Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Kampanye Anti-Dana Haram

8 Februari 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Todung Mulya Lubis *) Ketua Dewan Pengurus Transparency International-Indonesia

BANYAK negara yang kaya sumber daya alam tapi mayoritas penduduknya miskin. Mereka tak kebagian berkah, karena hasil kekayaan alam tersebut dikuasai sejumlah kecil elite penguasa dan pengusaha. Keadaan ini sering disebut sebagai paradox of plenty, suatu ungkapan yang sangat tepat untuk menggambarkan megakorupsi yang terjadi di banyak negara miskin. Bayangkan, 12 dari negara-negara penghasil sumber daya alam yang kaya serta 6 dari negara yang memperoleh pendapatan dari minyak bumi, oleh Bank Dunia, digolongkan sebagai highly indebted poor countries, negara-negara miskin yang dililit utang.

Penyebab utama adanya paradox of plenty adalah tak adanya transparansi. Perusahaan-perusahaan pertambangan minyak, gas, dan mineral lainnya tak mengungkapkan pembayaran yang mereka lakukan kepada pemerintah dan pejabat pemerintahan. Uang yang seharusnya mengalir ke program pengentasan masyarakat miskin masuk ke pundi-pundi para pejabat korup di berbagai bank di luar negara mereka. Uang tersebut sebagian digunakan untuk membeli persenjataan untuk mengamankan arus dana haram hasil korupsi. Jangan heran jika di banyak negara korup tersebut, di samping tentara resmi, ada pula tentara bayaran yang dipersenjatai dengan senjata-senjata lebih canggih ketimbang tentara biasa.

Angola, sebuah negara di kawasan Sahara, Afrika, merupakan contoh yang menarik sebagai penghasil kedua terbesar minyak bumi di kawasan tersebut. Tiga perempat penduduknya hidup dalam kemiskinan absolut di mana setiap tiga menit seorang bayi meninggal karena kekurangan makan. Investigasi yang diadakan oleh organisasi Global Witness mengungkapkan bahwa dalam lima tahun terakhir US$ 1 miliar per tahunnya mengalir ke pundi-pundi penguasa korup di negeri itu. Untuk diketahui, US$ 1 miliar tersebut sama dengan sepertiga dari keseluruhan pendapatan nasional Angola. Rakyat Angola tidak mengetahui ini karena perusahaan minyak di Angola tak mengungkapkan pembayaran yang mereka lakukan kepada para penguasa korup Angola.

Contoh lain Nigeria, negara yang juga kaya-raya dengan penghasilan minyak bumi. Di Nigeria, diktator Sani Abacha, seorang jenderal tentara, mencuri lebih dari US$ 4 miliar dari penghasilan minyak sampai saat kematiannya pada 1998. Rakyat Nigeria pun tak tahu mengenai hal ini karena tak ada pengungkapan pembayaran kepada pemerintah dan pejabat pemerintahan. Sementara itu, di Equatorial Guinea, sekitar 90 persen dari pendapatan tahunan minyak yang berjumlah US$ 300 juta-US$ 500 juta mengalir ke rekening presiden seumur hidup Teodoro Obiang Nguema Mbasogo. Kolumnis Ken Silvertein di Los Angeles Times setahun yang lalu dengan sangat tepat menulis artikel yang berjudul Oil Boom Enriches African Rulers.

Menyimak pengalaman pahit di beberapa negara Afrika tersebut, di kalangan aktivis anti-korupsi dunia muncul gagasan yang disebut sebagai "Publish What You Pay". Transparansi harus ditegakkan sehingga ruang korupsi akan semakin kecil. Teknik akuntan yang banyak dilakukan untuk memanipulasi laporan keuangan tampaknya harus dilawan dengan kriminalisasi yang tanpa kompromi, dan negara-negara tempat asal perusahaan minyak harus lebih tegas dan kejam menghukum perusahaan-perusahaan yang tidak mempublikasi pembayaran di luar hukum (illegal payment) yang dilakukan untuk memperkaya para pejabat korup. Selama ini kita masih melihat bahwa pemerintahan negara asal perusahaan pertambangan tersebut masih bersifat kompromistis, meski sesungguhnya ada undang-undang semacam Foreign Corrupt Practice Act yang di Amerika sudah lama berlaku.

Di kalangan negara OECD (Organization of Economic Cooperation and Development Countries) pun ada ketentuan serupa yang mengkriminalkan pembayaran di luar hukum. Tapi, pertanyaannya, sejauh mana monitoring dan "enforcement" terhadap pelanggaran pembayaran di luar hukum ini dilakukan? Secara diam-diam, kepentingan ekonomi mengalahkan pemberlakuan hukum, atau para penegak hukum pura-pura menutup mata mereka.

Persoalan yang dihadapi oleh perusahaan-perusahaan pertambangan ini adalah apakah pengungkapan pembayaran di luar hukum tersebut harus bersifat wajib atau sukarela? Kelihatannya persoalannya sederhana, tapi dalam praktek ternyata tidak mudah karena begitu banyak kepentingan ekonomi yang dipertaruhkan. Pendukung kampanye "Publish What You Pay" menghendaki sifat pengungkapan itu wajib sehingga dengan demikian korupsi akan semakin berkurang. Risikonya, hilangnya bisnis yang tengah berjalan karena pasti izin perusahaan pertambangan tersebut akan dicabut.

Bagaimana jika sukarela? Ternyata hal ini pun tidak mudah. Perusahaan raksasa BP, misalnya, pada tahun 2001 secara sukarela mengungkapkan pembayaran terhadap pemerintah Angola (mungkin tidak sepenuhnya termasuk pembayaran di luar hukum, atau setidaknya tak secara eksplisit tecermin dalam pengungkapan tersebut). Apa yang terjadi? Pemerintah Angola, melalui perusahaan minyak negara Angola, marah besar dan mengancam akan menghentikan seluruh kerja sama bisnis pertambangan dengan BP.

Apakah kampanye Publish What You Pay harus berhenti karena kegagalan tersebut? Jawabnya jelas tidak. Semua negara yang bertekad memberantas korupsi harus bergandengan tangan mewajibkan semua perusahaan tanpa kecuali untuk mengungkapkan pembayaran yang mereka lakukan, baik itu kepada pemerintah maupun pejabat pemerintah tempat mereka berbisnis. Transparansi inilah yang akan membantu rakyat miskin di Angola, Nigeria, Equatorial Guinea, dan juga Indonesia tentunya dapat secara bertahap terlepas dari kungkungan kemiskinan yang melilit mereka. Hanya, hal ini mensyaratkan semua perusahaan pertambangan dan perusahaan lainnya yang selama ini melakukan pembayaran di luar hukum untuk bekerja sama. Jika perusahaan-perusahaan tersebut tidak kompak, pemerintah-pemerintah korup di mana pun akan dapat mengadu domba sesama perusahaan yang berbisnis di negara mereka.

Kampanye Publish What You Pay ini belum begitu bergema di Indonesia, walaupun Kamar Dagang dan Industri sudah mencanangkan kampanye anti-suap beberapa waktu lalu. Dari segi niat, apa yang dilakukan oleh Kadin sudah merupakan sesuatu yang sangat berarti. Hanya, sejauh mana kampanye itu dapat diterjemahkan dalam tindakan nyata? Pertanyaan ini penting karena banyak sekali perusahaan di Indonesia yang pada zaman Orde Baru dan zaman Orde Reformasi ini sudah terbiasa dengan budaya suap, uang pelicin, mark-up, dan kick-back. Mengubah budaya korupsi ini jelas tak semudah membalikkan telapak tangan.

Pengalaman saya sebagai konsultan hukum sering mengindikasikan bahwa mewakili kepentingan perusahaan swasta nasional jauh lebih sulit ketimbang mewakili kepentingan perusahaan asing. Kebanyakan perusahaan nasional melihat bisnis, termasuk sengketa bisnis, sebagai sesuatu yang mesti dimenangi dengan segala macam cara. Politik menghalalkan segala cara berlaku dengan sempurna sehingga kita dipaksa untuk bermain dalam irama korupsi, kolusi, dan nepotisme. Ini berbeda dengan perusahaan-perusahaan asing, yang kebanyakan betul-betul main sesuai dengan aturan. Kalah atau menang adalah risiko yang harus dihadapi. Memang menang itu amat indah, tetapi menang dengan cara-cara yang sah dan sesuai dengan hukum jauh lebih penting dari sekadar asal menang. Karena itulah saya lebih banyak mewakili kepentingan perusahaan-perusahaan asing yang lebih memberikan perasaan aman dan damai di hati.

Indonesia sudah memiliki begitu banyak perangkat perundangan tentang suap dan korupsi. Malah belum lama ini sebuah lembaga pemberantas korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sudah dibentuk dengan segala macam kewenangannya yang luar biasa. Di lingkungan pasar modal, kita juga mengenal kewajiban disclosure yang mengharuskan transparansi itu dilakukan. Tapi banyak orang berpendapat bahwa kualitas dan kuantitas korupsi bukannya berkurang, malah bertambah. Semua perangkat anti-korupsi sepertinya tak berdaya karena satu demi satu kasus korupsi terbongkar. Yang paling mutakhir adalah korupsi di sekitar skandal pembobolan Rp 1,7 triliun di Bank BNI, yang konon melibatkan sejumlah nama besar.

Menyimak pengalaman hancurnya Enron dan World Com di Amerika, kita tampaknya harus mulai menginvestigasi kolusi antara eksekutif perusahaan, akuntan, dan konsultan hukum yang sangat terbiasa dengan kolusi dan rekayasa. Perangkat perundangan kita tampaknya tak mampu menembus dinding kolusi dan rekayasa yang sudah demikian canggih dan sempurna. Padahal, kalau kita sudi meneliti lebih mendalam, bukan mustahil akan banyak manipulasi didapatkan. Karena itu, pengawasan ketat terhadap profesi akuntan dan konsultan hukum harus segera dilakukan. Kalau tidak, kewajiban disclosure seperti yang berlaku di pasar modal tak akan banyak artinya karena yang diungkapkan itu tidak berbicara apa-apa.

Perusahaan-perusahaan di luar bursa memang tak dikenai kewajiban disclosure, dan jumlah perusahaan ini bukan main banyaknya. Saya kira sudah waktunya ada pengaturan mengenai disclosure ini sehingga kita bisa memulai pemberantasan korupsi yang betul-betul sudah merusak tatanan masyarakat kita. Dalam konteks ini, kampanye Publish What You Pay seperti yang dilakukan di Eropa dan Amerika sekarang ini tampaknya harus juga kita lakukan. Kampanye anti-suap yang dimulai oleh Kadin tentu suatu hal yang menggembirakan, tetapi Kadin mesti juga mengadopsi kampanye Publish What You Pay untuk semua perusahaan agar kita bisa menciptakan iklim bisnis yang bersih dan sehat. Pemerintah bersama civil society sepantasnya bahu-membahu menggelorakan kampanye anti-dana haram ini. Jangan lihat ini sebagai obat yang cespleng, tetapi ini adalah langkah besar dengan tujuan yang besar dan mulia. Mari kita mulai.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus