ADA seorang India bernama Jawaharlal Nehru dan ia tidak
beragama. Ia orang besar.
Ketika ia wafat, tubuhnya dibakar di tepi Jumna, sungai suci. Di
air abu jenazahnya ditebarkan. Helikopter menaburkan kembang.
Mantera didengungkan. Juga tembakan meriam. Musik militer
melagukan sebuah lagu puja Kristen, Abide With Me.
Betapa mudahnya kematian, betapa muskilnya pernyataan duka. Ada
yang menuduh, bahwa upacara berwarna agama itu tak sesuai dengan
pandangan pemimpin yang sosialis dan sekuler itu. Tetek bengek
itu hanya untuk mengipas emosi rakyat. Tapi ada juga yang
mencela bahwa perjalanan terakhir tokoh India itu justru
melanggar ritus agama. Padahal Nehru "dilahirkan sebagai seorang
Hindu," ujar Dr. Rammanohar Lohia, wakil kaum ortodoks, dan
"hidup sebagai seorang Hindu."
Dr. Lohia, Nehru memang dilahirkan Hindu. Tapi ketika kecil
Jawaharlal punya ayah yang tak gemar membaca Upanishad. Buku
bacaan Motilal, sang bapak, berbahasa Inggris. Judulnya,
misalnya, "Suatu Risalah Praktis Tentang Bagaimana Memasang Alat
Air Panas".
Keluarga Nehru, dari kasta tinggi yang terpelajar dan kaya itu,
tak mencari di India Mekah mereka, melainkan di London.
Pandangan mereka mirip pandangan para cendekiawan Eropa yang
maju, melintasi kotak-kotak sempit. Keluarga itu tak cuma
merayakan hari raya Hindu. Di Allahabad mereka ikut berlebaran
dengan kenalan yang muslim, bila puasa usai. Dan di hari Natal,
dari rumah megah di Church Road.itu selalu datang berbakul-bakul
kembang kiriman ke gereja di sebelah . . .
Di hari tuanya Nehru menulis sebuah otobiografi. Di sana
tercantum jelas bagaimana ia membenci "agama yang
terorganisasi". Tulisnya, terus-terang, "Pemandangan dari apa
yang disebut agama, atau lebih pasti lagi agama yang
terorganisasi, di India dan di lain tempat, telah menimbulkan
rasa ngeri dalam diriku."
Baginya, agama dalam bentuknya seperti itu selalu memihak
"keyakinan buta" dan mendukung "kefanatikan" alias bigotry.
"Saya," tulisnya, "berkeinginan menyapunya sampai bersih."
Tentu bukan cuma karena masa kecilnya maka Nehru bersikap
demikian. Juga bukan karena sekolahnya di Inggris, tempat ia
mendapatkan, antara lain, ilmu eksakta dan sosialisme. Tapi
karena India. Inilah negeri, di mana bentrokan bisa panjang dan
berdarah antara penganut Islam dan orang Hindu.
Dalam indeks biografi Nehru yang ditulis Michael Edwardes dapat
dibaca bahwa deretan bentrokan itu terjadi berkali-kali sejak
Nehru muda sampai dengan menjelang ajal. Berpisahnya Pakistan
yang Islam dari India rupanya tak kunjung membereskan pertikaian
itu. "Anda sekalian toh tahu betapa jauh racun itu merasuki kita
sampai ke inti," kata Nehru di tahun 1957.
Tapi bagaimana menangkal racun itu? Nehru tak mampu menjawab. Ia
sendiri nampaknya lebih berharap konfrontasi akan berlangsung di
medan lain. Perjuangan yang sebenarnya di India kini, begitulah
tulisnya, "bukanlah antara kebudayaan Hindu dan kebudayaan
Islam, tapi antara keduanya dengan kebudayaan ilmu yang
menaklukkan, dari peradaban modern."
TAK sukar menebak di mana Nehru mempertaruhkan harap. Dia tak
pernah punya respek pada agama-agama. Tapi untung bagi
agama-agama bahwa India bukan hanya oleh Nehru didirikan.
Gandhi, seorang tokoh jenis lain dalam cerita sedih ini, juga
menderita oleh rangkaian bentrokan antarumat. Namun ia seorang
religius yang sanggup berkata, dengan tulus, "Rasa hormatku
kepada iman yang lain sama seperti kepada imanku sendiri."
Gandhi ditembak mati oleh seorang fanatik Hindu di tahun 1948,
dan kita tambah tahu betapa bisa mengerikannya keyakinan
manusia. Mungkin itulah sebabnya ketika Nehru wafat 26 Mei 1964,
ia tak berbisik--seperti Gandhi-"Ya Tuhan Ya Tuhan". Tapi apakah
yang diketahui manusia Esoknya gempa mengguncang New Delhi.
Sebulan sebelumnya penujum telah meramal orang besar itu akan
pergi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini