Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kepolisian semestinya mengusut tuntas meninggalnya aktivis lingkungan hidup Golfrid Siregar. Kematiannya jelas tidak wajar, bahkan diduga ia dibunuh. Kemungkinan ini cukup beralasan karena ia sedang menangani kasus lingkungan yang cukup besar sekaligus melibatkan tokoh penting.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Golfrid ditemukan terkapar di underpass Titi Kuning, Medan, pada 3 Oktober lalu. Seorang tukang becak menolongnya. Aktivis Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatera Utara itu sempat dirawat di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik, Medan, sebelum akhirnya meninggal pada 6 Oktober lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Polisi menyatakan Golfrid tewas akibat kecelakaan lalu lintas. Tapi rekan-rekannya tak mempercayai hal itu. Soalnya, tempurung kepala aktivis tersebut hancur seperti terkena benda tumpul. Tidak ada pula lecet di tubuh layaknya korban kecelakaan lalu lintas. Sepeda motor Golfrid pun tidak rusak parah. Adapun barang miliknya, seperti komputer jinjing, tas, dan telepon seluler, raib.
Sebelumnya, korban sempat menghilang selama sekitar sembilan jam. Saat pergi, Golfrid pamit kepada istrinya untuk mengirim barang ke agen ekspedisi dan bertemu dengan seseorang di kawasan Marendal, Medan. Namun, setelah itu, telepon selulernya tak bisa lagi dihubungi.
Walhi Sumatera Utara menduga kematian Golfrid berkaitan dengan kasus yang ditanganinya. Golfrid pernah bercerita kepada koleganya bahwa ia mendapat ancaman melalui telepon agar menghentikan kasus yang ia pegang. Tidak terlalu jelas kasus mana yang memicu teror. Yang pasti, Golfrid menangani sejumlah kasus besar, seperti pembalakan liar di Karo dan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Batang Toru.
Dalam kasus proyek PLTA, ia menggugat surat keputusan Gubernur Sumatera Utara yang memberikan izin lingkungan untuk proyek itu. Gugatan ini sudah ditolak oleh PTUN Medan pada Maret lalu, tapi Golfrid belum menyerah. Ia juga melaporkan tiga penyidik Kepolisian Daerah Sumatera Utara ke Mabes Polri. Mereka diduga menghambat penyidikan kasus pemalsuan tanda tangan saksi ahli berkaitan dengan proyek PLTA Batang Toru.
Kepolisian harus segera membongkar misteri kematian sang aktivis. Sejauh ini polisi baru menangkap dua tersangka yang mengambil barang-barang milik korban. Tanpa pengungkapan yang gamblang, kasus Golfrid akan terus meninggalkan tanda tanya. Apalagi selama ini banyak aktivis menjadi korban kekerasan.
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mencatat pada 2017 saja ada 73 aktivis yang menjadi korban kekerasan. Penyerangan terhadap para aktivis meningkat menjadi 156 kasus pada tahun berikutnya. Kekerasan terus berulang antara lain karena pemerintah tidak serius mengusut kasus-kasus kekerasan itu.
Jika kepolisian tak tuntas mengusut kasus Golfrid, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia harus turun tangan. Jangan biarkan kematian sang aktivis menambah tinggi tumpukan kasus kekerasan dan pelanggaran hak asasi yang tak terusut di negeri ini.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo