Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PADA 1980-an, jatah mengingatkan kita pada beras. Di desa-desa di Jawa, ada sebutan “beras jatah”. Beras itu diperoleh pegawai negeri sipil. Pemerintah rutin memberikan beras setiap bulan agar keluarga pegawai bisa makan. “Beras jatah” sering berkualitas jelek. Orang-orang di desa memberikan pengertian lanjutan bahwa “beras jatah” sering digunakan ketika memberikan sumbangan kepada tetangga yang sedang memiliki hajatan pernikahan atau kelahiran.
Di Jawa, “jatah” bukan cuma beras, melainkan juga masalah kelonan (bersetubuh atau bersanggama). Para bapak saat berada di pos ronda atau makan di warung biasa bercakap dengan memberikan sindiran dan lelucon. “Jatah” sering diucapkan untuk memicu tawa. Mereka telah lama mengerti bahwa “jatah” itu bukan beras. “Jatah” berkaitan dengan hubungan suami-istri. “Jatah” adalah peristiwa di kasur. Kisah suami-istri dipengaruhi “jatah”. Konon, suami yang tak mendapat “jatah” atau “kurang jatah” dari istri nekat “jajan” ke suatu tempat. “Jajan” ini berbeda dengan jajan makanan di warung.
Kita mengingat jatah setelah membaca berita di koran-koran. Para wartawan sengaja memilih diksi “jatah” dalam memberitakan pertemuan para tokoh partai politik dengan Presiden Joko Widodo. Kita biasa membaca “jatah menteri”. Jatah mengesankan minta bagian. Para elite di partai politik menganggap sudah bekerja dan berhasil meraih kemenangan dalam pemilihan presiden dan wakil presiden.
Pengumuman resmi dari Komisi Pemilihan Umum memicu masalah “jatah menteri”. Kita kutip berita di Republika, 3 Juli 2019: “Cak Imin menilai PKB pantas mendapatkan jatah kursi yang cukup banyak mengingat peran partai berbasis massa Islam itu dalam pemenangan Jokowi.” Adapun Solopos, 3 Juli 2019, memuat berita dengan judul “Jokowi Beri Jatah Menteri Parpol Sesuai Kursi DPR”. Perkara jatah yang ramai dibicarakan ini berbeda dengan urusan “beras jatah” dan “jatah” yang pernah dipahami orang-orang di desa.
Poerwadarminta dalam Baoesastra Djawa (1939) mengartikan jatah sebagai wis dasare, moela dasar njata, pantjen, wis kebatjoet doewe kamanoehan elek. Jatah berarti “pembawaan” atau “telanjur biasa buruk”. Pengertian kedua lumrah dalam kemunculan “beras jatah”. Pengertian “pembawaan” mungkin masih terlalu jauh untuk ditempatkan dalam masalah politik. Jatah tak dimasukkan Poerwadarminta ke Kamus Umum Bahasa Indonesia (1952). Kata yang berasal dari bahasa Jawa itu mungkin belum lazim digunakan dalam penulisan berita atau percakapan berbahasa Indonesia pada 1950-an.
Kita mendapatkan pengertian panjang tentang jatah di Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988). Jatah berarti “jumlah atau banyaknya barang dan sebagainya yang telah ditentukan (untuk suatu maksud atau untuk suatu daerah)”. Kita membaca contoh kalimat dengan penggunaan ungkapan “jatah makanan”. Pengertian lain adalah “jumlah atau banyaknya orang yang telah ditentukan (untuk imigrasi, pergi haji, dan sebagainya)”. Pada 1980-an, “jatah menteri” belum berlaku di Indonesia. Soeharto memiliki hak memilih menteri. Kaum politik tak berhak minta jatah. Dua pengertian itu masih sama di Kamus Besar Bahasa Indonesia (2018). Pembaca belum mendapatkan pengertian yang mengarah ke kekuasaan.
Peristiwa politik atau hajatan demokrasi memberi jalan bagi kemunculan “jatah menteri”. Para pembaca berita mungkin jengkel oleh “keributan” baru setelah sidang perselisihan di Mahkamah Konstitusi. Perkara “jatah menteri” membuat risi. Kita bakal melihat tokoh-tokoh yang mengaku memiliki jasa besar meminta kepada Joko Widodo agar dijadikan menteri. Orang-orang menganggap “jatah menteri” sebagai lakon buruk yang mengabaikan etika politik. Kita pun seperti diminta mencatat dan mengingat “jatah menteri”—setelah “beras jatah” dan “jatah”.
*) Kuncen Bilik Literasi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo