Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Jawaharlal nehru benci agama

Jawaharlal nehru dalam otobiografinya menyatakan benci agama yang terorganisasi. agama seperti itu selalu memihak keyakinan buta dan kefanatikan. agama baginya menimbulkan rasa ngeri.

3 April 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADA seorang India bernama Jawaharlal Nehru dan ia tidak beragama. Ia orang besar. Ketika ia wafat, tubuhnya dibakar di tepi Jumna, sungai suci. Di air abu jenazahnya ditebarkan. Helikopter menaburkan kembang. Mantera didengungkan. Juga tembakan meriam. Musik militer melagukan sebuah lagu puja Kristen, Abide With Me. Betapa mudahnya kematian, betapa muskilnya pernyataan duka. Ada yang menuduh, bahwa upacara berwarna agama itu tak sesuai dengan pandangan pemimpin yang sosialis dan sekuler itu. Tetek bengek itu hanya untuk mengipas emosi rakyat. Tapi ada juga yang mencela bahwa perjalanan terakhir tokoh India itu justru melanggar ritus agama. Padahal Nehru "dilahirkan sebagai seorang Hindu," ujar Dr. Rammanohar Lohia, wakil kaum ortodoks, dan "hidup sebagai seorang Hindu." Dr. Lohia, Nehru memang dilahirkan Hindu. Tapi ketika kecil Jawaharlal punya ayah yang tak gemar membaca Upanishad. Buku bacaan Motilal, sang bapak, berbahasa Inggris. Judulnya, misalnya, "Suatu Risalah Praktis Tentang Bagaimana Memasang Alat Air Panas". Keluarga Nehru, dari kasta tinggi yang terpelajar dan kaya itu, tak mencari di India Mekah mereka, melainkan di London. Pandangan mereka mirip pandangan para cendekiawan Eropa yang maju, melintasi kotak-kotak sempit. Keluarga itu tak cuma merayakan hari raya Hindu. Di Allahabad mereka ikut berlebaran dengan kenalan yang muslim, bila puasa usai. Dan di hari Natal, dari rumah megah di Church Road.itu selalu datang berbakul-bakul kembang kiriman ke gereja di sebelah . . . Di hari tuanya Nehru menulis sebuah otobiografi. Di sana tercantum jelas bagaimana ia membenci "agama yang terorganisasi". Tulisnya, terus-terang, "Pemandangan dari apa yang disebut agama, atau lebih pasti lagi agama yang terorganisasi, di India dan di lain tempat, telah menimbulkan rasa ngeri dalam diriku." Baginya, agama dalam bentuknya seperti itu selalu memihak "keyakinan buta" dan mendukung "kefanatikan" alias bigotry. "Saya," tulisnya, "berkeinginan menyapunya sampai bersih." Tentu bukan cuma karena masa kecilnya maka Nehru bersikap demikian. Juga bukan karena sekolahnya di Inggris, tempat ia mendapatkan, antara lain, ilmu eksakta dan sosialisme. Tapi karena India. Inilah negeri, di mana bentrokan bisa panjang dan berdarah antara penganut Islam dan orang Hindu. Dalam indeks biografi Nehru yang ditulis Michael Edwardes dapat dibaca bahwa deretan bentrokan itu terjadi berkali-kali sejak Nehru muda sampai dengan menjelang ajal. Berpisahnya Pakistan yang Islam dari India rupanya tak kunjung membereskan pertikaian itu. "Anda sekalian toh tahu betapa jauh racun itu merasuki kita sampai ke inti," kata Nehru di tahun 1957. Tapi bagaimana menangkal racun itu? Nehru tak mampu menjawab. Ia sendiri nampaknya lebih berharap konfrontasi akan berlangsung di medan lain. Perjuangan yang sebenarnya di India kini, begitulah tulisnya, "bukanlah antara kebudayaan Hindu dan kebudayaan Islam, tapi antara keduanya dengan kebudayaan ilmu yang menaklukkan, dari peradaban modern." TAK sukar menebak di mana Nehru mempertaruhkan harap. Dia tak pernah punya respek pada agama-agama. Tapi untung bagi agama-agama bahwa India bukan hanya oleh Nehru didirikan. Gandhi, seorang tokoh jenis lain dalam cerita sedih ini, juga menderita oleh rangkaian bentrokan antarumat. Namun ia seorang religius yang sanggup berkata, dengan tulus, "Rasa hormatku kepada iman yang lain sama seperti kepada imanku sendiri." Gandhi ditembak mati oleh seorang fanatik Hindu di tahun 1948, dan kita tambah tahu betapa bisa mengerikannya keyakinan manusia. Mungkin itulah sebabnya ketika Nehru wafat 26 Mei 1964, ia tak berbisik--seperti Gandhi-"Ya Tuhan Ya Tuhan". Tapi apakah yang diketahui manusia Esoknya gempa mengguncang New Delhi. Sebulan sebelumnya penujum telah meramal orang besar itu akan pergi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus