Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUAP dalam sepak bola kita ibarat Kisah Seribu Satu Malam, tak pernah berakhir. Sejak liga masih bernama Galatama alias Liga Sepak Bola Utama, kisah suap terhadap pemain dan wasit serta pengaturan pertandingan sudah santer terdengar. Yang membuat prihatin: praktek lancung yang bertentangan dengan asas sportivitas ini bukannya makin surut, malah kian merajalela.
Di kalangan klub peserta Liga Super Indonesia, lazim terdengar istilah ”faktor nonteknis” yang amat mempengaruhi hasil pertandingan. Istilah ini merujuk pada tindakan curang wasit, penjaga garis, dan pemain di lapangan hijau. Kemangkusan faktor itu melebihi kepiawaian manajer mengatur strategi bermain dan keterampilan pemain menggocek bola.
Penjaga garis, misalnya, kerap mengangkat bendera offside untuk membatalkan gol yang sebetulnya dicetak secara sah. Wasit ringan tangan memberikan kartu kuning untuk pelanggaran kecil dan kartu merah yang berbuah hadiah penalti di menit-menit akhir pertandingan. Adapun pemain ”menjual diri” untuk kemenangan tim lawan.
Dibutuhkan ketegasan dan keberanian aparat hukum untuk memberantas praktek busuk ini. Tentu dukungan dari para pemimpin negara juga punya arti besar. Dalam soal ini, kita perlu mencontoh Cina. Di sana Presiden Hu Jintao dan Wakil Presiden Xi Jinping kompak menyatakan dukungan untuk membersihkan sepak bola dari wabah korupsi.
Sepak bola Cina, yang mulai maju dan sempat lolos ke putaran final Piala Dunia 2002 di Jepang dan Korea Selatan, memang kembali tersungkur gara-gara skandal suap, pengaturan skor, dan perjudian. Namun, berkat dukungan para pemimpin negara, aparat penegak hukum di sana sigap bertindak.
Hasilnya tak tanggung-tanggung. Dua tahun lalu, polisi menangkap sejumlah pengurus teras Asosiasi Sepak Bola Cina (CFA). Termasuk yang ditahan adalah bekas Ketua CFA Xie Yalong, Ketua CFA Nan Yong, Wakil Ketua CFA Yang Yimin, dan Ketua Komisi Sepak Bola Wanita Zhang Jianqiang.
Tak seperti di sini, begitu menjadi tersangka, para pengurus PSSI-nya Cina itu langsung dipecat dari kedudukannya. Mereka dianggap melakukan ”dosa” tak terampuni karena mencoreng sepak bola serta menyakiti pendukung dan juga rakyat Cina. Polisi juga memeriksa lebih dari seratus pemain, mantan pemain, pelatih, wasit, pengurus klub, dan perusahaan penyokong sepak bola.
Contoh ketegasan lain dapat diteladani dari Italia. Lima tahun lalu, Negeri Pizza itu digemparkan oleh skandal suap yang dikenal sebagai Calciopoli. Pelakunya adalah klub-klub besar di Seri A dan eksekutif mereka. Mereka dituduh mengatur permainan dengan cara memilih wasit dan memperjudikan pertandingan secara ilegal.
Skandal Calciopoli bermula dari upaya polisi dan jaksa Italia menyidik kasus penggunaan obat perangsang di kalangan pemain. Mereka memasang penyadap di ruang ganti pemain. Hasilnya temuan lain yang lebih mencengangkan. Direktur umum klub Juventus, Luciano Moggi, kedapatan mengatur pertandingan serta terlibat perjudian dan pemalsuan catatan keuangan selama musim pertandingan 2004/2005.
Hakim yang mengadili kasus ini menjatuhkan hukuman yang menggetarkan. Nyonya Besar, julukan Juventus, didegradasi ke Seri B. Dua gelar juara liga yang diperolehnya dalam musim kompetisi 2004/2005 dan 2005/2006 dicopot. Tiga klub lain, yaitu AC Milan, Fiorentina, dan Lazio, mendapat hukuman berat berupa denda dan pengurangan poin.
Menyedihkan bahwa kita tak pernah melihat ketegasan seperti itu diterapkan di Indonesia. Pengurus klub, wasit, dan pemain yang terbukti terlibat suap dan pengaturan pertandingan hanya mendapat hukuman internal yang ringan dari Komisi Disiplin PSSI. Sanksi pidana sama sekali dikesampingkan. Ketua PSSI yang tersangkut kasus pidana bahkan masih diperbolehkan memimpin organisasi dari dalam penjara.
Sudah waktunya pemimpin kita meniru teladan di negara lain. Aparat hukum harus dikerahkan untuk menindak tegas pelaku tak terpuji di dunia sepak bola. Akan sangat bermanfaat bila Presiden bersemangat memimpin perang melawan korupsi di sepak bola. Sama halnya ketika dia bergelora memberikan dukungan kepada tim nasional di Stadion Utama Senayan.
Berkaca pada kisah sukses negara lain, kompetisi yang sehat merupakan kunci kejayaan sepak bola. Maka pembenahan total sepak bola Indonesia harus dimulai dari penyelenggaraan kompetisi yang adil, bermutu, dan bebas dari pengaturan.
Jangan lagi menipu penonton dan rakyat dengan suguhan pertandingan yang sudah diatur. Kita tidak mau sepak bola Indonesia tak ubahnya pertandingan gulat bebas ala Smackdown. Seolah-olah seru dan menegangkan, tapi sesungguhnya sudah diatur demi keuntungan komersial segelintir orang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo