Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Islam Militan: Sebuah Utopia !

Sadat terbunuh oleh kelompok islam militan: al-takfir. sadat juga tak disenangi kelompok ikhwanul muslimin. pelbagai gerakan di arab itu pasti punya sebab yang lebih dalam. ada yang terus dicari.

11 Desember 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBELUM mereka membunuh Sadat, para anggota al-Takfir wa al-Hijra membunuh Menteri Wakaf. Itu terjadi di tahun 1977. Dan sebelum al-Takfir bergerak, sebuah organisasi militan lain, Shabab Muhammad, menyerbu Sekolah Tinggi Teknik Militer. Usaha itu gagal. Tapi seperti peristiwa kekerasan yang kemudian, percobaan nekat di tahun 1974 itu menunjukkan betapa Mesir seakan tak kunjung putus menghadapi gerakan Islam militan yang melawanpemerintahnya Al-Takfir dan .habab Muhammad cuma dua contoh. Orang Mesir juga kenal nama angker seperti Hizb' al-Tahrir al-Islami (Partai Pembebasan Islam), al-Jihad, dan Gund al-Allah (Prajurit Tuhan). Kenapa semua itu? Kenapa begitu sering berulang gerakan oposisi dengan pekik peperangan "Islam" di negeri yang masih memelihara sekolah tinggi tua Al Azhar itu--dan memberi rektornya kehormatan dan gaji setingkat perdana menteri? Dari luar, kita tak tahu jawabnya segala persis. Cukup luas didengar, bahwa mendiang Presiden Sadat sendiri mencoba memberi warna Islam bagi pemerintahannya. Mungkin tulus mungkin tidak. Mungkin terdesak peristiwa di tahun 1974 dan 1977 mungkin pula tidak. Betapa pun, sebuah dokumen ideolois dikeluarkan di tahun 1978. Isinya tidak menunjukkan, bahwa asas sosiale demokratik pemerintah Mesir pun sumber utama dalam Quran dan Hadish. Bahkan Mei 1980, sebuah amandemen disetujui: konstitusi, menurut perubahan yang disiapkan oleh Ketua Parlemen Dr. Sufi Abu Taleb ini, dasar pokoknya adalah syariat Islam . Tapi kemudian Sadat dibunuh juga. Orang-orang al-Takfir jelas membencinya. Bahkan rasa tak puas kepada ke-Islam-an Sadat terasa di kalangan para simpatisan Ikhwanul Muslimin dan para pemudanya. Padahal, berbeda dengan pendahulunya, Nasser, Presiden Sadat membiarkan gerakan itu meneruskan penerbitannya yang tersohor, al-Da'wah. Masalahnya, tentu, bukanlah siapa yang benar Islam dan siapa yang tidak-satu soal yang mestinya cuma berakhir di mahkamah Tuhan. Masalahnya juga mungkin bukan sekedar Sadat dan bukan Sadat. Pelbagai gerakan itu nampaknya punya sebab yang lebih dalam. Sebab, kalau tidak, kenapa gejalanya begitu luas? Di kalangan kelas menengah di kota besar yang modern, tiba-tiba nampak para gadis berkudung kembali. Di lapisan yang sama--terutama di universitas jurusan 'ilmu pasti'--tiba-tiba para pemuda memelihara jenggot dan aktif bertemu untuk kegiatan agama. Ada terasa sesuatu yang dicari, dan di sana didapat. Mungkin Ali E. Hillal Dessouki benar ketika ia berkata, dalam sebuah simposium yang kemudian dibukukan dengan judul Islam and Power (1981), bahwa dunia Arab memang tak mudah untuk mengelakkan itu. Berbeda dari Eropa, dunia Arab tak menghadapi soal-soal besar pembangunan dan modernisasi secara bergantian. Soal-soal besar itu datang! bagaikan banjir yang mara, sekaligus. "Demikianlah Mesir, misalnya, menghadapi problem pembangunan ekonomi, pemerataan yang adil, demokratisasi, perubahan teknologi dan sekularisasi pada saat yang sama," tulis Dessouki. Maka yang menguasai pemikiran dunia Arab ialah suatu pandangan total tentang alam semesta, yang konsisten dan juga memuaskan secara emosional, karena menjelaskan sumber semua penyakit sosial dalam satu sebab. Juga, karena menawarkan satu obat yang mujarab. Obat yang bukan asing pula. Tentu saja orang kemudian bisa menyoal: mana bisa semua penyakit sosial punah dengan begitu gampang? Utopia adalah Utopia--ia cita-cita yang menggairahkan tapi surga tak pernah dimaksudkan terjadi di bumi. Agama apa pun mengakui bahwa ada sifat-sifat keji dan lemah manusia yang tak bisa dihapuskan. Sejarah toh banyak bercerita, bahwa tokoh yang ideal, masyarakat yang ideal, kehidupan rohani dan jasmani yang begitu selaras, berada di luar riwayat orang-orang lumrah. Soal-menyoal seperti itu memang klasik. Sampai sejauh ini akhirnya yang tersisa adalah sebuah pertanyaan, takut-takut, tentang nasib: jika sesudah Nabi tak ada orang lagi yang seperti Nabi, mungkinkah manusia bisa kembali ke kemurnian yang lampau itu? Barangkali al-takfir ataupun Khomeini hanyalah salah berharap.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus