Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sistem merit merupakan kebijakan pengelolaan manajemen sumber daya manusia berbasis kualifikasi, kompetensi, dan kinerja secara adil dan wajar tanpa membedakan latar belakang politik, ras, warna kulit, agama, asal-usul, jenis kelamin, status pernikahan, umur, ataupun kondisi kecacatan. Sistem merit yang mendasari Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (ASN) diharapkan bisa membangun aparat sipil yang profesional, bebas dari intervensi politik, berkinerja tinggi, netral, dan tidak membedakan masyarakat yang dilayani berdasarkan suku, agama, ras, dan golongan serta berfungsi sebagai perekat Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Naskah akademik yang mendasari dibentuknya Rancangan Undang-Undang ASN menyebutkan bahwa paradigma lama yang ditetapkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 yang direvisi melalui Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 dianggap kurang memadai dan sudah ditinggalkan banyak negara di dunia. Alasannya, sistem manajemen sumber daya manusia yang dianutnya menyebabkan tanggung jawab pemerintah pusat dalam pembinaan pegawai yang tersentralisasi menjadi terlalu besar dan tidak terkelola dengan baik.
Kebijakan pemerintah dalam restrukturisasi ekonomi setelah krisis moneter 1998 telah berhasil membangun kembali ekonomi nasional yang lebih terbuka dan mampu menciptakan perekonomian yang makin baik dengan pertumbuhan 5-5,5 persen sejak 2002 serta berhasil mengantarkan Indonesia kembali ke jajaran middle income countries. Namun kemajuan itu tak diimbangi dengan pengembangan aparat sipil melalui reformasi birokrasi sehingga perbaikan berjalan relatif lambat, hanya dilakukan secara gradual dan sporadis di beberapa instansi.
Pembentukan Komisi Aparatur Sipil Negara antara lain bertujuan mengawasi penerapan sistem merit tersebut dalam instansi pemerintah pusat ataupun daerah. Dalam pengawasan itu tercakup pengisian jabatan pimpinan tinggi (JPT) utama dan madya, atau biasa disebut eselon I, serta JPT pratama (eselon II) yang mesti melewati seleksi terbuka dengan melibatkan panitia seleksi yang independen. Sebagian besar anggota panitia seleksi harus berasal dari luar instansi agar terjamin independensinya.
Resistansi terhadap kebijakan baru ini sangat besar. Para pemimpin tertinggi di kementerian dan lembaga pemerintah non-kementerian serta pemerintah provinsi, kabupaten, dan kota tidak bisa lagi mengangkat, memindahkan, apalagi memberhentikan pejabat di bawahnya semaunya seperti yang dulu terjadi di banyak instansi.
Inti sistem merit sesungguhnya menempatkan orang yang tepat di posisi yang sesuai dengan bidang keahliannya. Caranya, menyelaraskan kualifikasi, kompetensi, serta pengalaman yang bersangkutan dengan persyaratan jabatannya.
Di beberapa instansi pemerintah, sistem merit sudah cukup lama dilaksanakan karena pemimpin instansi yang sudah menyadari perlunya kesesuaian antara jabatan dan orang yang menduduki jabatan tersebut. Namun sebagian besar instansi birokrasi di Indonesia masih dipenuhi pola senioritas, nepotisme, kedekatan seseorang dengan pihak pengambil keputusan, bahkan “pembelian” jabatan untuk menduduki posisi tertentu.
Dalam hampir lima tahun terakhir, banyak pihak, khususnya para pegawai sipil negara, merasakan keberadaan KASN telah melindungi mereka dari tindak kesewenang-wenangan para pejabat politik ataupun birokrat yang lebih tinggi, walau sesungguhnya peran dan tugas KASN lebih dari sekadar melindungi pegawai.
Mengawasi pelaksanaan sistem merit serta menerapkan nilai dasar, kode etik, dan kode perilaku aparat sipil serta menjaga netralitas aparat sipil merupakan fungsi serta tugas KASN. Sebagai pengawas, KASN antara lain berwenang mengawasi setiap tahap proses pengisian jabatan pimpinan tinggi, dari pembentukan panitia seleksi, pengumuman lowongan, pelaksanaan seleksi, pengusulan nama calon, penetapan, hingga pelantikan para pejabat tinggi.
Semua fungsi dan wewenang tersebut, jangan dilupakan, semata-mata diarahkan agar birokrasi kita menjadi birokrasi kelas dunia yang mampu mengungkit kondisi negara dan bangsa ini menjadi negara maju dengan rakyatnya yang berpenghasilan tinggi, sejahtera, adil dan makmur, serta gemah ripah loh jinawi dalam waktu yang relatif tidak terlalu lama.
Beberapa menteri, kepala lembaga pemerintah non-kementerian, gubernur, bupati, dan wali kota menganggap semua pengawasan itu sebagai penghambat kinerja mereka. Memang betul, ada waktu pengawasan yang memperlambat jalannya beberapa proses dan pelaksanaan prosedur organisasi. Namun kualitas proses seleksi terbuka yang dilakukan setiap instansi untuk mengisi jabatan pimpinan tinggi serta rotasi dan mutasi yang dilakukan sesuai dengan sistem merit ternyata menghasilkan kinerja organisasi yang jauh lebih efektif.
Dalam usaha memperbesar kue pembangunan, yakni dengan meningkatkan produk domestik bruto (PDB), Indonesia mesti meningkatkan rerata pertumbuhan ekonomi tahunannya. Seiring dengan itu, program pemerataan pendapatan digalakkan agar rasio Gini populasi Indonesia menurun.
Untuk mempercepat usaha menjadi negara maju yang berpenghasilan tinggi dengan PDB per kapita lebih dari US$ 12.056—dari kondisi terakhir kita pada 2018 dengan PDB per kapita sebesar US$ 3.894—diperlukan katalisator percepatan. Katalisator tersebut di antaranya pemerintah yang efektif melalui ukuran indeks efektivitas pemerintah (0-100) yang meningkat dari waktu ke waktu. Dari berbagai studi, terlihat korelasi yang erat antara tingkat PDB per kapita dan efektivitas pemerintahnya.
Efektivitas sebuah pemerintah diukur dari persepsi atas kualitas pelayanan publik, kualitas aparat sipil negara dan tingkat kebebasannya dari pengaruh tekanan politik, kualitas pembuatan dan implementasi kebijakan publik, serta kredibilitas komitmen pemerintah atas kebijakan-kebijakan tersebut. Sementara negara jiran Singapura dan Malaysia masing-masing sudah pernah mencapai skor 100 dan 80, Indonesia hanya mampu mendapat skor 50 dan 60.
Dari lima unsur efektivitas pemerintah Indonesia yang bisa kita lihat, tampak kita masih punya pekerjaan rumah yang besar untuk mencapai posisi yang lebih baik agar Indonesia lebih cepat dan berhasil menjadi negara maju yang berpenghasilan tinggi. Kondisi yang menakutkan adalah bahwa kita tidak pernah menjadi negara maju dan terjebak dalam middle income trap.
Tugas memperbaiki kualitas birokrasi pemerintah bukanlah semata-mata hanya agar terlihat bagus dari luar. Sebab, birokrasi yang profesional, kapabel, dan tidak memihak akan dapat membawa bangsa ini ke arah masyarakat sejahtera yang adil dan makmur. Karena itu, segala usaha menuju kondisi tersebut harus sama-sama didorong oleh semuanya, dari para wakil rakyat, unsur pemerintah penjaga ketertiban dan ketenteraman, penegak hukum, petugas pertahanan dan keamanan, hingga para birokrat sendiri yang harus mengubah pola pikir dan perilakunya dalam melayani masyarakat, juga seluruh rakyat Indonesia.
Para calon anggota atau komisioner KASN diharapkan merupakan individu yang berintegritas tinggi dan dapat bekerja sama dalam tim, memahami pengelolaan sumber daya manusia dalam jumlah kolosal, serta memahami gambaran besar bahwa tugas, fungsi, dan wewenang mereka berdampak luas terhadap kesejahteraan rakyat pada umumnya dan dapat membawa kemaslahatan bagi bangsa Indonesia bila mereka berhasil menerapkan sistem merit dalam pengelolaan sumber daya manusia di sektor publik.
Pemahaman dan pemanfaatan atas teknologi secara umum serta teknologi informasi khususnya menjadi suatu conditio sine qua non, suatu keadaan yang tak dapat ditawar-tawar lagi keberadaannya. Bila kondisi ini tercapai, setidaknya kita punya harapan bahwa masa depan kita akan menjadi lebih baik.
Irham Dilmy: Wakil Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara RI periode 2014-2019
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo