Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Integrasi, asimilasi, islamisasi

Tanggapan ipik tanoyo terhadap kolom syu'bah asa tentang pembauran wni cina. proses islamisasi yang ditekankan syu'bah masih banyak tantangan. karena tidak kurang cina yang masuk islam cuma formalitas.(kom)

6 Desember 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KETIKA Siauw Giok Tjhan masih hidup, saya pernah mewawancarainya untuk majalah Selecta. Dia bilang, tak setuju istilah asimilasi, lebih setuju integrasi. Alasannya, pengertian asimilasi disalahartikan pemuda-pemuda pribumi untuk mencolek pantat pemudi-pemudi nonpri. Kalau amoy-amoy marah, si pemuda pri teriak, "'Kan asimilasi?" Tentu, itu alasan yang terlalu dicari-cari. Sejarah toh harus terjadi: Siauw, ketua Baperki -- onderbouw PKI -- out of circulation dan sempat ditahan (walau tidak sampai disidangkan), dan meninggal di Belanda. Teorinya mengenai keturunan Cina di Indonesia (Bentuklah masyarakat sosialis Indonesia, dan Cina merupakan suku sendiri, seperti suku Jawa, Batak, dan lain-lain) harus tumbang dikalahkan teori pembauran (asimilasi)'-nya K. Sindhunatha (Berbaurlah, dan WNI keturunan Cina sebagai kelompok yang terpisah akan hilang). Ada gagasan, memang, agar pembauran makin berhasil. Syu'bah Asa menyebutkan, "Ada 'pengindonesiaan' nama Cina, ada gagasan kawin campuran ada anjuran pergaulan yang lebih tuntas: di sekolah, di lapangan olah raga di RT dan RW, dalam latihan tari serimpi, dalam kegiatan siskamling atau menangkap maling. Dan ada Islamisasi alias dakwah, langkah murni agama yang kemudian dianggap ikhtiar pembauran." Tampaknya, Bung Syu'bah, yang sarjana IAIN itu, lebih menekankan konsep Islamisasi alias faktor kesamaan agama (Islam). Masih jelas polemik istilah pri-nonpri di negara tetangga, Malaysia. Orang-orang Cina yang tergabung dalam partai MCA -- juga yang India menyatakan berhak memakai isiilah pribumi, seperti halnya keturunan Melayu. Sebab, pada dasarnya, penduduk asli tidak ada, ketiga-tiganya pendatang. Toh, ahli sejarah Asia Tenggara di Universitas Malaya, Prof. Khoo Kay Kim, berpendapat, keturunan Cina di Malaysia masih tetap berstatus pendatang. Mereka bisa jadi pribumi jika mampu menyesuaikan diri dengan adat istiadat Melayu dan agama Islam. Bagaimana di Indonesia? Dapatkah seorang keturunan Cina yang masuk Islam dianggap pribumi dan hak-haknya disamakan dengan pribumi? Yang paling getol mempromosikan ini adalah H. Junus Jahja (Lauw Tjuan Tho), ketua Yayasan Ukhuwah Islamiyah (YUI) -- bahwa dengan masuk Islam keturunan Tionghoa (Cina) diterima sepenuhnya. Tapi, beberapa Cina Islam yang aktif di organisasi PITI akhir-akhir ini justru berbuat jelek dan disidangkan -- misalnya Yos Soetomo, dan terakhir H. Frits Wuisan dalam kasus benang tenun. Beberapa orang berkomentar, jangan lihat Cina Islamnya, tapi lihat pribadinya. Jangan gabungkan profesi dengan agamanya. Toh, sepanjang pemantauan dan observasi saya, beberapa Cina WNA yang masuk Islam memang ingin memperoleh KTP atau SBKRI. Lalu, agama diperalat. Saya cenderung melihat kualitas, bukan kuantitasnya: akhir-akhir ini makin banyak Cina di kota-kota besar di Indonesia berbondong-bondong masuk Islam. Wong mengucapkan dua kalimat syahadat saja tidak bisa, lho, kok gampang sekali prosedurnya. Usaha "pencinaan kembali" juga dikembangkan beberapa orang yang duduk dalam YUI. Memang logis kalau ada amoy atau engkoh bisa membaca kalimat-kalimat khusyuk di kaca TV dalam upacara MTQ -- paling tidak, bisa membawa pengaruh keikutsertaan beberapa Cina yang belum kenal apa itu Islam dan apa itu Allah swt. Tapi seorang qariah yang kawin dengan suami asli pribumi dan sudah tak pernah menganggap dirinya Cina lagi, dan tetangga-tetangganya juga tidak tahu, mendadak disebutkan nama Cinanya oleh YUI di media massa. Apa ini positif ? Yang unik, pernah Mutiara melaporkan -- dilengkapi dengan foto-foto -- keadaan Cina-cina melarat di Karawang, Jawa Barat. Di sana istilah pri dan nonpri terjungkir balik dengan yang selama ini kita kenal. Orang-orang asli Indonesia yang kaya malah disebut nonpri. Dan keturunan Cina melarat yang menghuni gubuk disebut pribumi (pri). Di Indonesia masalahnya memang njomplang. Yang Cina kepingin disebut pribumi, sementara yang pribumi tidak mau. Sementara itu, pribumi Kristen atau pribumi Hindu toh disebut pribumi. Jadi, ada anggapan lebih baik menjadi pribumi non-lslam ketimbang jadi Cina Islam. Tapi diakui, memang, dengan masuk Islam benteng-benteng ras sudah tak dipersoalkan lagi. Islam bagaikan semen pengikat. Tapi, beberapa tantangan selalu menghadang -- maklum masih baru. Ada seorang Cina, teman saya, ketika ditanya temannya yang Cina buat apa masuk Islam, dia jawab, "Saya mencari selamat dunia akhirat." Nah. IPIK TANOYO Jalan Gondangdia Lama 46 Jakarta Pusat

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus