Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Beberapa waktu lalu, para bankir Indonesia singgah di kantor kedutaan di Oslo dan kami berbincang cukup lama. Saya katakan kepada mereka bahwa kita dihadapkan pada defisit neraca perdagangan Indonesia-Norwegia. Ekspor Indonesia ke Norwegia tidak banyak. Hanya kopi, tekstil, alas kaki, ban, furnitur, dan beberapa lagi. Jumlahnya tidak besar jika dibandingkan dengan impor kita dari Norwegia, yang lumayan bervariasi, yakni seafood (terutama salmon, trout, dan makerel), alat derek, pupuk, tanker, teknologi militer, serta berbagai produk berteknologi tinggi, yang harganya pasti lebih mahal ketimbang kopi, alas kaki, atau furnitur.
Sebetulnya ada kelapa sawit yang masuk pasar Norwegia. Tapi kelapa sawit dan turunannya masuk melalui negara lain dalam bentuk consumer good. Maka, meski jumlahnya signifikan, dari sisi neraca perdagangan tidak dihitung karena ekspornya tak masuk langsung ke Norwegia. Jadi Norwegia bukanlah destinasi ekspor kelapa sawit.
Presiden Joko Widodo menghendaki semua kedutaan meningkatkan ekspor produk-produk Indonesia karena kita membutuhkan banyak devisa untuk membiayai akselerasi pembangunan. Khusus Norwegia dan Skandinavia pada umumnya, peningkatan ekspor itu tidak mudah dicapai. Pasar Norwegia atau pasar Skandinavia relatif kecil, di samping jaraknya yang sangat jauh, sehingga eksportir Indonesia lebih melirik pasar besar, seperti Cina, Korea Selatan, Jepang, India, dan Australia.
Penduduk Norwegia hanya 5,5 juta, Swedia 9,9 juta, Denmark 5,7 juta, dan Finlandia 5,7 juta. Satu negara lain, Islandia,- berpenduduk tidak sampai 400 ribu orang. Bayangkan, dari semua penduduk yang ada di Skandinavia, berapa banyak yang bisa menjadi konsumen potensial? Jumlah konsumen di sini tak signifikan jika dibandingkan dengan jumlah konsumen yang berada di Cina dan India. Tapi rendahnya ekspor Indonesia ke Norwegia dan Skandinavia bukanlah akhir dari segalanya. Kita bisa mengupayakan lebih banyak investasi masuk ke Indonesia.
Kalau kita lihat Norwegia, pendapatan per kapitanya sekitar US$ 63.530, sedangkan Swedia US$ 50.840, Denmark US$ 51.560, dan Finlandia US$ 45.730. Negara kecil Islandia, yang juga bagian dari Skandinavia, punya pendapatan per kapita sekitar US$ 53.640. Betapa makmurnya orang-orang di kawasan Skandinavia ini! Sementara itu, produk domestik bruto Norwegia US$ 398,8 miliar (2017). Angka ini lebih besar daripada proyeksi pendapatan negara kita pada 2019, Rp 2.142,5 triliun.
Angka-angka itu menunjukkan kepada kita semua potensi ekonomi dan potensi investasi yang bisa digarap kalau kita serius dalam mencari investasi untuk dibawa ke Indonesia. Apalagi kalau kita juga menambahkan bahwa semua negara Skandinavia ini memiliki teknologi industri perminyakan, energi, perkapalan, dan perikanan yang sangat maju. Begitu banyak nilai tambah yang melekat pada perekonomian negara-negara itu.
Perlu dicatat bahwa Norwegia pada 1960-1970 belum dikenal sebagai negara kaya. Ekonomi Norwegia masih di bawah negara-negara lain di Eropa. Baru pada 1980-an nasib Norwegia berubah. Penemuan minyak pada akhir 1960-an mulai memberikan rezeki dan menjadikan negara ini kaya. Tapi Norwegia tidak terlena. Uang minyaknya dimasukkan ke apa yang disebut Government Pension Fund Global (GPFG) atau apa yang kita kenal sebagai Sovereign Wealth Fund (SWF).
Pada 2018, uang yang ada di SWF sekitar US$ 1,04 triliun—terbesar di dunia. Dana sebesar US$ 1,04 triliun ini lebih dari dua kali produk domestik bruto Norwegia. Dana SWF inilah yang diinvestasikan ke berbagai perusahaan dan surat berharga. Norges Bank, yang mengelola SWF ini, bertindak sebagai perusahaan investasi sebagaimana layaknya SWF di negara-negara lain. Investasi SWF Norwegia masuk ke ekuitas pasar modal sebanyak 67,6 persen, aset pendapatan tetap 29,7 persen, dan perusahaan griya tawang yang belum masuk pasar modal (unlisted) sebanyak 2,7 persen. Ada kebijakan pemerintah Norwegia merekomendasikan investasi di perusahaan yang sudah masuk pasar modal. Dari semua investasi itu, negara memperoleh keuntungan 13,7 persen, dengan perincian dari ekuitas sebesar 19,4 persen, fixed income assets 3,3 persen, dan real estate 7,5 persen.
Perlu dicatat bahwa Norwegia pada 1960-1970 belum dikenal sebagai negara kaya. Ekonomi Norwegia masih di bawah negara-negara lain di Eropa. Baru pada 1980-an nasib Norwegia berubah. Penemuan minyak pada akhir 1960-an mulai memberikan rezeki dan menjadikan negara ini kaya.
Sebagian besar investasi ditanamkan di Amerika Utara, sebanyak 41 persen, dan di Eropa, 36 persen. Asia-Pasifik kebagian 20 persen, sedangkan yang lain mendapat 3 persen. Secara statistik bisa dilihat bahwa kepemilikan ekuitas ada di 1,4 persen perusahaan besar dunia atau 2,4 persen perusahaan Eropa. Kepada para bankir kita itu, secara berseloroh saya katakan bahwa Norwegia adalah pemilik 1,4 persen ekuitas dari Fortune 500 Companies.
Investasi itu tersebar di berbagai perusahaan besar, seperti Apple, Amazon, Microsoft, Alphabet, Royal Dutch Shell, Nestle,- dan Facebook. Buat negara sekecil Norwegia, partisipasi ekuitasnya terbilang mengesankan. Sayang bahwa SWF yang gemuk ini kebanyakan hanya mengalir ke Amerika Utara dan Eropa. Asia hanya terpusat di Jepang, Korea Selatan, dan Australia. Mengapa Indonesia, yang kaya dan prospek bisnisnya cemerlang, tak mendapat bagian yang memadai dari dana gemuk SWF tersebut? Apakah tak ada investasi yang menjanji-kan yang bisa dijual?
Harus diakui bahwa dana SWF Norwegia juga masuk ke Indonesia, baik berupa ekuitas maupun surat berharga, yang berkisar pada angka US$ 4,7 miliar. Kita harus menelisik lebih jauh apakah ada dana SWF yang masuk ke sektor real -estate. Saya tak tahu persis jumlah yang pasti, tapi bisa disimpulkan angkanya tak terlalu signifikan.
Seharusnya Indonesia bisa mendapat lebih banyak, tapi mengapa pasar dan perusahaan Indonesia tidak atraktif? Sebelum menjawab pertanyaan ini, saya perlu menjelaskan bahwa investasi SWF Norwegia ini bukan tanpa kendala. Ada yang disebut exclusionary policy, pengecualian yang dibuat parlemen Norwegia dalam menetapkan panduan etis yang mendasarkannya pada produk dan perilaku. Pengecualian berdasarkan produk, misalnya, larangan berinvestasi di industri rokok, senjata, dan batu bara. Sedangkan pengecualian berdasarkan perilaku adalah larangan investasi di perusahaan yang melanggar hak asasi manusia (child labour) dan merusak lingkungan.
Pada akhir 2017, ada 133 perusahaan yang masuk daftar larangan investasi. Kelompok lingkungan hidup Norwegia menuntut pemerintah menarik dana SWF dari bank-bank Indonesia yang memberikan kredit kepada perusahaan perkebun-an kelapa sawit karena melanggar ethical guidelines itu. Tidak jelas apa reaksi dari pemerintah Norwegia terhadap tuntutan tersebut. Setahu saya, investasi tersebut masih dipertahankan. Dari bocoran yang saya baca, perusahaan yang masuk pengecualian itu termasuk perusahaan-perusahaan besar yang terkenal di dunia.
Jadi kita harus membaca semua ini agar bisa memahami kecenderungan investasi dana SWF itu. Kita akan terkejut kalau melihat nama besar di balik perusahaan yang bisa dikatego-rikan sebagai perusahaan yang melanggar panduan etis tersebut. Sekarang ini juga ada usul agar pengecualian itu ditambah terhadap perusahaan-perusahaan yang melakukan manipulasi pajak, termasuk penghindaran pajak.
Jangan salah sangka bahwa dana SWF yang gemuk itu harus dipinang dan digotong ke Indonesia. Kesan saya, kita kurang melirik dana SWF yang gemuk itu, padahal kita sangat membutuhkan masuknya investasi asing. Apakah kita tak punya perusahaan yang menjanji-kan, yang prospeknya bagus di masa depan? Apakah proyek infrastruktur dan energi terbarukan yang sedang kita kembangkan tak layak jual?
Ketika tak lagi bisa bergantung pada minyak dan gas, kita harus membangun dan mengembangkan infrastruktur dan industri energi terbarukan, industri yang ramah lingkungan. Sayangnya, kita belum melihat ada ikhtiar serius untuk melakukan apa yang disebut jemput bola ini. Saya kira sudah waktunya pemerintah Indonesia dan dunia usaha bersinergi menjemput bola, melakukan road show memasuki pasar modal Norwegia, merayu dana gemuk SWF, dan membawa mereka ke Indonesia yang menawan (tentu dengan catatan ada kepastian hukum dan stabilitas politik yang berkelanjutan). Indonesia tak jadi menarik kalau tak ada kepastian hukum dan stabi-litas politik.
Oslo, 1 Januari 2019
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo