Muhammad Chatib Basri
Staf pengajar FEUI dan Wakil Kepala LPEM-FEUI
Perjalanan sebuah bangsa mungkin seperti sebuah kronologi salah duga. Begitu juga dengan negeri ini. Ketika Sukarno dan Hatta mengumumkan lahirnya Republik Indonesia di pagi 17 Agustus 1945, barangkali tak pernah dibayangkan betapa banyak salah duga yang akan dilalui. Sebagai bangsa dari sebuah negeri yang baru bebas dari kolonialisme, kita berangkat dari sebuah ketulusan—atau mungkin asumsi—bahwa negara mesti berpihak pada rakyat. Bukankah kehendak bernegara ini berangkat dari kehendak rakyat yang ingin bebas dan berdaulat di tanahnya sendiri? Lalu, jika logika tersebut diperpanjang, seharusnya negara membangun demi rakyatnya. Karena itu, dalam pembangunan ekonomi, negara harus berperan besar.
Yang kemudian tercatat adalah salah duga, dan lagi-lagi salah duga. Negara, yang diharapkan berlaku sebagai perantara yang jujur (honest broker), ternyata tak sepenuhnya bisa netral dan berdiri di pihak rakyat. Malah, dalam banyak hal negara menjadi perantara ketidakjujuran sehingga kepastian hukum berada pada tingkat yang sangat rendah dan praktek korupsi, kolusi, nepotisme merajalela sampai pada tingkat yang memuakkan. Saya sendiri tak berani membayangkan sampai seberapa rendah lagi pemburukan institusi itu akan terjadi.
Di masa lalu, memang orang kerap beranggapan bahwa kebijakan ekonomi adalah sesuatu yang bersifat exogenous, sesuatu yang bebas, sesuatu yang ditentukan di luar sistem dan bersifat teknokratis. Tetapi bukti empiris kemudian menunjukkan bahwa kebijakan adalah sesuatu yang ditentukan oleh proses politik, sesuatu yang endogenous, sesuatu yang ditentukan di dalam sistem. Kebijakan lahir sebagai sebuah hasil proses politik, tempat kelompok-kelompok atau bahkan para pejabat memperjuangkan kepentingan mereka. Dan posisi politik dari mereka yang bertarung ini ditentukan oleh interaksi ekonomi-politik di masa lalu. Sejarah ekonomi Indonesia menunjukkan betapa institusi dan interaksi ekonomi politik menjadi hal yang amat menentukan arah suatu kebijakan. Di sinilah peran institusi—sesuatu yang kerap diacuhkan dalam pendekatan ekonomi neo classic—menjadi amat penting.
Indonesia hari-hari ini memang tidak menggelora seperti ketika republik dilahirkan. Di sana-sini kita malah mencatat keluhan atau kecemasan. Namun, bukan berarti sama sekali tak ada harapan untuk perbaikan. Situasi makroekonomi mulai menunjukkan tanda-tanda perbaikan, relatif terhadap kondisi awal tahun ini. Pertumbuhan ekonomi untuk triwulan kedua tahun 2002 tumbuh 3,5 persen, naik dibandingkan dengan pertumbuhan kuartal pertama, yang 2,2 persen. Ini berarti ada harapan bahwa pertumbuhan ekonomi akan mencapai 3,8 persen atau 4 persen pada tahun 2002. Di sisi lain, inflasi mengalami gejala penurunan. Perhitungan inflasi dari Juli 2002 dibandingkan Juli 2001 menujukkan kecenderungan menurun dan telah mencapai 10,5 persen. Juga tingkat bunga beringsut turun dan nilai tukar relatif stabil pada rentang Rp 8.500-Rp 9.000. Sepintas, kondisi ekonomi makro Indonesia memang menunjukkan perbaikan.
Sementara itu, tingkat upah riil juga menunjukkan peningkatan. Selama periode Februari-April 2002, tingkat upah riil di sektor pertanian meningkat 2,76 persen. Di sektor informal kota, tingkat upah sektor konstruksi naik sebesar 4,9 persen untuk April-Juni 2002 dibandingkan April-Juni 2001. Dengan kata lain, memang ada gejala membaik. Namun, situasi yang membaik ini tidak cukup memadai untuk membuat ekonomi kita menjadi baik, tak lain karena soal perbankan, restrukturisasi perusahaan, dan investasi tetap belum terselesaikan. Padahal perbaikan dalam sektor-sektor inilah yang akan mendorong ekonomi. Hanya, perbaikan pada berbagai sektor ini membutuhkan perbaikan institusi, dan perbaikan institusi itulah yang tidak kunjung terwujud. Karena itu, dalam memandang perjalanan bangsa ini ke depan, ada sebuah agenda besar yang harus dilakukan, yakni perbaikan insitusi.
Tentu saja agenda ini telah menjadi klise karena lebih mudah dikatakan ketimbang dilaksanakan. Walau demikian, baiklah kita tetap mencoba memberikan perhatian kepada beberapa masalah penting dalam pembangunan institusi di negeri ini, sebagai berikut.
Pertama, ketidakpastian yang ditimbulkan oleh lemahnya institusi telah mengakibatkan meningkatnya biaya untuk melakukan aktivitas ekonomi atau biaya transaksi. Akibatnya, kehadiran institusi—dalam bentuk yang amat menyedihkan—justru dianggap mengganggu jalannya perekonomian. Sebenarnya tujuan perbaikan institusi adalah mengurangi biaya transaksi akibat ketidakpastian atau ketidaksempurnaan informasi. Tujuannya agar efisiensi dalam melakukan aktivitas ekonomi bisa dicapai. Namun, dalam kenyataannya, orang mulai menggerutu karena institusi yang dibangun justru meningkatkan biaya transaksi. Dan kita mendengar bagaimana orang mengeluhkan institusi pemerintah. Bahkan orang juga gusar karena "tingginya biaya demokrasi"—dengan proses tawar-menawarnya.
Jika kondisi seperti itu berlangsung terus, ada dua kemungkinan: adanya tekanan untuk perbaikan institusi, atau sebaliknya—dalam keputus-asaan—orang akan menerima institusi yang korup asalkan bisa memberikan kepastian. Jika ini terjadi, kita masuk dalam pusaran yang semakin menggerus upaya perbaikan institusi. Dengan kata lain, jika harga relatif dari adanya institusi menjadi mahal, orang akan mengurangi permintaannya akan institusi. Implikasinya adalah, situasi akan semakin buruk dan kita menjadi semakin rapuh terhadap serangan krisis.
Dari sejak awal krisis kita telah melihat bagaimana sistem pemerintahan yang otoriter, institusi yang lemah, dan korupsi-kolusi-nepotisme telah mendorong modal agar bergerak keluar dari Indonesia. Ini berarti institusi yang lemah telah memperburuk krisis ekonomi yang ada. Krisis mungkin tak akan separah ini jika represi politik pada waktu itu masih membuka ruang bagi voice. Tetapi institusi politik yang ada begitu lemah sehingga pilihan terhadap gejolak politik ditanggapi dengan pilihan memindahkan modal keluar dan menukarkan rupiah ke mata uang asing.
Kedua, sering kali dikatakan bahwa reformasi ekonomi akan berjalan karena adanya krisis. Alasannya: krisis yang serius akan meruntuhkan kelompok kepentingan. Selain itu, karena begitu banyak orang dirugikan gara-gara krisis ekonomi, keinginan melakukan reformasi ekonomi menjadi tinggi. Argumen ini secara teoretis memang memiliki dasarnya, tapi fakta kemudian bicara lain.
Yang dimaksud ialah, krisis mendera hampir semua orang, tapi banyak kelompok kepentingan dan rent seekers (pemburu rente) dari rezim Soeharto yang masih tetap bertahan pada posisi dominan. Mereka leluasa melakukan kalkulasi tentang bagaimana aturan baru dijalankan dan, dengan dana yang ada, mereka masih memiliki kekuatan untuk memveto reformasi. Kita bisa melihat ini dalam berbagai kasus restrukturisasi perusahaan, perbankan, atau kasus-kasus pengadilan niaga. Jadi, agar reformasi ekonomi bisa berjalan, soal-soal seperti itu harus dimasukkan dalam perhitungan.
Dalam kasus privatisasi di Indonesia—dan juga di Rusia—kita melihat betapa sulit pemerintah melakukan privatisasi tanpa membuat kompromi dengan berbagai politisi atau stake holders demi menjamin berjalannya kebijakan pemerintah. Akibatnya, proses perbaikan institusi malah harus mempertimbangkan posisi tawar dari kelompok-kelompok yang bercokol. Ironisnya, jika dominasi kelompok bercokol masih kuat, proses perbaikan institusi akan berjalan amat lambat.
Ketiga, studi yang dilakukan oleh Martinelli dan Tommasi dari Universitas Harvard menunjukkan bahwa, dalam satu negara yang dipenuhi oleh konflik kepentingan dan didominasi oleh kelompok kepentingan bercokol yang kuat—dalam arti memiliki kekuatan untuk menolak (veto)—reformasi ekonomi hanya bisa berhasil bila dilakukan dengan cara big bang (sekaligus). Argumentasinya didasarkan pada distributive consequences of reform. Maksudnya, dukungan kepada pemerintah untuk melakukan reformasi akan sangat bergantung pada apakah kelompok kepentingan diuntungkan atau dirugikan oleh reformasi yang dilakukan.
Saya sendiri membayangkan bahwa proses big bang memang dibutuhkan di Indonesia. Tanpa itu, perbaikan institusi praktis akan terhenti. Sekarang, masalahnya tinggal sejauh mana kemauan untuk perbaikan institusi itu bisa bertahan. Sampai saat ini kita bahkan belum melihat adanya niat untuk melakukan perbaikan. Saya khawatir, kehendak memperbaiki keadaan justru kalah kuat dibanding kehendak merebut atau mempertahankan kekuasaan. Jika itu yang terjadi, kronologi salah duga masih akan sangat mewarnai sejarah bangsa ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini