Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Perlukah UU Ketenagalistrikan Diamendemen?

8 Februari 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Fabby Tumiwa *)Koordinator Working Group on Power SectorRestructuring

UNDANG-Undang Ketenagalistrikan tengah diuji (judicial review) di Mahkamah Konstitusi. Undang-Undang Nomor 20 yang disahkan pada 2002 ini akan menjadi batu ujian pertama untuk melihat kompetensi dan kredibilitas Mahkamah Konstitusi dalam memeriksa undang-undang yang bagi sebagian masyarakat dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 itu.

Undang-undang ini lahir sebagai buah dari krisis ekonomi, menggantikan UU No. 15/1985. Dari persepsi organisasi nonpemerintah, undang-undang ini membawa "dosa sejarah" karena pembuatannya bernuansa donor driven serta merupakan persyaratan pinjaman—diatur dalam letter of intent—dari lembaga keuangan internasional seperti Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Pembangunan Asia (ADB), dan Bank Dunia.

Pembuatan UU Ketenagalistrikan itu merupakan bagian dari paket pinjaman struktural untuk Power Sector Restructuring Program pada 1999 sebesar US$ 900 juta, yang sebagian besar berasal dari ADB, JEXIM (Jepang), KfW (Jerman), dan USAID (Amerika Serikat). Perkara dosa tadi juga karena isi undang-undang tersebut yang bagi sebagian orang terlalu liberal, mendorong kompetisi dan privatisasi di sektor listrik di Indonesia—sektor yang seharusnya membutuhkan regulasi dan campur tangan pemerintah karena dianggap "menguasai hajat hidup orang banyak".

Bahwa listrik merupakan "cabang produksi yang penting bagi negara, dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai negara" seperti disebut dalam Pasal 33 ayat 2 UUD 1945 tidak perlu dipersoalkan karena penjelasan umum UU No. 20/2002 dan UU No. 15/1985 mengakui hal itu. Pengertian "dikuasai oleh negara" menurut pakar hukum tata negara, Harun Alrasid, berarti "dimiliki oleh negara" sesuai dengan konteks historisnya. Dengan demikian UU No. 20/2002 secara substansial bertentangan dengan Pasal 33.

Selain pelanggaran konstitusi, UU ini memiliki sejumlah kelemahan yang berpotensi menciptakan masalah di kemudian hari. Undang-undang tersebut mensyaratkan paling lambat dalam lima tahun setelah ditetapkan, sudah ada wilayah yang menerapkan kompetisi listrik terbatas di sisi pembangkitan. Artinya, kompetisi harus terjadi selambat-lambatnya tahun 2007. Dalam dokumen Blueprint Implementasi UU Kelistrikan, pemerintah merencanakan menjadikan Batam sebagai wilayah uji coba, disusul Jawa, Madura, dan Bali pada 2007.

Masalahnya, syarat utama untuk terjadinya kompetisi yang efektif, yaitu adanya kapasitas listrik berlebih (excess capacity), tidak dapat terpenuhi di Jawa, Madura, dan Bali. Dengan tingkat pertumbuhan permintaan listrik sembilan persen per tahun dan iklim investasi listrik saat ini, kapasitas terpasang di kawasan ini pada 2007 maksimal hanya 24.000 megawatt, sementara beban puncak rata-rata mencapai 19.000 megawatt. Dengan demikian daya cadangan hanya 5.000 megawatt (20 persen). Padahal, untuk berkompetisi, paling tidak dibutuhkan lebih dari 30 persen excess capacity. Batam juga belum memungkinkan terjadinya kompetisi.

Soal berikutnya berkaitan dengan wewenang dan tanggung jawab Badan Pengawas Pasar Tenaga Listrik (Bapeptal). Menurut UU Ketenagalistrikan, Bapeptal bertugas menyelenggarakan dan mengawasi kompetisi tenaga listrik di wilayah yang telah menerapkan kompetisi. Yang menjadi masalah adalah soal tugas badan ini untuk menjamin pasokan tenaga listrik (pasal 52 g). Bagaimana lembaga ini dapat menjamin ketersediaan listrik mengingat dalam sistem kompetisi pasokan bergantung pada minat investor untuk membangun pembangkit atau jaringan distribusi.

Apakah Bapeptal dapat membangun pembangkit listrik jika terjadi kelangkaan? Jika lembaga ini dimungkinkan membangun pembangkit sendiri, dari mana sumber dananya? Lebih penting lagi, kalaupun badan ini bisa membangun sendiri, itu akan merusak kompetisi karena akan terjadi benturan kepentingan (conflict of interest) dan akan mengaburkan tugasnya sebagai pengawas. UU Ketenagalistrikan tidak secara tegas mengatur masalah ini.

Masalah lain menyangkut implementasi. Negeri ini terkenal sebagai pembuat produk hukum yang ulung, tapi jangan ditanya soal implementasinya. Sering terjadi penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang dalam penerapan produk hukum tertentu. Kompetisi pasar listrik, selain hal baru bagi Indonesia, juga bukan sesuatu yang dengan mudah diciptakan, diatur, dan diawasi.

Pengalaman di California (Amerika Serikat), Inggris, dan Skandinavia membuktikan bahwa kompetisi di sektor listrik tidaklah mudah. Yang terjadi antara lain meroketnya harga listrik, praktek kartel yang merajalela dan pemerasan, kurangnya keandalan pasokan dan penambahan jaringan baru, serta biaya sosial yang besar. Terciptanya oligopoli di pasar semen Indonesia bisa menjadi contoh. Meskipun pemerintah sudah mengatur distribusi dan penjualannya, toh tetap tercipta pasar yang oligopolistis. Bukan tidak mungkin hal yang sama terjadi di sektor kelistrikan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus