Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ini bukan istilah baru. Sejak awal abad ke-19, ketika masih dijajah Belanda, kita sudah mengenal istilah itu. Pada masa penjajahan Belanda, istilah inlander—seperti diterangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia—merupakan sebutan yang digunakan orang Belanda untuk mengejek bangsa pribumi atau penduduk asli di Indonesia. Istilah itu menarik untuk dibincangkan kembali karena ada hubungannya dengan perilaku berbahasa saat ini.
Kamus Merriam-Webster juga mencatat adanya istilah inlander. Istilah tersebut sudah digunakan sejak 1610. Sebagai istilah, inlander terdiri atas dua unsur, yaitu inland dan imbuhan -er, yang bermakna “orang yang tinggal di inland”. Inland sendiri merupakan bagian dari suatu wilayah, mungkin semacam dusun atau kampung. Dengan demikian, bisa jadi penduduk pribumi Indonesia oleh orang Belanda dianggap sebagai orang dusun, orang kampung, atau wong ndeso. Karena itu, wajar jika inlander dianggap sebagai sebutan ejekan bagi bangsa Indonesia oleh orang Belanda.
Meskipun tidak tertutup kemungkinan ada dusun, kampung, dan desa yang maju, dalam konteks orang dusun, orang kampung, atau wong ndeso, memang sebutan itu bisa berkonotasi udik, jauh dari keramaian, kurang gaul, dan sejenisnya yang bernilai rasa “rendah”. Pada kenyataannya, pada masa penjajahan Belanda memang bangsa Indonesia dianggap sebagai “warga kelas tiga” atau warga kelas rendah. Warga kelas duanya adalah Arab, India, dan Cina, sementara yang dianggap sebagai warga kelas satu adalah orang Belanda dan Eropa pada umumnya. Anggapan semacam itu tentu saja menurut penilaian orang Belanda.
Anehnya, bangsa Indonesia sendiri pada masa penjajahan Belanda menganggap bangsa Belanda dan Eropa pada umumnya sebagai bangsa yang “berkelas”, bangsa yang hebat, yang lebih tinggi daripada bangsa Indonesia. Karena itu, sebagian orang Indonesia yang bisa bekerja pada pemerintah Belanda, bisa bersekolah di sekolah Belanda, atau bisa berbahasa Belanda merasa derajatnya naik dan bisa menyejajarkan diri dengan “golongan atas”. Sementara itu, orang yang tidak bisa mencapai taraf tersebut tetap merasa diri sebagai warga “kelas tiga” atau “warga rendahan”.
Dari situlah tampaknya mulai muncul bibit-bibit inferioritas, muncul sikap rendah diri, atau muncul mentalitas inlander, kehilangan rasa percaya diri sebagai suatu bangsa yang bermartabat. Sikap tersebut kemudian merasuk dalam diri sebagian besar bangsa Indonesia sebagai bangsa jajahan. Sikap rendah diri semacam itu lalu terwariskan dari generasi ke generasi hingga saat ini.
Akibat dari mentalitas inlander itulah sebagian di antara kita menjadi kehilangan rasa percaya diri pada kekuatan bahasa dan budaya sendiri. Akibat lebih lanjut, apa pun yang kita miliki dirasa kalah hebat, kalah nilai, dan kalah gengsi daripada milik bangsa lain. Sebaliknya, apa pun yang dimiliki bangsa lain dianggap lebih hebat, lebih keren, dan lebih bergengsi daripada milik kita sendiri. Karena kita menilai bangsa lain atau orang asing lebih tinggi, dalam hampir segala hal kita pun menghargai mereka dengan “harga” yang lebih tinggi. Hal itu termasuk pula dalam memberikan gaji kepada orang asing meskipun kelas jabatannya sama dengan orang Indonesia. Itulah perwujudan dari mentalitas inlander. Mentalitas semacam itu tampaknya merasuk pula dalam perilaku berbahasa masyarakat.
Karena telah dirasuki mentalitas inlander, banyak di antara kita yang menganggap bahasa asing lebih bergengsi, lebih bernilai, dan lebih memiliki daya jual. Akibatnya, dalam berbagai penamaan, bahasa asing lebih kerap dipilih daripada bahasa Indonesia. Dalam menulis buku pun judulnya menggunakan bahasa asing, padahal isinya berbahasa Indonesia. Begitu pula pada judul film, judul lagu, nama kelompok musik, nama rubrik di media massa, nama acara, serta nama kegiatan dalam berbagai peristiwa. Dalam berkomunikasi dengan bahasa Indonesia pun, banyak kata dan istilah asing digunakan.
Semua itu dilakukan dengan satu tujuan: dianggap berkelas. Akibatnya, fenomena penggunaan kata dan istilah asing makin marak. Bahasa Indonesia malah terpinggirkan. Padahal bukan bahasa asing yang menentukan nilai suatu produk, melainkan mutu produk itu sendiri. Kebanggaan pada bahasa Indonesia akhirnya tergadaikan. Sumpah untuk menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia, pun dikhianati meski tiap tahun Sumpah Pemuda diperingati.
*) Kepala Balai Bahasa Jawa Timur
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo