Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Juwono orang sipil pertama yang memimpin Departemen Pertahanan (di masa pemerintahan Abdurrahman Wahid dan Bambang Yudhoyono). Ia lambang supremasi sipil negeri ini. Tatkala pejabat eselon I Departemen Pertahanan--yang kebanyakan berpangkat jenderal-- merencanakan pembelian kendaraan dinas bernilai hampir Rp 10 miliar, ia marah besar.
Kita tahu medan berat berada dihadapannya: ratusan unit usaha, sebagian berbentuk yayasan, sebagian lagi koperasi; dan sebagian tumbuh subur bak gurita, sebagian lagi menunggu mati, harus ia pangkas. Ada Yayasan Kesejahteraan Sosial Dharma Putra Kostrad, unit usaha militer pertama yang tumbuh pesat. Dengan dukungan kelompok Salim dan konglomerat lain, kini yayasan itu memiliki saham di Mandala Airlines, Bank Windu Kentjana, Bank Panin, PT Toyota Astra Motors, dan lain-lain. Ada juga yang nasibnya seperti unit-unit usaha TNI Angkatan Laut, sosok yang telah menutup 20 dari 26 perusahaannya. Ya, nasib perusahaan-perusahaan itu memang berbeda, tapi minimal ada satu persamaannya: kurang transparan.
Kita tahu pula, negara luas dengan anggaran militer super cekak ini akhirnya melahirkan kompromi, toleransi, kebijakan-kebijakan yang tak sejalan dengan undang-undang, tapi diyakini memberikan solusi sementara. Solusi untuk menutup ”lubang besar” yang semenjak 1990-an menguntit dunia pertahanan kita, yakni 70 persen anggaran TNI yang tak tertutupi dana APBN. Dalam bayangan Jenderal Endriartono Sutarto, Panglima TNI, misalnya, TNI yang baik membutuhkan sekitar Rp 44-46 triliun; itu kebutuhan ideal yang harus tunduk pada kenyataan bahwa pada akhirnya pemerintah cuma mampu menganggarkan Rp 20an triliun.
Sejarah bergerak, reformasi terjadi, tapi kompromi dan toleransi itu semakin jelas memperlihatkan ekses-eksesnya. Paling tidak, paradoks itu ada di depan mata: bisnis militer berlangsung, tapi para prajurit tetap tinggal di rumah-rumah petak, dengan dinding yang tak pernah tersentuh plesteran semen. Mereka mencoba bertahan, hidup di dua alam berbeda: siang mengenakan pakaian dinas yang gagah, baret kesatuan dipasang miring, namun di malam hari berburu penumpang bersama puluhan tukang ojek di ujung gang, atau menjadi centeng, pelindung perusahaan yang membayarnya.
Sigmund Freud, Bapak Psikoanalisis yang mempopulerkan ”alam bawah sadar”, tentu mudah sekali menjelaskan mengapa sebagian tentara kita sanggup bertindak brutal terhadap masyarakat—tempat mereka berasal. Mekanisme displacement (pengalihan) telah mendorong mereka melampiaskan kekesalan kepada sasaran yang lemah. Dengan kata lain, karena tradisi dan hierarki militer menghalang-halangi mereka mengungkap kejengkelan kepada atasan yang hidup dalam keberlimpahan, amarah pun diarahkan kepada buruh pabrik atau mahasiswa yang berani berdemonstrasi.
Ya, toleransi itu berbuntut panjang. Tapi sekarang di tangan Juwono ada UU dan keputusan presiden yang memberinya wewenang menertibkan usaha aparat, dan ia bergerak dengan agenda yang padat, terutama melibatkan audit bisnis militer.
Di Departemen Pertahanan, ia menertibkan bisnis-bisnis militer yang nilainya di atas Rp 5 miliar, seraya mendata semua usaha militer demi menyingkap karakter dan profil perusahaan-perusahaan itu. Lantas, struktur modal berikut performa—semua langkah yang bermuara sebelum 2009—saat semua perusahaan itu direncanakan bergabung menjadi sebuah BUMN atau perusahaan induk.
Ini amanat rakyat di bahu Juwono Sudarsono. Ia jelas bukan Don Quixote de la Mancha—paling tidak, itu sebuah doa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo