Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kongres PDI Perjuangan mulai digelar awal pekan ini di Grand Bali Beach Hotel, Sanur, Bali, dalam suasana yang berbeda dengan kongres pertama tahun 1998 di tempat yang sama. Dulu, PDIP adalah partai sempalan dari PDI (tanpa embel-embel) yang dipimpin Soerjadi. PDIP tentu saja tidak diakui pemerintah. Keberanian Megawati memimpin partai perlawanan itu membuat masyarakat bagaikan terkena histeria. Kongres pertama PDIP itu dibuka di lapangan sepak bola yang konon dihadiri hampir sejuta manusia, yang membuat Sanur, Denpasar, Kuta menjadi sesak. Keamanan pun dibantu oleh pecalang (aparat keamanan adat Bali) dan warga Bali menyambut secara emosional kemunculan Megawati.
Sekarang, Kongres PDIP adem ayem. Jangankan bendera bergambar Megawati, bendera berlambang Moncong Putih pun tidak seramai dulu. Telah terjadi pergeseran di masyarakat bawah dalam memandang keberadaan partai, dan ini tak cuma terhadap PDIP, dan juga tak hanya terjadi di Bali. Rakyat di seluruh Nusantara semakin cerdas. Mereka mulai kritis untuk mendukung mana partai yang membela kepentingan rakyat dan mana partai yang hanya menyambangi rakyat menjelang pemilu tetapi menjauh setelah pemilu lewat.
PDI Perjuangan seharusnya menangkap fenomena ini. Mereka tak bisa lagi hanya mengandalkan emosi massa dan karisma seorang tokoh. Apalagi masih menggunakan cara primitif, misalnya mendukung seseorang dengan cap jempol darah. PDIP harus banting setir, dari partai tradisional yang menggunakan simbol-simbol kuno menjadi partai modern yang bertumpu pada kader.
Sayangnya harapan ini masih jauh dai kenyataan. Dalam Kongres PDIP di Bali, Megawati masih terlihat begitu ngotot mempertahankan jabatannya sebagai ketua umum untuk yang ketiga kalinya. Memang peserta kongres yang paling berhak untuk memilih siapa pemimpinnya. Namun, ada keluhan peserta kongres diseleksi demikian ketat, hanya mereka yang jelas mendukung Megawati yang lolos ke kongres. Seleksi itu, misalnya, melalui rapat kerja khusus di tingkat cabang dan daerah yang dihadiri Megawati.
Ini bertentangan dengan etika politik modern, yang menyebut kegagalan pemimpin partai dalam sebuah pemilu harus disertai langkah pertanggungjawaban berupa pengunduran diri. Amien Rais adalah contohnya. Dia gagal membesarkan PAN pada pemilu tahun lalu, ia juga gagal pada pemilu presiden. Lalu, dengan legawa ia mengundurkan diri dari Ketua Umum PAN. Ini membuka kesempatan bagi PAN untuk memperoleh pemimpin yang lebih menjanjikan di masa depan.
Megawati gagal membawa PDIP menang dalam pemilu tahun lalu. Ia pun kalah dalam dua kali putaran pemilu presiden. Jabatan puncak di DPR maupun MPR juga lepas dari PDIP. Tetapi kenapa sekarang ini justru ia menggebu-gebu ingin mempertahankan jabatannya itu, bahkan ada kesan yang tersirat, ia berambisi menjadi calon presiden lagi pada Pemilu 2009.
Ambisi itu sah-sah saja. Tak ada larangan sepanjang AD/ART partai tidak membatasi masa jabatan seseorang. Namun, akan menjadi elok jika ambisi itu ditempuh dengan cara yang demokratis, tidak dengan membatasi peserta kongres. Tentunya juga memberikan peluang bagi kader lain untuk mencalonkan diri, dan bertarung dalam kongres dengan cara yang sehat, misalnya mengadu program atau memaparkan pemikiran segar demi masa depan partai. Sudah saatnya Si Moncong Putih menjadi partai modern. Tempat para kader ditempa untuk menjadi pemimpin bangsa yang sesuai dengan tantangan zamannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo