SEBELUM mereka membunuh Sadat, para anggota al-Takfir wa
al-Hijra membunuh Menteri Wakaf. Itu terjadi di tahun 1977. Dan
sebelum al-Takfir bergerak, sebuah organisasi militan lain,
Shabab Muhammad, menyerbu Sekolah Tinggi Teknik Militer.
Usaha itu gagal. Tapi seperti peristiwa kekerasan yang kemudian,
percobaan nekat di tahun 1974 itu menunjukkan betapa Mesir
seakan tak kunjung putus menghadapi gerakan Islam militan yang
melawanpemerintahnya Al-Takfir dan .habab Muhammad cuma dua
contoh. Orang Mesir juga kenal nama angker seperti Hizb'
al-Tahrir al-Islami (Partai Pembebasan Islam), al-Jihad, dan
Gund al-Allah (Prajurit Tuhan).
Kenapa semua itu? Kenapa begitu sering berulang gerakan oposisi
dengan pekik peperangan "Islam" di negeri yang masih memelihara
sekolah tinggi tua Al Azhar itu--dan memberi rektornya
kehormatan dan gaji setingkat perdana menteri?
Dari luar, kita tak tahu jawabnya segala persis. Cukup luas
didengar, bahwa mendiang Presiden Sadat sendiri mencoba memberi
warna Islam bagi pemerintahannya. Mungkin tulus mungkin tidak.
Mungkin terdesak peristiwa di tahun 1974 dan 1977 mungkin pula
tidak.
Betapa pun, sebuah dokumen ideolois dikeluarkan di tahun 1978.
Isinya tidak menunjukkan, bahwa asas sosiale demokratik
pemerintah Mesir pun sumber utama dalam Quran dan Hadish. Bahkan
Mei 1980, sebuah amandemen disetujui: konstitusi, menurut
perubahan yang disiapkan oleh Ketua Parlemen Dr. Sufi Abu Taleb
ini, dasar pokoknya adalah syariat Islam .
Tapi kemudian Sadat dibunuh juga. Orang-orang al-Takfir jelas
membencinya. Bahkan rasa tak puas kepada ke-Islam-an Sadat
terasa di kalangan para simpatisan Ikhwanul Muslimin dan para
pemudanya. Padahal, berbeda dengan pendahulunya, Nasser,
Presiden Sadat membiarkan gerakan itu meneruskan penerbitannya
yang tersohor, al-Da'wah.
Masalahnya, tentu, bukanlah siapa yang benar Islam dan siapa
yang tidak-satu soal yang mestinya cuma berakhir di mahkamah
Tuhan. Masalahnya juga mungkin bukan sekedar Sadat dan bukan
Sadat. Pelbagai gerakan itu nampaknya punya sebab yang lebih
dalam. Sebab, kalau tidak, kenapa gejalanya begitu luas?
Di kalangan kelas menengah di kota besar yang modern, tiba-tiba
nampak para gadis berkudung kembali. Di lapisan yang
sama--terutama di universitas jurusan 'ilmu pasti'--tiba-tiba
para pemuda memelihara jenggot dan aktif bertemu untuk kegiatan
agama. Ada terasa sesuatu yang dicari, dan di sana didapat.
Mungkin Ali E. Hillal Dessouki benar ketika ia berkata, dalam
sebuah simposium yang kemudian dibukukan dengan judul Islam and
Power (1981), bahwa dunia Arab memang tak mudah untuk
mengelakkan itu. Berbeda dari Eropa, dunia Arab tak menghadapi
soal-soal besar pembangunan dan modernisasi secara bergantian.
Soal-soal besar itu datang! bagaikan banjir yang mara,
sekaligus.
"Demikianlah Mesir, misalnya, menghadapi problem pembangunan
ekonomi, pemerataan yang adil, demokratisasi, perubahan
teknologi dan sekularisasi pada saat yang sama," tulis Dessouki.
Maka yang menguasai pemikiran dunia Arab ialah suatu pandangan
total tentang alam semesta, yang konsisten dan juga memuaskan
secara emosional, karena menjelaskan sumber semua penyakit
sosial dalam satu sebab. Juga, karena menawarkan satu obat yang
mujarab. Obat yang bukan asing pula.
Tentu saja orang kemudian bisa menyoal: mana bisa semua penyakit
sosial punah dengan begitu gampang? Utopia adalah Utopia--ia
cita-cita yang menggairahkan tapi surga tak pernah dimaksudkan
terjadi di bumi. Agama apa pun mengakui bahwa ada sifat-sifat
keji dan lemah manusia yang tak bisa dihapuskan. Sejarah toh
banyak bercerita, bahwa tokoh yang ideal, masyarakat yang ideal,
kehidupan rohani dan jasmani yang begitu selaras, berada di luar
riwayat orang-orang lumrah.
Soal-menyoal seperti itu memang klasik. Sampai sejauh ini
akhirnya yang tersisa adalah sebuah pertanyaan, takut-takut,
tentang nasib: jika sesudah Nabi tak ada orang lagi yang seperti
Nabi, mungkinkah manusia bisa kembali ke kemurnian yang lampau
itu?
Barangkali al-takfir ataupun Khomeini hanyalah salah berharap.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini