Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kurnia Ramadhana
Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada 2014, dalam bingkai Nawa Cita, Joko Widodo berkomitmen menolak negara lemah dengan melakukan penegakan hukum yang bebas korupsi. Narasi itu kembali ia ulangi pada masa kampanye 2019 dengan mengatakan akan menegakkan sistem hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan tepercaya. Atas janji tersebut, akhirnya rakyat memilih dan mengantarkan Jokowi menjadi Presiden Republik Indonesia. Namun apa daya, ikrar itu dilanggar. Komitmen antikorupsi dari seorang Joko Widodo saat ini layak dipertanyakan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Narasi tersebut bukan tanpa dasar. Jika disebutkan satu per satu, sudah terlalu banyak "serangan" yang dilakukan negara terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi, dari penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan yang tak kunjung menemui titik terang, pemilihan komisioner yang sarat kepentingan, hingga "pembunuhan" lembaga antirasuah itu melalui revisi Undang-Undang KPK. Tiga kejadian itu sangat erat kaitannya dengan sikap orang nomor satu di Republik, yakni Joko Widodo selaku presiden.
Tulisan ini akan mengurai peran seorang Joko Widodo sebagai pihak yang seharusnya dimintai pertanggungjawaban atas sikap negara terhadap isu pemberantasan korupsi. Pertama, Presiden terlihat membiarkan teror terhadap Novel Baswedan menguap begitu saja. Sudah lebih dari dua tahun berlalu sejak penyerangan itu terjadi pada subuh, 11 April 2017, tapi kepolisian tidak berhasil mengungkapnya. Masyarakat pun lambat laun akan mulai bosan dengan temuan yang seakan-akan bernilai "penting" padahal tidak menjawab persoalan utama sama sekali.
Pasal 8 Undang-Undang Kepolisian sudah tegas menyebutkan bahwa presiden merupakan atasan langsung Korps Bhayangkara. Jadi, Presiden seharusnya dapat memberikan tenggat yang jelas, bukan hanya mengulur-ulur waktu tanpa kepastian. Tak hanya itu, rasanya institusi kepolisian mesti diberikan sanksi oleh Presiden karena belum mampu memperoleh hasil signifikan atas penanganan perkara tersebut. Ini sekaligus menjadi bukti komitmen negara dalam menjamin keamanan setiap warga negara, termasuk pegiat antikorupsi.
Sangat disayangkan, waktu terus berlalu, Kepala Polri sudah berganti, tapi Presiden hingga saat ini hanya mampu terus berjanji tanpa realisasi. Padahal sudah sejak dulu masyarakat memberikan jalan keluar bagi Presiden atas sengkarut perkara ini, yakni membentuk tim gabungan pencari fakta independen di bawah naungan Presiden. Namun masukan itu sepertinya hanya dianggap angin lalu.
Kedua, Presiden merestui Komisioner KPK terpilih yang diduga minim integritas. Poin ini juga sebenarnya telah jauh-jauh hari diingatkan oleh masyarakat, bahkan saat proses pemilihan panitia seleksi. Saat itu, dengan sekilas melihat latar belakang panitia seleksi saja, publik dengan mudah menduga ada kepentingan saat pengangkatan sembilan orang tersebut. Anehnya lagi, Presiden justru menyetujui figur yang diduga melanggar kode etik dan tidak patuh melaporkan harta kekayaan kepada KPK untuk memimpin agenda pemberantasan korupsi selama empat tahun ke depan.
Ketiga, Presiden menolak menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang penyelamat KPK. Rasanya sudah berulang kali masyarakat mengingatkan pemerintah bahwa Undang-Undang KPK baru mempunyai banyak persoalan, baik dari sisi formal maupun substansi. Unjuk rasa mahasiswa dengan tagar #ReformasiDikorupsi sepanjang September sampai Oktober juga menuntut penyelamatan KPK. Namun Presiden tetap bergeming dan Undang-Undang KPK baru pun lahir, yang akan membuat suram iklim pemberantasan korupsi.
Dalih Presiden untuk menolak menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang penyelamat KPK sangat mudah diperdebatkan. Presiden hanya mengutarakan dirinya menghormati proses hukum yang sedang berjalan di Mahkamah Konstitusi (uji materi Undang-Undang KPK baru). Adapun Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa penerbitan peraturan pemerintah pengganti undang-undang merupakan hak prerogatif presiden, tanpa embel-embel mesti menunggu uji materi di Mahkamah. Lagi pula, jika memang Presiden berkomitmen menyelamatkan KPK, seharusnya peraturan pemerintah pengganti undang-undang telah dikeluarkan jauh-jauh hari ketika Undang-Undang KPK baru berlaku. Sampai di sini saja mudah untuk menarik kesimpulan bahwa alasan yang disampaikan Presiden untuk tidak menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang terlalu mengada-ada.
Janji-janji manis antikorupsi Joko Widodo pada masa kampanye lalu telah membuat lebih dari setengah penduduk Indonesia terbuai dan memilihnya. Janji itu telah menguap begitu saja dan masa pemerintahan Joko Widodo akan dicatat sejarah sebagai pelaku utama "pembunuhan" lembaga antikorupsi yang selama ini sangat dipercaya oleh publik.