Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebuah jajak pendapat pernah dilakukan oleh World Economic Forum?lembaga dunia yang pernah menggelar konferensi yang diikuti oleh kepala negara dan pemimpin bisnis dunia. Jajak pendapat itu menghubungkan korupsi di suatu negara dengan tingkat kepercayaan publik terhadap pemerintah negara yang bersangkutan. Hasilnya mencengangkan. Dalam skala 1 (sangat korup) sampai 10 (sangat bersih), Indonesia menempati angka 1,9 dan Amerika 7,5. Tapi tingkat kepercayaan publik terhadap pemerintah di Indonesia adalah 68 persen dan Amerika 72 persen. India berada pada urutan tertinggi dengan tingkat kepercayaan 77 persen, sementara indeks korupsinya 2,8. Jajak pendapat itu menyimpulkan tingkat korupsi tidak berbanding terbalik dengan kepercayaan kepada pemerintah. Korupsi bukanlah sarana delegitimasi terhadap kekuasaan pemerintah.
Di Indonesia, jajak pendapat menjamur pasca-reformasi, terutama menjelang Pemilu 1999 dan 2004. Berbagai lembaga jajak pendapat muncul. Ada yang datanya dipercayai publik, ada pula yang tak digubris.
Pada masa Orde Baru, karena asas massa mengambang, jajak pendapat termasuk sebagai kegiatan subversif yang terlarang. Ketika itu, jajak pendapat juga tak berkembang karena program komputer belum semaju sekarang. Kedua hambatan itu kini sudah tidak ada. Tapi, kalau disimak dengan jeli, tampak bahwa mutu jajak pendapat yang dimulai pada pertengahan 1980-an itu tak banyak berubah sekarang.
Secara teknis, jajak pendapat dimulai dengan statistik. Statistik dibuat agar kita bisa memahami karakter populasi dengan menjumput dan meneliti sebagian dari populasi itu. Bagian kecil yang kita jumput itu disebut sampel. Jika kita ingin mengetahui keadaan darah kita, kita tak perlu memeriksa seluruh darah kita, tapi hanya mengambil sampelnya.
Besar-kecilnya sampel (sampling frame) menentukan tingkat ketepatan pengukuran populasi. Tingkat ketepatan itu tak pernah mencapai 100 persen karena ketepatan yang sempurna hanya bisa dilakukan oleh sensus, bukan oleh survei atau jajak pendapat.
Dalam hubungan dengan tingkat ketepatan ini, jajak pendapat di Indonesia berhadapan dengan dua soal. Pertama, unit terkecil pada polity kita tidak pernah individual. Subyek politik (individu) akan ikut pada patron?keluarga, peers group, atau siapa pun.
Kedua, selama jajak pendapat dilakukan hanya pada pendapat yang berwatak binair (0/1), sepenuhnya kita tahu bahwa hal semacam itu hanyalah bahan gambar sesaat (spot opname). Ia tidak bisa menjadi dasar analisis terhadap kecenderungan yang akan terjadi karena yang dipotret hanyalah top of mind, bukan keseluruhan sikap, minat, dan pendapat yang sifatnya lebih multi-tafsir.
Karena masyarakat Indonesia amat majemuk dan tidak monolitik?tidak seperti Amerika yang melting pot atau Eropa/Jepang yang satu budaya?sampling frame yang dibuat sekadar didasarkan pada rumus statistik akan selalu salah arah.
Untuk memenuhi syarat sampel yang sesuai dengan watak polity kita, statistik harus dikawinkan dengan banyak unsur (variabel) sosiopolitik. Lalu, agar bisa bergerak dalam pola psikologi perilaku, selain soal pendapat yang binair (0/1), akan jauh lebih penting memperhatikan sikap, motivasi, dan juga minat yang mengarah pada pola pengambilan keputusan.
Dengan kata lain, untuk mendapatkan hasil jajak pendapat yang baik, di Indonesia diperlukan pengenalan yang baik atas psikologi sosial politik yang berhubungan dengan tabiat pengambilan keputusan politik. Dengan demikian, analisis politik akan didasarkan pada pengetahuan mengenai tabiat berkeputusan secara kolektif dan bukan semata agregasi dari putusan individual. Jajak pendapat yang dilakukan hanya dengan memotret top of mind dengan sampling frame yang hanya benar secara statistik tidak memadai untuk budaya politik kita.
Di Amerika, dengan cukup 1.000 responden, para penyelenggara jajak pendapat (pollster) bisa mencapai tingkat ketepatan yang nyaris sempurna. Ini bisa dimengerti karena secara politik masyarakat di sana berwatak tunggal. Kultur politik itu terkait rapat dengan minat dan kepentingan masyarakat mereka, sehingga tidak ada jarak antara politik dan struktur sosial ekonomi.
Di sana, partai politik yang besar hanya ada dua, yakni yang liberal dan yang konservatif, Partai Demokrat dan Partai Republik. Pengertian individu juga dijalankan secara utuh, sehingga pemilu juga perlu bersifat rahasia sebagai hak pribadi. Utuhnya individualitas ini yang lalu melahirkan sistem pemilu proporsional dan distrik. Distrik itu adalah alat kontrol representasi kepentingan rakyat yang belum tentu bersifat nasional.
Di Indonesia, kepentingan dan minat warga tidak pernah berjalan lurus dengan ekspresi politiknya. Antara politik dan struktur sosiokultural dan ekonomi tidak ada garis sebab-akibat, melainkan hanya hubungan koefisien.
Artinya, tingkat ketepatan analisis akan sangat ditentukan kemampuan untuk membentuk sampling frame yang benar. Ratusan variabel sosial, ekonomi, dan budaya harus ditimbang terus-menerus untuk mendapatkan jumlah baku sampel yang mewakili pemilih kita yang berjumlah 147 juta.
Jajak pendapat yang dilakukan secara berkala (time series)?misalnya terhadap pilihan calon presiden?yang dilakukan dengan desain riset yang lemah hanya akan menjadikan hasil riset bergerak ke arah kesalahkaprahan.
Imbas televisi dan elemen visual culture lainnya akan mempertinggi gerak mekanis top of mind, sehingga jajak pendapat yang dihasilkan hanya merupakan pendapat asal bunyi dan bersifat stereotipe.
Hanya dengan jajak pendapat yang didasarkan pada analisis yang mendalam mengenai sikap dan motivasi, kemungkinan kita mendapatkan motivated behavior akan lebih terbuka. Jajak pendapat semacam ini jarang bisa dilakukan dengan metode instan, misalnya wawancara melalui telepon.
Karena jajak pendapat di Indonesia hanya menyuburkan salah kaprah, apakah kegiatan itu perlu dihentikan atau dilarang saja?seperti yang kini terjadi di India? Bukankah informasi yang diberikan lebih banyak menjurus pada manipulasi dan bukan keterangan yang mencerdaskan bangsa?
Tentu saja tidak. Di masa depan, politik selalu memerlukan jajak pendapat. Jajak pendapat harus menjadi penjaga atau setidaknya membantu proses demokrasi. Namun, untuk mencapai hal ini, para pollster mesti mencermati dua hal.
Pertama, samping frame sebaiknya tidak disusun hanya berdasarkan aturan statistik yang miskin, tapi dengan melibatkan bahan penimbang yang majemuk. Sampling frame hendaknya disusun tidak dengan oportunisme menyesuaikan diri dengan harapan pemesan jajak pendapat.
Kedua, Indonesia kini compang-camping dan dinamika politik bergerak menjauh dari kepentingan rakyat banyak. Kondisi inilah yang harusnya menjadi titik api kajian. Kita tidak bisa terus-menerus mengandalkan diri pada asumsi Barat tentang gerak linier hubungan antara artikulasi (individual), agregasi (kolektif), representasi (perwakilan), dan eksekusi plus adjudikasi. Garis linier itu belum pernah muncul dalam sejarah politik kita. Kita tidak mungkin hanya berkutat pada kajian pendapat yang didapatkan dari jajak pendapat yang miskin yang hanya bertumpu pada top of mind.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo