Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kurnia Ramadhana
Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Komisi Pemberantasan Korupsi akan menemui ajal tidak lama lagi. Belum selesai dengan proses penjaringan calon pemimpin KPK yang meninggalkan banyak persoalan, kali ini lembaga antikorupsi itu mendapat serangan dari jalur legislasi, yakni Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dan revisi Undang-Undang KPK. Hal-hal ini menunjukkan ada suatu operasi senyap rezim yang ingin membunuh harapan masyarakat Indonesia yang ingin terbebas dari praktik korupsi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pertama, sepuluh nama calon pemimpin KPK yang dikantongi presiden saat ini dipastikan akan memperburuk masa depan pemberantasan korupsi. Misalnya, dari sisi integritas, masih terdapat calon yang berasal dari penyelenggara negara atau penegak hukum yang tidak patuh melaporkan harta kekayaan kepada KPK. Sederhana saja sebenarnya: bagaimana jika kelak mereka terpilih menjadi pemimpin lembaga anti-rasuah tapi aspek transparansi dan akuntabilitasnya saja bermasalah?
Ada pula persoalan rekam jejak calon pemimpin KPK. Di antara sepuluh nama itu masih ditemukan calon yang diduga pernah melanggar kode etik ketika bekerja di KPK. Bahkan terdapat juga calon yang diduga pernah menerima gratifikasi tapi tidak melaporkan ke KPK.
Dari sisi kualitas rasanya tidak berlebihan jika menyebutkan bahwa nama-nama itu tidak layak memimpin KPK pada masa depan. Kesimpulan ini terkonfirmasi pada saat proses uji publik dan wawancara, ada calon yang justru berencana mengurangi kewenangan KPK dalam menindak penegak hukum. Selain itu, sempat mencuat pendapat salah satu calon yang mengatakan bahwa operasi tangkap tangan (OTT) KPK merupakan tindakan keliru.
Kedua, legislasi yang diinisiasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah saat ini justru diprediksi menggerus kewenangan KPK dan malah berpihak kepada pelaku korupsi. Ini dimulai dengan RKUHP, khususnya pada bagian tindak pidana korupsi, di mana yang justru terlihat adalah pengurangan hukuman dibandingkan dengan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Contohnya dalam hal ancaman hukuman pelaku korupsi. Dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, hukuman minimalnya 4 tahun, tapi dalam RKUHP justru turun menjadi 2 tahun. Tidak hanya itu, denda yang awalnya sebesar Rp 200 juta, dalam RKUHP malah turun menjadi Rp 10 juta.
Lalu soal revisi Undang-Undang KPK. Isu ini kerap mengemuka setiap tahun dan dapat dikatakan DPR hanya absen membahas persoalan KPK saat-saat mendekati masa pemilihan umum. Dalam catatan Indonesia Corruption Watch, pembahasan revisi ini sebenarnya dimulai pada 2010, tapi keinginan DPR untuk melemahkan KPK selalu digagalkan oleh dukungan masyarakat luas. Sejak dulu isi rancangan tersebut hampir tidak pernah menguatkan KPK. Bahkan secara serampangan DPR pernah berusaha membatasi usia KPK hanya 12 tahun.
Dalam rancangan terbaru ini, setidaknya ada beberapa poin penting yang harus diamati. Pertama, soal pembentukan Dewan Pengawas. Jika diteliti lebih jauh, dapat dikatakan bahwa Dewan Pengawas ini sebetulnya adalah representasi dari pemerintah dan DPR yang ingin campur tangan dalam KPK. Sebab, mekanisme pembentukan Dewan Pengawas bermula dari usul presiden untuk membentuk panitia seleksi, lalu meminta persetujuan dari DPR.
Selain itu, dalam rancangan revisi Undang-Undang KPK kali ini, DPR kembali ingin memaksa agar KPK berwenang menghentikan penyidikan. DPR seolah-olah tidak memahami bahwa Mahkamah Konstitusi sudah berkali-kali menyebutkan dalam putusannya bahwa KPK tidak berwenang menghentikan penyidikan. Hal ini semata-mata agar KPK tetap selektif dalam mengkonstruksi sebuah perkara supaya nantinya dapat terbukti secara sah dan meyakinkan di muka persidangan. Faktanya, sejak KPK berdiri hingga hari ini, dakwaan lembaga antikorupsi itu belum pernah sekali pun terbantahkan di persidangan.
Narasi pelemahan KPK yang sedang dibangun oleh DPR dan pemerintah sebetulnya mudah dibantah dengan melihat prestasi lembaga antikorupsi itu. Data KPK menyebutkan bahwa sejak lembaga ini berdiri, setidaknya 1.064 perkara telah ditangani ditambah dengan 123 kali OTT. Hampir seluruh jabatan yang selama ini dianggap "kebal hukum" pun terbukti mampu diseret KPK ke meja hijau, dari Ketua DPR, Ketua Dewan Perwakilan Daerah, ketua umum partai politik, kepala daerah, hingga Ketua Mahkamah Konstitusi.
Harapan bangsa ini terlalu besar kepada KPK. Berbagai daya upaya untuk melemahkan KPK hanya akan semakin memperburuk citra DPR dan pemerintah. Pada akhirnya, saya ingin menyampaikan kepada Bapak Presiden Joko Widodo dan segenap anggota DPR yang terhormat: jangan bunuh KPK.