Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TANPA 12 butir instruksi khusus pun seharusnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kuasa menyelesaikan kasus Gayus Halomoan Tambunan. Poin-poin dalam instruksi yang keluar pekan lalu itu malah membuka mata kita bahwa selama lebih dari setahun ditangani polisi kasus Gayus tak banyak bergerak. Gayus baru dihukum tujuh tahun penjara untuk kasus yang dianggap ”teri”, yakni korupsi saat menangani keberatan pajak PT Surya Alam Tunggal. Kasus ”kakap” dan ”hiu”, misalnya pengakuannya di persidangan soal uang yang diterima dari sejumlah perusahaan, termasuk tiga perusahaan yang terafiliasi Grup Bakrie, belum disentuh polisi sama sekali.
Tak terbayangkan bila instruksi yang sudah terperinci itu tak juga mempan membongkar kasus Gayus sampai sang penyuap. Mungkin masyarakat akan dilanda frustrasi berat. Presiden sudah menugasi Wakil Presiden mengawasi pelaksanaan instruksi ini, dan rapat evaluasi ditetapkan diadakan dua mingguan. Publik tidak mengharapkan sebuah akhir antiklimaks dari perkara ini. Pemerintah perlu membuktikan tak ada warga negara yang kebal hukum, termasuk ”orang kuat” yang diduga terlibat kasus Gayus.
Instruksi untuk melaksanakan audit kinerja dan audit keuangan terhadap lembaga penegak hukum berkaitan dengan kasus Gayus bukan persoalan rumit, setelah Gayus berbicara gamblang tentang sumber uang dan siapa yang disuapnya. Aparat yang tersangkut kasus ini tak boleh sekadar dicopot, tapi juga harus diperiksa dan disidangkan.
Publik menunggu hasil instruksi Presiden kepada Kepolisian, Kejaksaan, Kementerian Keuangan, dan Kementerian Hukum untuk mempercepat dan menuntaskan kasus Gayus. Bila di antara para pembantunya itu ada yang tak mampu menjalankan instruksi ini, Presiden tak boleh ragu mencopot dan mengganti mereka. Keseriusan pemerintah tak cukup ditunjukkan dengan pidato, tapi dengan langkah jelas untuk mencapai target 12 instruksi itu.
Instruksi Presiden ini menjadi semacam pertaruhan. Bila pemerintah bisa menyibak semua kabut kasus ini dan menghukum yang bersalah, mungkin kita masih bisa berharap pada penegak hukum. Tapi, bila instruksi Presiden itu tidak berjalan, kita patut cemas akan masa depan hukum di negara ini. Kalau kasus Gayus yang membelit begitu banyak aparatur kita tak dapat dibereskan, artinya pemberantasan korupsi sudah gagal. Berlarut-larutnya kasus ini saja sudah memberikan indikasi bahwa para pemimpin tipis sense of crisis-nya. Mereka seakan tak pernah sadar bahwa tingkat keganasan korupsi di negara ini sudah sampai tahap metastasis—ibarat kanker ganas yang sudah menyebar ke seluruh bagian tubuh.
Kanker yang menyebar itu bisa disaksikan dalam kasus Gayus. Mustahil pegawai bagian keberatan dan banding Direktorat Jenderal Pajak golongan III itu sedemikian gampang mendapat uang dan begitu enteng menebar suap ke mana-mana. Baru satu-dua atasan Gayus yang diperiksa, padahal jelas dia tidak beroperasi sendiri. Gayus ada di dalam sistem yang koruptif, dalam pola kejahatan korupsi tertua di bumi ini, yaitu perselingkuhan penguasa dengan pengusaha.
Presiden pernah mengeluarkan Instruksi Nomor 5/2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi. Namun ”prestasi” korupsi Indonesia masih tetap yang tertinggi dibanding negara lain dari tahun ke tahun, seperti diungkap survei tahunan Political and Economic Risk Consultancy (PERC). Menurut laporan 2010, PERC tetap menempatkan Indonesia sebagai negara terkorup di Asia Pasifik.
Seberapa banyak pun pemerintah membuat aturan antikorupsi, bila tidak dilaksanakan dengan konsisten, akan sia-sia saja. Sungguh kita tak berharap 12 instruksi Presiden ini akan menjadi macan kertas belaka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo