Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Christianto Wibisono
MEMPERJUANGKAN suatu Indonesia Incorporated yang tangguh pernah digagas Pusat Data Bisnis Indonesia (PDBI) sejak 1980 hingga 2000. Tradisi ini kemudian diteruskan oleh Global Nexus Institute, lembaga penerus PDBI, dengan cara memantau dari dekat Konferensi Tingkat Tinggi G-20 ketiga di Pittsburgh, Amerika Serikat, yang baru saja berlalu dan dihadiri juga oleh Presiden Yudhoyono.
Lembaga yang saya pimpin ini telah mengkaji secara serius peluang emas momentum G-20 itu untuk sebesar-besarnya kepentingan nasional. Dalam waktu dekat, lembaga tersebut akan meluncurkan kajian dengan judul seperti di atas sebagai bekal para pengambil keputusan politik, bisnis, dan masyarakat madani untuk memahami secara lebih menyeluruh makna peluang penting G-20 bagi perjalanan sejarah bangsa Indonesia.
Indonesia kini berada pada persilangan sejarah berakhirnya era Pax Americana menuju Pax Consortis G-20. Negara kita ”beruntung” termasuk di dalamnya. Kita harus melihat peluang sejarah ini secara metapolitik. Imperium Pax Nederlandica menjadi imperium terkaya karena De Heeren 17 menguasai VOC yang memonopoli sumber daya alam Hindia Belanda. Kini Indonesia menjadi anggota ”The Board of 20” yang mewakili 90 persen total PDB dunia, 80 persen perdagangan dunia, dan dua pertiga penduduk dunia.
Dengan demikian, bukan mustahil kita bisa ikut mengarahkan perkembangan dunia yang kini tak mungkin lagi dimonopoli oleh Pax Americana atau pendahulunya, Pax Britannica. Apalagi pada abad ke-21 ini tampaknya tidak ada tempat bagi Pax sempit lain seperti Pax Germanica, Pax Japonica, Pax Sovietica, Pax Sinica, ataupun Pax Asiatica, melainkan harus melalui forum kerja sama multipolar seperti G-20.
Sejak terpuruknya ekonomi Amerika Serikat karena ditelan oleh sektor derivatif fiktif yang menyedot dana US$ 50 triliun (yang hampir setara dengan total PDB dunia 2007, US$ 70 triliun), G-20 merupakan emerging coalition untuk mengelola dunia secara lebih proporsional. KTT G-20 di Pittsburgh telah mengukuhkan bahwa forum G-20 ini akan menjadi forum utama kerja sama internasional pengganti G-8 yang didominasi negara maju dan OECD yang didominasi negara kaya.
Karena itu, struktur pengambilan putusan kebijakan kabinet baru nanti harus disesuaikan dengan tantangan einmalig yang dihadapi berhubung agenda perombakan Tata Keuangan Ekonomi Global di dalam konteks G-20. Untuk kesiapan transformasi geopolitik itu, Dewan Ketahanan Nasional dan Lembaga Ketahanan Nasional layak dimerger sehingga merupakan dapur, think tank, dan database bagi presiden dan kabinet untuk memantau kompleksitas geopolitik secara komprehensif, integral, dan paripurna. Hasilnya kelak mirip dengan National Security Council di Gedung Putih, tapi bukan hanya melulu militer, melainkan strategi geopolitik, yang secara tradisional diduduki oleh pakar geopolitik seperti Henry Kissinger.
Konsentrasi dari dua lembaga yang telah dimerger ini adalah memberdayakan dan mengoptimalkan posisi Indonesia di G-20. Hal ini harus disinergikan dengan rencana untuk memasukkan huruf I (Indonesia) dalam blok BRIC menjadi BRICI. Juga mengkaji efisiensi blok-blok lain yang telanjur tumbuh, seperti ASEM, APEC, dan konsolidasi ASEAN sebagai blok perdagangan dan replika Uni Eropa dalam satu generasi. Targetnya ialah memulihkan kepemimpinan Indonesia sebagai jangkar ASEAN, sekaligus memperkuat posisi Indonesia di BRIC menjadi BRICI dan G-20.
Indonesia pernah memegang rekor kabinet 100 menteri di akhir pemerintahan Bung Karno. Hampir semua direktur jenderal jadi menteri. Kita kini punya undang-undang yang membatasi jumlah menteri sampai maksimal 34 orang, termasuk menteri koordinator, menteri negara, dan menteri muda. Amerika Serikat hanya punya 15 menteri, tapi Gedung Putih dilengkapi dengan National Security Adviser, National Economic Council, OMB, dan lain-lain. Negara maju seperti Jepang, Jerman, Inggris, dan Prancis juga membatasi jumlah menteri walaupun sistem parlementer memang bisa membengkakkan jumlah menteri lebih besar dari Amerika.
Dengan kata lain, jika SBY-Boediono sekadar mengulangi kabinet SBY-JK, kemenangan meyakinkan duet ini bakal mubazir dan lenyap bagaikan hadiah Nobel yang akhirnya melayang dari tangan kita. Perdamaian Aceh itu memang layak, pantas, dan serius untuk diapresiasi dan mendapat hadiah Nobel. Hanya ”gol bunuh diri” kasus Tibo-Munir yang kemudian menendangnya, lalu mengalihkan penghargaan itu ke Bangladesh, ke pangkuan Muhammad Yunus, peraih Nobel Perdamaian 2006.
Kabinet Transformasi SBY-Boediono
Para pakar telah memberikan pelbagai komentar tentang perlunya Presiden Yudhoyono membentuk kabinet tanpa terlalu bergantung pada balas budi partai gurem yang akan menghambat cita-cita untuk menciptakan warisan pemerintahan yang membuat sejarah.
Meskipun Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara memuat batasan jumlah menteri anggota kabinet sampai maksimal 34 orang, sebetulnya SBY dengan bekal mandat 60 persen suara rakyat harus berani membentuk kabinet yang ramping dan efisien.
Pakar manajemen Davide Castelvecchi pernah menulis artikel bagus dalam majalah Science, 9 Mei 2008: ”The Undeciders: More Decision Makers Bring Less Efficiency”. Di dalam artikel tersebut, Castelvecchi menyinggung ihwal studi empiris kabinet di seluruh dunia. Dia katakan, ”The size of the cabinet varies, although most contain around ten to twenty ministers. Researchers have found an inverse correlation between a country’s level of development and cabinet size: the more developed a country is, the smallers is its cabinet.”
Kita menghadapi tantangan transformasi geopolitik yang memerlukan transformasi kekuatan nasional Indonesia secara serius dan kompak. Presiden dan kabinetnya harus mempunyai think tank, database, otak, dan dapur yang mempersiapkan bahan untuk diolah siap saji oleh para menteri sebagai masukan lintas sektoral, integratif, dan menyeluruh terhadap masalah yang mereka hadapi. Ini dikoordinasi oleh Executive Office of the President yang akan mengamankan strategi besar dan integrasi secara komprehensif apa yang disebut sebagai 3 DEF: Democracy, Development and Dignity, Economy, Energy and Ecology, atau Finance, Fuel and Food. Keterkaitan antara demokrasi, pembangunan harkat martabat, dan pendekatan komprehensif lintas sektoral merupakan order of the day—agar hutan tropis menjadi aset dan kita punya leverage dalam ekonomi perdagangan emisi karbon dan bukan sekadar penggembira.
Seharusnya kita mampu melakukan kapitalisasi dan optimalisasi peran Indonesia di dalam G-20 ini. Namun, akibat situasi politik dalam negeri dalam suksesi kepresidenan, Indonesia kurang mampu dan kehilangan momentum memanfaatkan secara cerdas dan cermat reformasi Dana Moneter Internasional (IMF) sebagai hasil komitmen G-20 bagi kepentingan nasional Indonesia secara efektif. IMF yang telah dirombak dan tidak lagi memberlakukan conditionality ala krisis moneter 1998 ini telah membantu negara-negara anggotanya yang mengalami kesulitan budgeter dengan jendela baru, Flexible Credit Line (FCL), bersuku bunga rendah 2,84 persen.
Karena psikose, paranoid dari sebagian elite politik yang hanya bisa menghamburkan sentimen xenophobia, anti-asing, anti-Barat, anti-IMF, Indonesia kehilangan peluang untuk memanfaatkan fasilitas FCL tersebut. Padahal beberapa negara yang jauh lebih tangguh daripada kita, faktanya, tidak malu-malu memanfaatkan fasilitas kredit lunak ini. Setelah Meksiko, Polandia, dan Kolombia, yang menyusul dalam daftar antrean ialah Brasil, Cek, Cile, dan Korea Selatan. Bahkan Singapura pun berminat memanfaatkan jendela FCL.
Ini hanya salah satu contoh kebijakan politik masa lalu, ketika incumbent tidak mempunyai posisi mayoritas di ”parlemen” yang masih berlangsung dalam transisi ke era masa jabatan kedua. Michael Camdessus sedakep di depan Soeharto. Kini SBY-Boediono seharusnya bisa bersedekap di depan sidang G-20, untuk ikut mengarahkan forum bergengsi ini bersama dengan rekan-rekan setara. Kita tidak bermimpi menjadi pemimpin dunia, karena pada abad ke-21 ini tidak bisa lagi ada Pax Chauvinis, melainkan harus melalui Pax Humanica, Pax Consortis.
Inilah latar belakang perjalanan ke Pittsburgh dan Harvard yang tecermin dalam pidato Presiden di Kennedy School of Government tentang Harmony Among Civilizations. Indonesia bisa berperan dalam perubahan geopolitik dan geoekonomi secara proaktif. Presiden telah bergerak cepat dari Pittsburgh ke Harvard mendahului zaman dengan teori Geopolitics of Emotion Dominique Moisi yang direspons secara proaktif di Boston. Sayangnya, elite politik kita di Jakarta masih terjebak pada paradigma lama, ”pendemo abadi” yang tidak assertive dalam kancah global, tapi sibuk ”politicking” yang justru melemahkan kekuatan Indonesia Inc.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo