Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
INSIDEN anjloknya rangkaian kereta api Argo Semeru rute Surabaya-Jakarta di Kulon Progo, DI Yogyakarta, Selasa lalu, harus diselidiki sampai tuntas. Meski tak ada penumpang tewas, kecelakaan ini menunjukkan masih buruknya pengoperasian kereta api, baik untuk penumpang maupun barang, oleh PT Kereta Api Indonesia (KAI). Tanpa menemukan penyebab utama kecelakaan, sulit menentukan sektor mana yang perlu diperbaiki lebih dulu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sampai hari ini, informasi jelas soal penyebab insiden tak pernah diumumkan ke publik. Kepolisian setempat menduga anjloknya empat gerbong Argo Semeru dipicu erosi pada tanah yang menopang bantalan rel. Ketika kereta melintas, gerbong miring dan anjlok. Setelah anjlok, gerbong-gerbong yang hampir rebah dan menutupi rel di sebelahnya itu kemudian terserempet kereta Argo Wilis yang melintas dari arah berlawanan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kalau saja masinis Argo Wilis rute Bandung-Surabaya tak sigap menurunkan kecepatan lokomotifnya, senggolan itu dapat menjadi benturan keras yang bisa memakan korban jiwa dan kerusakan lebih parah. Sampai saat ini, 32 orang dilaporkan terguncang dan sempat dibawa ke rumah sakit. Hingga kemarin, 31 korban sudah dipulangkan dan seorang lagi masih perlu dirawat.
Baca juga: Imbas Anjloknya KA Argo Semeru
Dalam hal keamanan pengoperasian kereta penumpang, sebenarnya PT KAI bisa dibilang punya catatan relatif bersih. Sebelum insiden pada 17 Oktober 2023 itu, tubrukan antar-kereta penumpang terakhir kali terjadi pada 23 September 2015. Waktu itu kereta listrik rute Bogor-Jakarta Kota menubruk kereta listrik dengan jurusan sama yang sedang berhenti di Stasiun Juanda, Jakarta Pusat. Kejadian ini tak memakan korban jiwa.
Sampai kemarin, berbagai insiden kecelakaan masih terus terjadi. Data Direktorat Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan menunjukkan, pada tahun lalu saja, ada setidaknya 60 insiden di luar kecelakaan kereta api dengan pengguna jalan raya di perlintasan sebidang. Dari jumlah itu, 58 kejadian di antaranya berupa anjloknya kereta. Sisanya adalah dua insiden tabrakan antar-kereta batu bara di Sumatera.
Memang, berbagai kejadian itu tak menelan korban jiwa. Namun data yang sama memperlihatkan penyebab terbanyak kecelakaan (24 kasus) adalah masalah prasarana alias rel, stasiun, dan fasilitas penunjang lainnya. Faktor lain, seperti kesalahan manusia, hanya terjadi pada delapan kasus. Adapun masalah pada sarana alias armada kereta hanya terjadi pada enam kasus.
Dari data itu, kita patut curiga, jangan-jangan prasarana perkeretaapian kita memang masih banyak masalah. Entah usianya sudah tua dan sudah tak layak pakai atau memang spesifikasinya tak cocok dengan kebutuhan perjalanan kereta yang lebih sering serta kecepatannya lebih tinggi. Seperti diketahui, saat menerbitkan grafik perjalanan kereta api terbaru pada Juni lalu—bersamaan dengan peluncuran Argo Semeru yang kemarin celaka—PT KAI sempat memasang target peningkatan kecepatan kereta untuk memangkas durasi perjalanan.
Baca juga: KNKT Cari Penyebab Anjloknya KA Argo Semeru dan KA Argo Wilis
Maka sudah seharusnya Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) menggali lebih dalam penyebab kecelakaan Argo Semeru dan Argo Wilis tersebut. Hasil temuan KNKT itu nantinya harus menjadi bahan evaluasi untuk meningkatkan keamanan perjalanan kereta api. Kementerian Perhubungan juga harus mengaudit kembali prasarana kereta api yang ada, terutama yang berusia tua, serta segera mengganti dan meningkatkan kualitasnya.
Catatan lain dari kecelakaan Argo Semeru adalah perlunya Kementerian Perhubungan menyiapkan kereta penolong dan derek dalam jumlah lebih banyak. Pasca-insiden kemarin, salah satu kereta derek harus didatangkan dari Bandung yang berjarak lebih dari 480 kilometer atau sekitar enam jam perjalanan dari tempat kejadian. Hal ini membuat proses evakuasi berjalan lambat. Setiap kali ada insiden kereta api, jalur yang terkena dampak harus ditutup. Akibatnya, banyak perjalanan kereta yang dibatalkan atau dialihkan lewat jalur lain yang lebih memutar. Walhasil, sarana evakuasi semacam ini juga perlu ditempatkan lebih dekat dengan daerah operasi yang rawan bencana alam dan terpencil.
Tak hanya itu. PT KAI juga perlu mempertimbangkan pengoperasian kereta inspeksi rel lebih sering dan banyak. Memang PT KAI sudah punya tenaga pemeriksa rel yang bekerja menyusuri petak-petak tertentu dengan jadwal rutin. Namun tak ada salahnya pemantauan kondisi rel juga dilakukan dengan bantuan teknologi. Untuk mencapai itu semua, tentu diperlukan anggaran besar. Namun, jangan khawatir, rakyat pasti lebih ikhlas melihat pemerintah menggelontorkan anggaran buat meningkatkan kualitas dan keamanan layanan kereta api reguler ketimbang menghamburkan uang buat proyek mercusuar, seperti kereta cepat.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo