Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PAWAI politik—kita ingat aksi yang dikenal sebagai “212”—memperlakukan jalanan bukan sebagai ruang, melainkan sebagai wadah. Karnaval sebaliknya: ia muncul seperti arus yang mengalir begitu saja; kita lebih mengalami gerak dan derasnya ketimbang mengetahui arahnya. Pawai politik, sebagaimana kongregasi atau ibadah berjemaah, diberi bentuk oleh tujuannya. Karnaval diberi bentuk oleh keasyikan.
Di Jalan Malioboro, Yogya, bulan Juni yang lalu: sebuah flashmob. Di jalan yang dibebaskan dari mobil itu, anak muda muncul satu demi satu dari beberapa sudut, menjejak di aspal di antara dua trotoar, dan berangsur-angsur membentuk tarian bersama—tak disangka-sangka: sebuah beksan klasik dari Keraton. Mereka tampak terlatih. Gerak tangan dan kaki mereka serentak luwes dan gagah, tapi mereka seperti orang-orang yang kebetulan mampir sehabis berbelanja: mengenakan topi baseball, tak melepaskan kacamata hitam, bahkan ada yang masih menggantungkan tas di pinggang.
Bukan, ini bukan karnaval. Spontanitas di Malioboro itu hanya permainan panggung; 16 pemuda itu sudah disiapkan di Kridhamardawa Keraton Yogyakarta beberapa hari sebelumnya. Tapi setidaknya di jalan besar itu dibuka sikap yang menyambut baik sesuatu yang punya kesan spontan, sebuah kebersamaan yang tak agresif, tanpa pekik keagamaan atau partai: sebuah momen yang menyenangkan hati. Barangkali ini embrio sebuah karnaval yang akhir-akhir ini tampak jadi hasrat baru. Di Jakarta: tari cokek bersama. Di Bandung: ketuk tilu....
Memang ada yang memikat ketika sesuatu yang mengasyikkan muncul, dilakukan para pelaku yang tak dibayar, tanpa target dan pedagogi. Artinya tak ada yang diarah kecuali perasaan gembira—seraya tahu, kegembiraan bukan dosa.
Dalam arak-arakan ogoh-ogoh di Bali, misalnya—sebuah parade carnavalesque yang paling menarik di Asia Tenggara—yang dibariskan adalah wajah dan tubuh grotesk, seram, ganjil. Di jalanan yang ramai, dinaikkan di atas truk atau mobil pickup, mereka bukan lagi penggambaran makhluk-makhluk gaib yang menakutkan; orang Bali telah mengalahkan horor dengan humor dan sukaria yang tak berbelit-belit.
Saya ingat yang dikatakan Mikhail Bakhtin tentang karnaval: di balik imaji-imaji yang grotesk dan kocak itu ada kehendak menghancurkan suasana yang serba serius dan lagak yang mengklaim adanya makna yang “ekstra-temporal”, yang tak lekang oleh waktu. “Karnaval membebaskan kesadaran, pikiran, dan imajinasi manusia dan membuka kemungkinan baru.”
Dengan kata lain, dalam karnaval, ada energi pembebasan. Dengan memakai karnaval sebagai paradigma, kita akan melihat ruang sebagai ruang, bukan wadah. Ia tetap menjadi bagian laku dan kehidupan (De Certeau akan menyebutnya “a practised space”-), di mana bisa lahir yang tak lazim, atau tak dalam rencana besar, tapi melegakan.
Sesungguhnya itu ruang yang kita kenal tapi sering tak kita anggap penting: ruang punakawan dalam wayang. Di sanalah sejumlah peran riuh, penuh gelak, biarpun tak cantik, ganjil, dan rada menakutkan: kontras bagi para kesatria dan putri-putri yang rupawan, yang berbicara halus, teratur, dengan idiom dan isi yang sudah dapat diduga. Para punakawanlah yang melepaskan narasi dari garis dengan satu-dua jurusan dan di saat-saat tertentu membawakan perspektif lain tentang hidup.
Dalam sejarah Eropa, seperti tampak dalam lukisan Bruegel di abad ke-13, kita bisa melihat karnaval yang jadi model theori Bakhtin: sebuah subversi atas masyarakat Abad Tengah yang steril, takut kepada yang ganjil karena dianggap dosa oleh agama. Dengan kata lain, masyarakat yang dikendalikan oleh yang dijuluki Nietzsche sebagai “Roh Gaya Berat”: ajaran dan ideologi yang membenci tari, tawa, dan permainan. Politik karnaval menegaskan diri dalam momen-momen yang menggerogoti ketaatan kepada “Roh Gaya Berat” itu.
Kini karnaval bahkan jadi model pembangkangan di jalanan, ketika mahasiswa menggelar demonstrasi dengan parodi dan nyanyian—spontan, tanpa theori revolusi, tanpa organisasi, tanpa program mengambil alih kekuasaan. Kaum revolusioner lama, terutama kaum Bolsyewik, akan menganggap mereka main-main, anarkisme beberapa hari yang percuma. Tapi mereka akan membalas: revolusi politik, termasuk Revolusi Bolsyewik, ternyata hanya memainkan kembali “Roh Gaya Berat”: terlampau dibebani ide tentang kemerdekaan masa depan—seperti bujukan surga—tapi mengabaikan kebebasan hari ini.
Tentu, sebuah kota tak harus diselingi pembangkang. Tapi kini hidup butuh keluwesan, gerak ringan, sedikit acuh tak acuh, tapi kreatif, terutama di masa yang cepat berubah. Kini, kita punya generasi yang teladannya hanya pahlawan sinetron: wajah-wajah mulus, bersih, alim, seperti makhluk firdaus. Kita perlu flashmob yang seru—dan generasi yang berani membentak, seperti sajak Yudhistira Adinugraha tiga dasawarsa yang lalu, “Biar-in!”, generasi yang menderu bersama Ali Topan Anak Jalanan dan mendengarkan Rendra mengumandangkan “kaum urakan”.
Karnaval.
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo