Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Imam

Salman rushdie dalam karyanya "the satanic verses" menggambarkan bahwa, imam itu sebuah sikap diam yang masif, suatu ketiadaan gerak. ia tidak memimpikan sejarah, tapi pemberontakan melawan sejarah.

4 Maret 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LELAKI tua yang disebut Imam itu berasal dari Desh. Negeri itu adalah sebuah negeri di mana rembulan terasa panas dan menetes, seperti roti chapati berkeju yang baru diangkat dari tungku. Sang Imam tinggal di pengasingan, di sebuah rumah besar gaya Belanda di Kensington, London. Di sanalah ia menunggu, menantikan bangkitnya revolusi di tanah airnya. Nun di negeri Desh itu kata dongeng yang satu ini, ada seorang maharani yang berkuasa, bernama Ayesha. Sang Imam adalah lawannya .... Saya tak tahu, sebuah sindiran buat Ayatullah Khomeini-kah ini, sebagai Imam yang dulu mengungsi ke Paris menjelang revolusi. Yang pasti, itulah kisah Salman Rushdie dalam bab IV bukunya yang mirip 1001 malam itu: satu bagian dari mimpi yang bertaburan dalam The Satanic Verses. "Sang Imam," tulis Rusdhie dalam hikayatnya yang bewarna-warni itu, "adalah sebuah sikap diam yang masif, suatu ketiadaan gerak. Ia batu yang hidup .... Ia murni kekuatan, ia suatu makhluk elemental." Dan ia punya sebuah mimpi. Apa yang dimimpikannya? "Bukan: bukan sejarah," kata Rushdie, si sahibul hikayat. "Mimpinya sebuah mimpi yang lebih aneh." Sebab, dalam pidatonya yang gemuruh dan disiarkan dari Kensington ke negeri Desh setiap malam, Sang Imam berseru menjelaskan kenapa rakyat mesti bangkit. "Kita akan mengadakan revolusi," katanya, "sebuah pemberontakan yang tak hanya ditujukan melawan sang tiran, tapi sejarah." Kenapa sejarah? Sebab, "Sejarah adalah anggur-darah yang tak lagi boleh diminum." Sejarah adalah si pembuat mabuk, hasil ciptaan dan perasukan Iblis. Sejarah adalah penyimpangan dari jalan yang lurus. Pengetahuan, sesuatu yang lahir karena proses sejarah, adalah sebuah halusinasi. Sebab, seluruh pengetahuan telah khatam ketika Allah selesai menyampaikan wahyu ke Sang Nabi. Maka, "Kita akan meruntuhkan tirai sejarah," seru seorang propagandis Sang Imam lewat corong radionya. Tak mengherankan bila Sang Imam, dalam kisah ini, berkata, "Seusai revolusi, tak akan ada jam kami akan menghancurkan benda ini. Kata jam akan kami cabut dari kamus-kamus kami." Syahdan, dalam kisah Salman Rushdie ini, revolusi memang terjadi, melalui gelombang manusia yang bergerak membiarkan diri ditembak para pengawal istana. Maharani Ayesha akhirnya kalah. Sang Imam menang. Tapi sayang, Salman Rushdie berhenti cuma sampai di situ -- setelah mengantar kisahnya dengan tanda-tanda sebuah cerita yang nampaknya bakal kaya akan makna. Seandainya ia meneruskannya sekarang, barangkali ia akan berkisah tentang seorang yang heroik: mencoba melawan titah Sang Imam dan mempertahankan sebuah jam weker digital di sisi ranjang. "Perkenankanlah saya, ya Imam," demikian orang itu akan berkata, "untuk menyimpan benda ini." Atau ia akan menulis secarik petisi. Kira-kira begini: "Imam yang mulia, kenapakah Tuan memusuhi jam? Jam adalah sebuah saksi bahwa sejarah tak sepenuhnya mencemaskan. Benda itu lahir dari kesadaran manusia yang baru tentang waktu, kesadaran yang tak bergantung pada terang-remangnya cahaya surya. Seperti kata seorang ahli sejarah, itulah 'deklarasi kemerdekaan manusia dari matahari'. Itulah bukti baru bagaimana manusia bisa menguasai sekitarnya. "Memang, Imam yang mulia, mesin itu kemudian seakan-akan bisa memerintah dan mengatur kita. Manusia sering takluk kepada ciptaannya sendiri. Tapi apakah dengan itu sejarah hanya satu proses kemerosotan? Ya, bila kita hanya memandang keadaan yang lampau sebagai sesuatu yang sempurna. Namun, bagaimana Tuan akan mengatakan masa silam itu sempurna? Di masa silam memang ada Nabi, tapi tidak, masa silam bukanlah kesempurnaan, sebagaimana juga masa kini tidaklah sempurna -- begitu pula masa depan. "Justru sejarah tidak berbicara tentang kesempurnaan, (sebagaimana ia juga tak pernah berhasil melahirkan kemurnian). Sejarah mungkin sebuah percaturan yang tak putus-putusnya antara pelbagai ketidaksempurnaan. Percaturan antara ketidaksempurnaan saya yang bandel dan ketidaksempurnaan Tuan yang merasa bisa serba menentukan. Percaturan antara yang percaya dan setengah tak percaya. Antara yang nisbi dan yang mutlak. "Jam adalah contoh hasil percaturan itu. Tuan pun tahu: benda itu lahir dari proses yang panjang, diolah oleh banyak orang. Jam juga telah memperbarui banyak hal: filsafat Descartes, taktik peperangan, kemajuan atletik, perdagangan di pasar uang, jadwal sebuah hari puasa. "Dalam proses panjang itu, Galileo yang pernah melihat lampu katedral bergoyang -- dan menemukan satu ide penting untuk jam -- suatu ketika diancam agar tak terlampau bebas berfikir. Atau mungkin kepadanya dituntut agar kebebasan berfikirnya hanya berlaku buat hal-hal yang aman dan bermanfaat, hal-hal yang tak mengguncangkan dan menghebohkan. Tapi kekuasaan siapa sebenarnya yang bisa memutuskan bahwa suatu kebebasan berfikir sudah berbahaya atau belum? Negara? Gereja? Atau sesuatu yang serupa Tuan. ya Imam? Dan kenapa justru? "Terus terang, saya belum yakin. Sebab itulah, jam ini akan tetap saya simpan. Wassalam."Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum