Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PRESIDEN Joko Widodo sepatutnya tidak mengindahkan permintaan politikus Senayan agar Komisaris Jenderal Budi Gunawan diangkat menjadi Wakil Kepala Kepolisian RI. Presiden tidak wajib tunduk meskipun permintaan itu seolah-olah menjadi "syarat" Dewan Perwakilan Rakyat untuk menyetujui penetapan Komisaris Jenderal Badrodin Haiti sebagai calon Kepala Polri.
Desakan keras untuk menyerahkan tongkat Tri Brata 2 kepada Budi mencuat dalam rapat konsultasi Presiden dengan pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat, Senin pekan lalu. Dimotori politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Presiden ditekan agar menyetujui permintaan itu.
Tidak perlu argumentasi canggih untuk menolak permintaan itu. Presiden hanya perlu mengingat kembali penjelasannya saat membatalkan pelantikan Budi sebagai Kapolri. Ketika itu, Jokowi menyebut pencalonan Budi telah menimbulkan perbedaan pendapat di masyarakat. Dengan pertimbangan agar tercipta ketenangan, pencalonan mantan ajudan Presiden Megawati Soekarnoputri itu sebagai Kapolri dibatalkan.
Jokowi juga pernah menyetip nama Budi saat masuk menjadi salah satu kandidat menteri di Kabinet Kerja. Ketika itu, nama Kepala Lembaga Pendidikan Polri ini dicoret karena adanya "stabilo merah" dari Komisi Pemberantasan Korupsi-sinyal bahwa Budi berpotensi terjerat masalah hukum di kemudian hari.
Polemik hukum belum lepas dari Budi. Penolakan publik, seperti ketika dia diusulkan menjadi Kapolri, akan selalu muncul. Apalagi kasus Budi Gunawan yang terjadi pada 2003-2006, ketika ia menjabat Kepala Biro Pembinaan Karier Deputi Sumber Daya Manusia Markas Besar Polri, belum tuntas. Saat ia ditetapkan menjadi tersangka, Komisi Pemberantasan Korupsi mencurigai rekening Budi senilai Rp 55 miliar berasal dari "sumber yang tidak jelas" yang berhubungan dengan jabatannya sebagai penentu penempatan pejabat di institusi Polri. Dugaan ini semakin kuat karena beberapa di antara pengirim ke rekening itu adalah perwira Polri sendiri.
Proses hukum yang terjadi belakangan ini tak serta-merta menyangkal hasil penyidikan komisi antikorupsi terhadap Budi. Pelimpahan kasus yang mendadak dari Kejaksaan Agung ke Badan Reserse Kriminal Polri juga telah memantik kecurigaan adanya upaya "gelap" menghapus dosa-dosa Budi.
Wakil Kepala Polri adalah jabatan strategis. Sebagai orang nomor dua, Wakapolri menjadi pengganti Kapolri saat sedang berhalangan. Dia juga akan duduk di Dewan Jabatan dan Kepangkatan Tinggi, yang mengatur kenaikan pangkat dan penempatan anggota kepolisian di seluruh Indonesia.
Presiden merupakan pengambil keputusan tertinggi dalam menentukan siapa yang harus duduk di kursi Wakil Kepala Polri. Dalam Pasal 57 Peraturan Presiden Nomor 52 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kepolisian RI ditegaskan bahwa pengangkatan serta pemberhentian pejabat dan kepangkatan perwira tinggi bintang dua ke atas ditetapkan Kapolri setelah dikonsultasikan dengan presiden.
Masih banyak kandidat Wakapolri lain. Presiden harus mempertimbangkan kecakapan, loyalitas, dan catatan masa lalu sang kandidat. Pilih yang terbaik. Kandidat dengan banyak coreng selayaknya disetip dari daftar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo