Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BERAKHIRNYA kekejaman terhadap 34 buruh pabrik panci di Tangerang, Banten, kita sambut dengan lega seraya tetap berwaspada. Sikap awas ini penting agar orang tak mudah lupa bahwa pengusutan kejahatan justru baru dimulai. Polisi jangan berhenti pada urusan penyekapan buruh panci dan kuali belaka, atau alasan ekonomi yang diajukan para pelaku: sekadar mau untung besar dengan ongkos minim.
Argumentasi di atas dengan mudah bisa dipatahkan. Bagaimana buruh bisa produktif jika mereka disiksa, tak diberi makan, tak mendapat upah, bahkan tak boleh menghirup udara segar? Ada sejumlah kejanggalan yang perlu segera ditelisik, menyangkut motif perbudakan hingga perlindungan oleh aparatur, di antaranya dugaan perdagangan manusia. Fakta seperti lalu-lalangnya para calo, termasuk di kampung asal para buruh, menjaring calon tenaga kerja perlu mendapat perhatian polisi dan dinas tenaga kerja.
Perbudakan modern ini terkuak setelah kepolisian menggerebek CV Cahaya Logam, produsen aluminium batangan dan panci di Kampung Bayur Opak, Desa Lebak Wangi, Sepatan, Tangerang. Ditemukan 25 buruh tersekap dalam kondisi amat menyedihkan—sama sekali tak manusiawi. Fakta bahwa pabrik itu telah beroperasi selama satu setengah tahun secara ilegal menunjukkan kenyataan lebih menyedihkan: betapa lemahnya perlindungan hukum terhadap para pekerja golongan kecil.
Sejauh ini, polisi menetapkan lima tersangka, termasuk Yuki Irawan, pemilik pabrik. Para tersangka dikenai Pasal 333 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang perampasan kemerdekaan dan Pasal 351 KUHP tentang penganiayaan. Pemeriksaan kasus ini perlu bergerak ke arah beking atau keterlibatan aparatur di balik beroperasinya pabrik. Relevansinya jelas. Sejumlah buruh kerap melihat tiga anggota kepolisian memberikan perlindungan atas praktek ilegal ini.
Juru bicara Kepolisian Daerah Metro Jaya, Komisaris Besar Rikwanto, bahkan menyebutkan inisial anggota Brigade Mobil dan anggota TNI sebagai kawan dekat Yuki Irawan. Fakta awal yang ada di "halaman rumah" kepolisian seharusnya mempercepat gerak aparatur. Citra korps penegak hukum yang cacat oleh dugaan keterlibatan anggota korpsnya bakal makin coreng-moreng bila kasus ini berakhir di lemari dokumen, bukan di pengadilan.
Kasus berat ketenagakerjaan sejatinya banyak terjadi dan bakal terus berlangsung bila tak ada perbaikan pengawasan ketenagakerjaan. Penyekapan calon tenaga kerja wanita oleh para penyalur kejam, yang berujung menjadi pekerja seks, serta eksploitasi tenaga anak-anak di bawah umur, bukanlah berita baru. Ekspose para korban juga lazimnya terjadi bukan karena hasil investigasi polisi atau kerja keras dinas tenaga kerja. Persis seperti dalam kasus buruh pabrik panci, lazimnya kejahatan ini terbongkar karena korban berhasil meloloskan diri, kemudian digeber publikasi media.
Hilangnya hak-hak konstitusional para buruh korban perbudakan merupakan peristiwa mikrokosmik yang membawa kita pada kondisi gunung es yang jauh lebih berat: mafia tenaga kerja hidup dan berkembang di bawah kongkalikong si punya uang dan si punya kuasa. Keterlibatan publik dan media perlu lebih didorong untuk mengubah mindset kesadaran hukum tentang hak-hak pekerja.
Pelajaran dari pabrik panci di Tangerang terlalu mahal untuk dibiarkan lewat begitu saja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo