LIBERALISME selalu dikutuk di Indonesia.
Tapi sering orang banyak tidak tahu bukan saja apa itu
"liberalisme". Yang sok tahu juga bisa bertanya apakah kita
tidak bingung dengan itu.
Ketika kita berbicara tentang rule of law, dengan bersemangat,
sebenarnya kita mulai menyentuh keinginan yang apa boleh buat
mungkin berakar pada pandangan liberal yang klasik: bahwa
persamaan utama, dalam pandangan ini, adalah persamaan di depan
hukum. Manusia diatur oleh suatu aturan permainan bersama. Yang
berlaku sama untuk semua. Tanpa ini adalah kekacauan, sebab
setiap orang diasumsikan sama-sama bebas untuk memilih
pilihannya sendiri, menentukan tindakannya sendiri dan
memperbaiki nasibnya sendiri.
Ataukah konsep rule of law kita berdasarkan asumsi yang lain?
Kita juga bingung apakah kita memang tidak bingung tentang itu,
ketika kita berbicara bahwa liberalisme adalah persaingan bebas,
yang berdasarkan tekad survival of the fittest, dan bahwa pada
akhirnya yang paling kuatlah yang akan menang.
Tapi tidakkah jika yang terkuatlah yang akan menang, dan yang
lemah-lemah hilang, maka suatu monopoli tidak akan terjadi? Dan
bukankah monopoli itu akan menghilangkan persaingan bebas dan
dengan demikian bertentangan dengan liberalisme itu sendiri?
Bukankah di negeri seperti Amerika Serikat, atas nama
liberalisme juga, kecenderungan itu dicegah keras? Dan tidakkah
pemberian monopoli, apalagi dengan dasar yang bisa dianggap
"pilih kasih", tidak disukai juga di negeri seperti Indonesia?
Bukankah kadang-kadang kita pun diam-diam ingin agar sebenarnya
perlu ada persaingan bebas -- lazimnya disebut "sehat" -- dan
tak terlalu banyak "ijinisme"?
Apakah sebenarnya yang kita inginkan?.
Kita juga mungkin tidak terlampau jelas sampai sejauh mana kita
akan menciptakan kesama-rataan, menghilangnya perbedaan sosial
yang begitu menyolok. Bukankan Pada dasarnya pandangan liberal
yang klasik tidak jauh berbeda dengan pandangan sosialis yang
klasik tentang persamaan?
Marx berkata: di bawah sosialisme, "hak yang sama . . . tak
mengenal perbedaan klas, sebab setiap orang adalah pekerja
seperti orang lain tapi dialcui juga pembavaan individuil
dandengan demikian juga kapasitas produktif yang tidak sama
sebagai previlese yang wajar." Dengan demikian, kata Mlarx pula,
suatu "hak untuk tidak sama dalam isinya, seperti setiap hak."
Orang pun bisa menunjuk kenyataan tidak sama-rata-sama-rasanya
keadaan sosial di negeri-negeri sosialis kini. Tapi bukankah itu
pun merupakan lisensi buat lahirnya "klas baru" hingga apa yang
terjadi di masyarakat liberal terdapat pula di situ?
Ataukah kita telah menemukan jalan, atau wawasan, untuk menjawab
soal-soal tadi ?.
Mungkin zaman kita, sayang sekali, adalah zaman yang
meraba-raba: zaman ketika pikiran-pikiran besar yang ada tidak
memadai, sementara pikiran-pikiran baru belum lahir -- atau
buntu, karena terhambat oleh pikiran-pikiran yang sudah ada.
Lalu kita pun berkata, mari pragmatis saja -- sementara ada
sesuatu yang terasa hampa dalam perjalanan ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini