangsa yang plural ini?
KHI baru adalah respons kalangan muslimah yang sadar bahwa mayoritas korban perempuan dalam kekerasan domestik adalah perempuan muslimah. KHI baru adalah refleksi upaya muslimah mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender dari sudut pandang keislaman.
Mereka sadar betul Islam adalah agama yang bukan hanya untuk kepentingan laki-laki, melainkan untuk semua manusia. Roh Islam terletak pada etikanya yang membebaskan, seperti tecermin dalam konsep tauhid?pengakuan yang tulus terhadap kesamaan dan kesatuan manusia.
Lalu, bagaimana dengan wahyu? Dalam kesempatan peluncuran counter-legal draft KHI di Jakarta beberapa waktu lalu, ada yang mengatakan bahwa KHI baru itu "sesat", "sekuler", dan "menyimpang dari wahyu agama".
Wahyu adalah bentuk partisipasi komunitas agama terhadap keintiman Ilahi. Wahyu adalah elan vital kehidupan, sebagai pembuka jalan kedamaian dan keharmonisan alam. Dalam konteks keakraban dengan wahyu inilah perempuan muslimah bergerak menjadi pelopor perdamaian, rehabilitasi, pembaruan, dan rekonsiliasi.
Apakah ini sesat atau sekuler? Dulu, di era 1930-an dan 1970-an, ada perbedaan paham antara "kaum tua" dan "kaum muda". "Kaum tua" selalu menggunakan sebutan sesat dan sekuler untuk membungkam kreativitas perbedaan dan ijtihad umat. Sedangkan "kaum muda" lebih diterima oleh zamannya yang senantiasa berkembang. Jelas sebutan sesat dan sekuler bukan argumen ilmiah karena tidak dikenal dalam nomenklatur ushul fiqih yang membahas masalah ijtihad. Berijtihad dalam fikih merupakan amal: kalau benar dapat dua pahala, kalau keliru dapat satu pahala. Sebutan itu juga bukan cerminan dari keakraban umat dengan konteks kewahyuan yang senantiasa bergerak dinamis.
Umat butuh penyegaran baru dalam kehidupannya. Kaum muslimah merespons itu dengan memperhatikan perbaikan nasib kaum perempuan di Indonesia. KHI baru adalah cerminan ijtihad muslimah yang mempromosikan Islam sebagai agama yang ramah terhadap perempuan, sekaligus rahmat bagi alam semesta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo